Mongabay.co.id

Mangrove dan Lamun, Ekosistem Penting di Wilayah Pesisir Laut

 

Wilayah pesisir diketahui menjadi benteng pertahanan dari laut menuju daratan. Keberadaan kawasan tersebut bisa menjadi penentu apakah benteng bisa berdiri tegak ataupun sebaliknya. Jika ada, maka pesisir dan daratan aman. Namun, jika tidak, maka ancaman negatif akan bermunculan.

Di antara penentu apakah bisa ataukah tidak wilayah pesisir menjadi benteng pertahanan, adalah keberadaan tanaman mangrove. Tanaman yang membentuk kawasan hutan di perairan pesisir itu, diketahui memiliki banyak manfaat banyak untuk bisa mencegah ancaman kerusakan pesisir.

Kehadiran mangrove, bisa mencegah terjadinya abrasi pantai, mengurangi dampak dari gelombang pasang, ataupun menghindari dampak buruk dari bencana tsunami. Semua itu, bisa terjadi jika pesisir dijaga oleh kawasan hutan mangrove yang tumbuh dengan sehat dan terawat.

Tak cuma menjadi penjaga pesisir, mangrove juga memiliki manfaat lain yang tak kalah hebatnya. Manfaat tersebut tidak lain adalah kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) yang bisa memicu perubahan iklim.

Kemampuan mangrove sebagai penjaga pesisir, semakin hebat lagi jika bersanding dengan padang lamun. Kedua ekosistem tersebut juga menjadi penyerap karbon yang sangat besar dan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang saat ini tengah diturunkan oleh Pemerintah.

Dengan kemampuan menyerap karbon dan menyimpannya di bawah air laut (karbon biru), mangrove dan padang lamun menyimpan potensi yang besar. Saat ini, potensi karbon biru di Indonesia mencapai 3,4 giga ton atau sekitar 17 persen dari karbon biru di dunia.

baca : Diplomasi Mangrove Jokowi di KTT G20 dikritik LSM Lingkungan

 

Pengunjung yang berfoto dengan latar mangrove Kuala Langsa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan luasan ekosistem mangrove di Indonesia menjadi yang terluas di dunia dengan 3.364.080 hektar. Sementara, untuk luasan padang lamun saat ini mencapai 293.464 ha menjadi kedua terluas di dunia setelah padang lamun di Australia.

Baik mangrove dan padang lamun, luasannya sudah terverifikasi masing-masing oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Karenanya, kedua ekosistem tersebut diakui bisa berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim.

Paham dengan manfaat yang besar untuk pesisir dan sekaligus menjadi pengendali perubahan iklim, Pemerintah Indonesia melaksanakan perluasan kawasan mangrove hingga bisa mencapai 600 ribu ha pada 2024 mendatang.

Hal itu merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Melalui kegiatan tersebut, target rehabilitasi dan restorasi mangrove diharapkan bisa terwujud bersamaan.

Program perluasan kawasan mangrove hingga 2024 dipimpin langsung oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Di dalamnya ada kementerian lain yang ikut terlibat, salah satunya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar mengatakan, untuk menjalankan target perluasan hingga mencapai 600 ribu ha, diperlukan upaya bersama dengan komitmen yang kuat. Keterlibatan para pihak, akan memperkuat sinergi untuk pencapaian target.

“Mangrove ini luar biasa sekali pengaruhnya untuk ekosistem laut, dan menjadi penahan laju abrasi juga. Di samping itu mangrove ini erat kaitannya dengan ekonomi masyarakat dan bisa menjadi ladang edukasi,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

baca juga : Bagaimana Nasib Kawasan Mangrove Teluk Balikpapan Kala Ada IKN Nusantara?

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Bersama Kemenko Marves dan KLHK, KKP menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak terkait untuk melaksanakan program perluasan dan kualitas rehabilitasi mangrove. Pada prosesnya, skema yang dilaksanakan adalah melalui pemberdayaan masyarakat.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menjelaskan, sepanjang 2021 lalu pihaknya sudah menjalankan rehabilitasi mangrove di 36 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari target yang ingin dicapai seluas 400 ha, KKP berhasil melampauinya hingga seluas 1.300 ha.

Dia mengatakan, dalam mengelola ekosistem mangrove di Indonesia, tantangan yang harus dihadapi di antaranya adalah perubahan iklim, alih fungsi lahan, pemanfaatan pohon mangrove, dan regulasi.

