Mongabay.co.id

Janji Kerja di Proyek PLTA Batang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 Per Meter

 

 

 

Muara Siregar menarik napas pelahan ketika mengenang lahan masa-masa pelepasan lahan warga untuk  pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru, pada 2015.

Pelaksana proyek pembangkit sumber air ini, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE).  Setelah penandatanganan perjanjian jual beli listrik antara NSHE dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero, tim pembebasan lahan menemui Muara Siregar, Kepala Desa Luat Lombang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

“Waktu itu datang tim pembebasan lahan. Ada dari pemerintahan dan perusahaan. Maksud mereka saat itu untuk membeli lahan-lahan masyarakat yang masuk dalam areal proyek PLTA,” katanya saat ditemui Mongabay di rumahnya, September lalu. Tim memperlihatkan peta lahan yang akan terkena proyek.

Setelah pertemuan itu, Muara kemudian meneruskan informasi itu ke sejumlah warga yang tanahnya termasuk dalam ‘peta’ proyek. Dari 400 keluarga, ditemukan 50 keluarga dengan lahan masuk ‘peta’ proyek. Lahan warga bervariasi, mulai 0,5 hektar sampai 10 hektar.

Dia bilang, sempat terjadi perdebatan antara warga desa dengan tim sembilan soal kesepakatan harga tanah. Pasalnya, sebagian lahan masyarakat itu sudah ditanami karet, durian, persawahan, dan tanaman yang menghasilkan nilai ekonomi.

Akhirnya,  disepakatilah harga dengan beberapa ketentuan. Untuk lahan 100% sudah ditanami pohon karet, akan dihargai Rp8.000 per meter. Asumsinya, satu hektar lahan terdiri dari 900 batang. Bila tanaman karet di bawah 50%, maka harga lahan Rp4.000  per meter.

Harga itu berlaku sepanjang 2015.

Muara menjual lahan seluas 10 hektar waktu itu Rp8.000 per meter. Kebetulan lokasi lahan yang dulu untuk persawahan dan kebun karet itu, berdekatan dengan pintu masuk proyek PLTA di Sipirok.

“Waktu itu saya akhirnya mau menjual lahan karena anak waktu itu masih SMP, butuh uang [untuk biaya sekolah],” katanya.

Pada 2016-2018,  harga tanah disesuaikan jadi kisaran maksimal Rp20.000 per meter. Pada 2020, harga tidak lagi berdasarkan ada atau tidaknya tanaman. “Ditanami atau tidak, harga lahan disamaratakan jadi Rp25.000 per meter.”

Dia bilang,  masyarakat mau melepas lahan dengan ‘iming-iming’ setiap keluarga pemilik lahan akan jadi prioritas bekerja di perusahaan sesuai keahlian masing-masing.  Sayangnya, kesepakatan itu secara lisan.

“Kenyataan tidak pernah diutamakan pemilik lahan [untuk dipekerjakan] di situ,” katanya.

Ada penyesalan di hati Muara telah menjual tanahnya.“Tapi penyesalan selalu datang terlambat,” katanya.

 

Baca juga: Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga

Truk yang membawa keperluan untuk pembangunan proyek PLTA Batang Toru. Foto: Junaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, perekrutan mestinya disesuaikan dengan pendidikan, tidak sama rata jadi pekerja kasar konstruksi di lapangan dengan upah harian, dan tanpa kontrak permanen.

Pelepasan lahan serupa itu juga terjadi di Luat Lombang, di Desa Aek Batang Paya, tidak sedikit warga menjual tanah karena janji dapat kerjaan.

Awaluddin Siregar, Kepala Dusun Paskes, Desa Aek Batang Baya, bilang, dulu saat proyek mulai buka, tidak sedikit warga menjual lahan karena diimingi pekerjaan. Janji tinggal janji.  Warga dusun pun protes dan menuntut janji itu.

“Baru akhir-akhir ini mulai bertambahlah, itu pun katanya karena pekerjaan di proyek bertambah, seperti untuk pembukaan terowongan,” katanya saat ditemui di rumahnya di Dusun Paskes, yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi proyek.

Kebanyakan anak muda direkrut sebagai pekerja harian. Seorang pemuda dusun mengatakan, lama menunggu pekerjaan dan diterima belum lama inidi bagian pembukaan jalur terowongan. Dia dapat upah harian yang dibayar per bulan, namun tanpa kontrak kerja permanen.

Di Dusun Hasahatan, kata Awaluddin, juga banyak warga menjual lahan kepada perusahaan karena iming-iming pekerjaan.

Sampai saat ini sebagian warga masih menuntut janji dapat kerjaan dan harga lahan kayak.

Miris, kata Awaluddin, meskipun sebagian besar masyarakat jual lahan, setelah itu tidak ada lagi kepedulian perusahaan kepada dusun.

“Kami sudah pernah ajukan ke perusahaan supaya jalan ke dusun dibantu diperbaiki, supaya nampak ada kontribusi perusahaan ke kampung. Tidak pernah ada respon,” katanya sembari.

Dalam 2013-2017, NSHE, yang mendapat izin seluas 6.598,35 hektar, mengklaim membebaskan lahan seluas 673 hektar dari masyarakat.

 

Baca juga: KTT Keragaman Jayati: Jaga Batang Toru, Lindungi Habitat Terakhir Orangutan Tapanuli

Lokasi proyek PLTA BAtang Toru di Marancaer. Foto: Tonggo Simangungsong

 

Muara mengatakan, setelah tanah dibebaskan, masyarakat berharap perusahaan menganggap mereka sebagai subyek, bukan hanya obyek. Begitu urusan pembebasan lahan selesai, katanya, mereka ditinggal begitu saja. Mereka berharap,  ikut merasakan dampak ekonomi atas kehadiran perusahaan itu, selain hanya rekrutmen untuk pekerja harian.

“Sayur saja, saya lihat mereka belanja dari luar desa. Padahal, warga di sini banyak petani. Kan bisa dibeli dari masyarakat lokal, jadi pendapatan mereka bertambah. Tidak hanya berharap direkrut jadi pekerja saja.”

Selama bertahun-tahun setelah transaksi jual beli lahan, masyarakat menuntut janji perusahaan melalui serangkaian aksi demo. Muara bilang, warga lokal yang direkrut memang sudah bertambah.

Hampir semua sebagai pekerja bagian pengeboran terowongan dan quarry, dengan bayaran upah harian.

Sepengetahuan dia, dari 200-an yang bekerja di proyek PLTA itu, hanya ada tiga perempuan di bagian administrasi.

Mongabay berupaya mengkonfirmasi berbagai keluhan warga ini kepada NSHE. Sejak akhir September 2022, Mongabay mengontak orang perusahaan yang kemudian memberi email perusahaan. Mongabay diminta mengirimkan surat permohonan wawancara dan konfirmasi ke email itu.

 

Baca juga: Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Anak sungai yang bermuara di Sungai Batang Toru. yang jadi sumber air PLTA. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Pada 3 Oktober  Mongabay mengirimkan surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan ke email perusahaan namun, sampai liputan ini terbit, NSHE tidak memberiksan balasan.

Hendra Hasibuan, Ketua DPD Serikat Hijau Indonesia (SHI) Tapanuli Selatan mengatakan, meski telah menerima ganti rugi lahan, tetapi ada yang menyesal karena persoalan muncul belakangan.

Dia bilang, dari awal mestinya masyarakat mempertahankan lahan karena merupakan sumber kehidupan.

Belum lagi, setelah proyek ini masuk juga tak berdampak pada pembangunan infrastruktur desa. “Misal, Sitandiang dan Aek Batang Paya, dari tahun ke tahun keluhan mereka jalan rusak, padahal itu akses utama mendistribusikan hasil pertanian.”

Selain itu, kata Hendra, kehadiran perusahaan juga bisa jadi pembeli hasil panen masyarakat sekitar.