“Dengan gotong royong, bersama-sama, kita optimis target rehabilitasi mangrove bisa tercapai pada tahun 2024,” ungkapnya.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti mengakui kalau wilayah pesisir di Indonesia menyimpan potensi karbon biru yang besar. Potensi itu datang dari ekosistem mangrove dan padang lamun.

Dia mengatakan, walau potensi ekosistem karbon biru sangat besar di Indonesia, namun semua ekosistemnya perlu dilakukan perawatan dengan lebih baik lagi. Termasuk, dengan melaksanakan rehabilitasi dan restorasi, sesuai dengan peta mangrove nasional yang sudah dirilis Pemerintah.

Agar tujuan bisa mewujudkan tambahan kawasan mangrove seluas 600 ribu ha, diperlukan kontribusi dari pihak lain, termasuk swasta di dalamnya. Keterlibatan mereka diperlukan untuk mengembangkan komunitas masyarakat pesisir sebagai bagian dari program pengembangan mangrove yang berkelanjutan.

baca juga : Mengajak Sektor Usaha dalam Pelestarian dan Perlindungan Mangrove

 

 

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan sepanjang 2021 di 32 provinsi sudah mencapai luasan 34.912 ha. Tahun 2022, luasan diharapkan bertambah lagi dengan target 181.500 ha.

Nani Hendiarti kemudian mengutip ucapan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa jika program rehabilitasi dan restorasi berjalan dengan dukungan penuh dari swasta dan BUMN, maka akan ada tambahan mangrove seluas 100 ribu ha khusus dari kontribusi mereka.

“Keterlibatan para pihak dari swasta dan BUMN, bisa terjadi karena ada program tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR),” jelas dia.

Dia memaparkan, cakupan kerja sama menyepakati aksi rehabilitasi dan pemeliharaan mangrove, melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir, merehabilitasi daerah aliran sungai, melakukan edukasi, dan membina berbagai usaha kecil.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Sumber daya Maritim Kemenko Marves Firman Hidayat menambahkan, selain mangrove yang bagus untuk menjaga wilayah pesisir, padang lamun juga memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya.

Hanya sayang, sampai sekarang pengembangan ekosistem padang lamun tidak secepat ekosistem mangrove. Padahal, luasan padang lamun di Indonesia hanya kalah dari Australia yang dikenal sebagai pemilik padang lamun terluas di dunia.

Menurut dia, peran padang lamun di wilayah pesisir sangat banyak, seperti halnya mangrove. Selain tempat pemijahan bagi ikan, juga menjadi tempat berlindung dan makan bagi banyak biota laut dan ikan. Juga, mendukung kegiatan perikanan komersial dan keanekaragaman hayati, karbon biru, dan meningkatkan kualitas air di sekitarnya.

Dengan manfaat yang besar, sudah seharusnya jika ekosistem padang lamun mendapatkan pengawasan yang ekstra ketat, seperti halnya ekosistem mangrove. Termasuk, dengan menjalin kerja sama dengan pihak lain seperti Australia.

“Bisa berupa joint research, capacity development, dan transfer technology atau knowledge,” tegas dia.

baca juga : Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah

 

Pengunjung TWA Angke Kapuk, Jakarta Utara, saat melakukan penanaman mangrove. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Analis Kebijakan Madya bidang Konservasi Laut dan Pendayagunaan Pulau-pulau Kecil Kemenko Marves Andreas Hutahean mengatakan, menjaga ekosistem mangrove dan padang lamun menjadi bagian dari upaya untuk mengatur dan mengelola potensi sumber daya kelautan di Indonesia.

Upaya tersebut merujuk pada PP No 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Aturan tersebut menjadi pedoman umum kebijakan kelautan dan langkah-langkah pelaksanaannya melalui program dan kegiatan kementerian/lembaga di bidang kelautan.

Berkaitan dengan padang lamun, Pemerintah Indonesia sendiri sudah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Australia sejak 2017. Kerja sama tersebut menjadi tindak lanjut dari kesepakatan bilateral pada bidang kemaritiman.

 

Butuh Perhatian

Beberapa waktu lalu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pernah mengakui kalau ekosistem padang lamun belum mendapatkan perhatian seperti yang didapatkan oleh ekosistem mangrove. Meskipun, lamun menjadi bagian dari tiga ekosistem penting di kawasan pesisir, selain mangrove dan terumbu karang.

Peneliti Oseanografi BRIN Zainal Arifin mengatakan kalau padang lamun adalah penyaring polutan dari daratan sebelum masuk ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, lamun juga menjadi habitat untuk komoditas laut bernilai ekonomi tinggi seperti ikan Baronang dan Rajungan.

Besarnya manfaat ekosistem lamun, semakin bertambah lagi karena faktanya Indonesia adalah pemilik padang lamun terluas di Asia Tenggara dan kedua di dunia setelah Australia. Jika potensi itu tidak dimanfaatkan dengan baik, itu sangat disayangkan.

Peneliti Biogeokimia Laut BRIN A’an Johan Wahyudi juga pernah memberikan penjelasan yang sama tentang potensi lamun secara langsung kepada Mongabay. Saat itu, dia menyebut padang lamun seluas 293.464 ha di Indonesia memiliki kemampuan menyerap CO2 hingga 1,9-5,8 mega ton (Mt) karbon per tahun.

Dia menyebutkan, seperti halnya mangrove, kemampuan menyerap karbon pada lamun juga terjadi pada vegetasi dan subtrat secara bersamaan. Dalam setiap hektare padang lamun, kemampuan menyerap karbon diketahui bisa mencapai 6,59 ton per tahun.

“Angka itu menjadi sangat fantastis, karena kemampuan menyerap lamun ternyata lebih besar dari vegetasi yang ada di darat,” ungkap dia menjelaskan hasil penelitian yang pernah dilakukan BRIN.

baca juga : Pentingnya Padang Lamun untuk Mitigasi Perubahan Iklim, Sayangnya..

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Dengan fakta tersebut, vegetasi pesisir menjadi sangat penting bagi pengendalian karbon, karena kemampuan daya serapnya bisa 77 persen lebih banyak dari vegetasi yang ada di darat seperti hutan.

Namun, jika ingin terjadi penyerapan karbon dengan signifikan, dia menyebut kalau tugas itu tidak boleh hanya dibebankan kepada ekosistem di pesisir. Namun juga, harus tetap dipertahankan dengan yang ada di kawasan darat seperti hutan.

“Kemampuan vegetasi di darat dan laut harus tetap dipertahankan. Vegetasi pesisir berkontribusi sampai 50 persen penimbunan karbon di sedimen,” jelasnya.

Akan tetapi, walau potensi padang lamun masih sangat besar, pengelolaannya sampai saat ini masih belum bagus. Salah satu buktinya, adalah masih rendahnya penelitian tentang padang lamun di Indonesia.

A’an Johan Wahyudi menerangkan, secara keseluruhan potensi luasan padang lamun di seluruh Indonesia mencapai 875.967 ha. Hanya, sampai saat ini sudah tervalidasi dan terverifikasi baru seluas 293.464 ha saja.

Dengan luasan padang lamun yang ada sekarang, terdapat cadangan penyimpanan karbon sebesar 0,94 ton per ha. Sementara, seperti disebutkan di atas, kemampuan menyerap karbon pada setiap hektare padang lamun, mencapai 6,59 ton per tahun.

Secara umum, padang lamun yang memiliki kemampuan untuk menyerap karbon, masih didominasi oleh dua jenis lamun, yakni Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Kedua jenis lamun tersebut menjadi tumpuan karena memiliki nilai cadangan karbon yang besar.

Cadangan karbon pada lamun itu tersimpan pada substrat yang ada di bawah permukaan pasir laut dan menyatu dengan akar lamun. Cadangan tersebut, mampu bertahan dalam kurun waktu lama jika kawasan pesisir tidak mengalami kerusakan karena berbagai hal.

Peneliti Padang Lamun BRIN Nurul Dhewani Mirah Sjafrie menambahkan, dari semua luasan padang lamun yang sudah tervalidasi oleh BRIN, tercatat hanya 15,35 persen saja yang kondisinya bagus atau sehat, seluas 53,8 persen dinyatakan kurang sehat, dan 30,77 persen dinyatakan miskin.

Padahal, jika merujuk Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 200 Tahun 2004, padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan minimal 60 persen. Sementara, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

baca juga : Padang Lamun di Teluk Bogam, Rumah Makan Kawanan Dugong

 

Sebuah perahu berada di atas padang lamun di perairan Gosong Beras di Desa Teluk Bogam di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Foto : DSCP Indonesia

 

Secara keseluruhan, mengelola hutan mangrove dan padang lamun tak cukup dengan kebijakan dan komitmen kuat dari Pemerintah Indonesia saja. Lebih dari itu, perlu dukungan dari para pihak yang memiliki kepedulian agar kedua ekosistem pesisir itu bisa tetap terjaga dan bermanfaat.