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Satya Bumi mengatakan, berbicara soal energi terbarukan memang harus meninjau ulang sumber ulang kasus per kasus. “Jangan sampai PLTA yang digadang-gadang sebagai solusi energi bersih, pada kenyataan dari sumber kotor dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Pada kasus PLTA Batang Toru ini memang kami melihat ada sejumlah persoalan sejak awal,” katanya kepada Mongabay, 18 Desember lalu.

Dia menyoroti beberapa hal. Pertama, berbagai polemik soal lahan ini memperlihatkan dalam proses proyek PLTA ini tidak mengedepankan free prior informed consent (FPIC) dengan masyarakat terdampak.

Semestinya, kata Andi,  informasi disampaikan haruslah tanpa paksaan terlebih janji palsu. Hitung-hitungan untuk PLTA ini, katanya, juga harus jelas di samping penetapan nilai lahan dirasa kurang adil, juga berpotensi kehilangan sumber pangan dan penghidupan masyarakat.

Kedua, mesti dihitung ulang apakah pembangunan PLTA ini benar-benar dibutuhkan. Sebab,  awalnya listrik untuk mengantisipasi beban puncak. “Saat ini,  kebutuhan listrik kita oversupply. Lalu untuk apa dan siapa pembangunan PLTA ini?”

Belum lagi, katanya, risiko-risiko tinggi yang lain antara lain, ancaman terhadap keanekaragaman hayati seperti orangutan Tapanuli dan infrastruktur PLTA di atas lempeng gempa yang menyebabkan proyek rentan memakan korban.

 

Lokasi pembangunan proyek PLTA Batang Toru. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Ketiga, dari sisi emisi, tenaga air sebenarnya juga variatif, bahkan bisa mengalahkan batubara. “Jadi memang harus dilihat dari tinjauannya.”

Dalam kasus PLTA Batang Toru, kata Andi,  dengan konsesi besar dan terjadi bukaan lahan cukup besar untuk mengakomodasi pekerjaan konstruksi, mengakibatkan emisi juga besar. Belum lagi nanti kalau sudah PLTA beroperasi.

Annisa Rahmawati,  Direktur Eksekutif Satya Bumi, mengatakan, kunci pembangunan berkelanjutan sesuai PBB harus memenuhi tiga faktor utama, yakni sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Pembangunan infrastruktur, katanya,  harus jalan sesuai protokol dan penilaian. Untuk PLTA, kata Annisa, sebetulnya sudah ada panduan hydropower sustainability assessment protocol (HSAP).

“Sayangnya kan permasalahan pada implementasi dan transparansi. Nanti kalau di asessement (penilaian) ada temuan dampak besar, nanti dibuat amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) baru yang menegaskan dampak yang teridentifikasi sebelumnya. Ini yang banyak terjadi,” katanya

Dia duga kondisi serupa juga terjadi di Batang Toru. Kondisi jadi lebih buruk setelah ada UU Cipta Kerja. “Sejak ada UU [Cipta Kerja] amdal makin tidak transparan dan partisipasi makin dipersempit.”

Untuk menjamin aspek keberlanjutan, katanya, para pihak harus terlibat termasuk masyarakat dan penguatan pengawasan.

Annisa bilang, transisi energi sudah keharusan tetapi proses harus dipastikan tidak merusak. “Percuma mau menyelamatkan dunia tapi mengorbankan suatu daerah, Batang Toru,  misal.”

Andi juga mengingatkan, aspek hak  asasi manusia (HAM) juga tidak boleh terabaikan.

Kalau melihat kasus ini, katanya, hak-hak yang rentan terlanggar salah satu adalah land acquisition and resettlement.  Ia jadi rentan karena karena pelaksanaan dinilai menyasar wilayah “yang dianggap tak berpenghuni”, padahal hutan dan lahan itu ruang hidup masyarakat adat.

Batang Toru ini, beberapa hak berisiko terlanggar seperti hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya, memperoleh manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan.

“Hak atas pangan juga rentan dilanggar karena lahan produktif yang dialihkan untuk proyek infrastruktur.”

 

Sungai Batang Toru dengan kiri kanan tutupan pepohonan sekaligus  lahan hidup warga inilah yang jadi proyek PLTA. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

********

Exit mobile version