Di antara cara untuk menjaga kedua ekosistem tersebut, adalah melalui adopsi teknologi seperti yang dilakukan oleh BRIN melalui MonMang, aplikasi canggih untuk memantau hutan mangrove. Aplikasi pemantau tersebut bekerja dengan menggunakan kecerdasan buatan (AI).

Peneliti Pusat Riset Oseanografi (P2O) BRIN Wayan Eka Dharmawan menjelaskan, MonMang dibangun dengan pendanaan dari forum negara pulau dan kepulauan (AIS) yang beranggotakan 47 negara. Proses tersebut melibatkan sejumlah institusi dari berbagai negara.

Aplikasi tersebut juga diklaim sangat ramah dan mudah digunakan oleh siapa pun. Tetapi, untuk bisa mengoperasikan MonMang, diperlukan pelatihan dan sertifikasi agar bisa menambahkan data pengawasan hutan mangrove ke dalam basis data yang ada.

Sejak dikembangkan pada 2014 lalu, MonMang yang hadir saat ini merupakan versi ketiga. Untuk setiap versinya selalu dilakukan pembaruan data dan kemudian pada versi ketiga dibentuk basis data tentang mangrove.

“Pengguna aplikasi MonMang tidak hanya dari Indonesia saja tetapi juga dari negara seperti Jerman, Jepang, Uni Emirat Arab, dan masih banyak lagi,” terang dia.

Agar bisa bermanfaat banyak dan mencapai cakupan yang luas, penggunaan MonMang tidak hanya terbatas pada peneliti saja. Namun juga, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum yang tertarik pada kelestarian hutan mangrove dan sekaligus tertarik pada sains.

Mengingat data yang dihasilkan sangat rumit, MonMang memerlukan kontribusi dari banyak pihak agar basis data bisa terus diperbarui dan menjadi media edukasi bagi semua kalangan. Namun sayang, dengan kontribusi peneliti yang berasal dari banyak negara, masih ada kendala yang dihadapi sampai sekarang.

Di antaranya, adalah institusi yang berbeda menggunakan metode yang berbeda, sehingga data yang dihasilkan tidak bisa dilakukan komparasi dengan data yang lain. Kemudian, standar yang digunakan masing-masing institusi dalam mengawasi hutan mangrove mengalami perbedaan.

 

Seekor penyu berenang di kawasan padang lamun dengan polusi limbah plastik berupa sarung tangan sekali pakai. Foto : shutterstock

 

Selain mangrove, BRIN juga menciptakan alat penghitung stok karbon pada ekosistem padang lamun, yaitu Carbon Inventory for Seagrass Ecosystem atau CISE. Pembuatan aplikasi tersebut dilakukan oleh A’an Johan Wahyudi dan Kepala Pusat P2O BRIN Udhi Eko Hernawan.

Udhi menjelaskan, CISE merupakan aplikasi berbasis sistem operasi mobile yang nyaman dan dapat digunakan untuk menghitung persediaan karbon lamun, dan pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim pada ekosistem padang lamun.

Dia menyebutkan, kegiatan menghitung stok karbon padang lamun menjadi sangat kompleks, karena ada banyak variabel yang harus diamati untuk menghitungnya. Selain itu, diperlukan waktu, tenaga, sumber daya, studi ke lapangan, analisis di laboratorium, perhitungan, dan sebagainya.

Kerumitan tersebut menjadi pertimbangan utama BRIN membuat aplikasi yang berbasis data penelitian. Dengan demikian, penghitungan stok karbon menjadi lebih mudah, nyaman, dan efisien. Dengan CISE, hanya dibutuhkan dua data saja, yaitu total area dan data biologis padang lamun.

“Kita tetap harus pergi ke lapangan, namun kita tidak perlu melakukan kegiatan di lab dan perhitungan rumus,” terang dia.

Udhi Eko Hernawan memaparkan, Padang lamun sendiri adalah ekosistem tumbuhan berbunga yang hidup di lingkungan laut, namun berbeda dengan rumput laut. Lamun tidak memiliki bunga dan tidak memiliki daun atau akar sejati.

 

Exit mobile version