Mongabay.co.id

Nestapa Orang Tobelo Dalam di Tengah Ruang Hidup yang Terus Terancam

 

 

 

 

Bokum menggeleng lemah. Bibir bergetar. Dia tertunduk seraya memejamkan mata di makam Nuhu, sepupunya yang meninggal dunia di penjara pada 15 Juli 2019. Sesekali bibirnya merapal doa.

Air mata tak mampu Bokum tahan.

“Damailah dalam pelukan semesta, Nuhu Akejira.” Begitu tulisan tertera di batu nisan Nuhu.

Makin deras air mata Bokum ketika mengusap nisan Nuhu.

Pada Februari lalu, saya, Syaiful Madjid, sosiolog peneliti O Hongana Manyawa biasa ada yang sebut Orang Tobelo Dalam, dan Supriadi  dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara menemani Bokum ziarah ke makam Nuhu di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ternate.

Saat masih di penjara Bokum berniat mengunjungi kuburan Nuhu. Sepekan setelah bebas, dia pun datangi makam Nuhu.

“Tadi itu dia berdoa untuk Nuhu agar tenang di alam mereka. Terus dia berjanji balik lagi dan membawa Nuhu ke hutan mereka,” kata Syaiful, yang paham bahasa yang disampaikan Bokum saat itu.

Syaiful bilang, Bokum dan Nuhu berniat sama-sama pulang ke Ake Jira menjaga tanah leluhur yang mereka tinggalkan lama.

“Waktu di penjara dia pernah bilang untuk Nuhu, kalau setelah bebas mereka akan pulang menjaga tanah leluhur mereka.”

Satu jam kami berada di tempat peristirahatan Nuhu. Sejak bebas, Bokum berada di Kantor AMAN Maluku Utara di Ternate. Bersama Supriadi dan Masri, pegiat lingkungan, kami tinggal bersama hampir dua bulan.

Syaiful, peneliti dan sosiolog Universitas Muhammadiyah Ternate, mengatakan, Bokum pernah cerita dapat sertifikat paket A. Dia belajar selama di penjara.

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara, ikut menyambut bebasnya Bokum. Bokum bebas lebih cepat dari vonis hakim, 15 tahun penjara.

Bokum bersama komunitasnya mendiami hutan Ake Jira, hutan yang secara administrasi masuk Trans SP III, Desa Woejarana, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Komunitasnya biasa disebut bagian dari Suku Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa. Orang luar ada yang menyebut mereka dengan sebutan Orang Togutil.

Pada 1 Maret 2015, Bokum dan Nuhu ditangkap ketika berada di kampungnya dengan tuduhan membunuh dua warga Waci, Halmahera Timur,  pada 2013 dan dua orang lagi pada 2014.

 

Baca juga: Ketika Tambang Nikel ‘Kuasai ‘Hutan Halmahera Tengah

Nohu (kiri) dan Bokum (kanan), dua Orang Tobelo Dalam, yang vonis membunuh. Foto: AMAN Malut

 

Saksi-saksi di persidangan pun tak ada yang melihat. Bokum dan Nuhu-lah  pelaku pembunuhan itu. Tudingan antara lain, berdasar pada ciri-ciri seperti berambut panjang, berkumis dan bercambang—yang bisa dikatakan laki-laki Tobelo Dalam punya ciri-ciri wajah sama. Ada juga menyatakan,  pelaku pakai cawat, sedang Bokum dan Nuhu, sudah gunakan pakaian, tak hanya cawat lagi.

“Suku Togutil memakai sabeba atau cawat, namun kini sebagian besar sudah memakai baju,” kata Syaiful.

Bahkan, saksi di persidangan menguatkan keberadaan Bokum dan Nuhu hingga tak mungkin berada di lokasi warga yang terbunuh. Bokum dan Nuhu di Ake Jira, yang berjarak jauh dari Waci, tempat warga tewas.

Keduanya pun membantah tuduhan namun hukum tetap menjerat mereka. Bokum dan Nuhu kena vonis 15 tahun penjara. Nuhu meninggal dunia karena sakit pada 2019. Bokum bebas 24 Januari 2022.

Syaiful mendampingi kasus Bokum dan Nuhu. Dia juga jadi bagian dari tim penasehat hukum bersama Maharani Caroline,  pengacara yang dampingi Bokum dan Nuhu.

Syaiful kecewa dengan putusan hakim.

Tempat tinggal keduanya di Ake Jira, kasus pembunuhan di Desa Waci, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur. Jarak yang sangat jauh. Waci, katanya,  bukan hutan tempat tinggal komunitas Bokum dan Nuhu.

“Kalau lihat di peta itu sangat jauh. Saya juga menjadi saksi ahli di dalam sidang mereka. Semua yang kita buktikan itu diabaikan oleh hakim,” kata peneliti O Hongana Manyawa ini.

Syaiful meneliti mengenai Suku Tobelo Dalam sejak 1994 di Wasile, Halmahera Timur,  lalu di Ake Jira,  perbatasan Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.

Orang Tobelo Dalam, kata Syaiful,  membunuh kalau kondisi terdesak seperti, mempertahankan hasil buruan, tempat dianggap keramat, maupun perampasan pasangan mereka (istri).

Dia bilang,  tradisi membunuh dikenal dengan magora atau merampas. “Itu membunuh kalau tradisi magora itu. Merampas istri orang. Itu didapat dari adu kekuatan dan saling membunuh. Siapa kuat dia dapat. Itu dianggap biasa di hutan. Kalau kita di luar dianggap luar biasa. Itu contoh kasus.”

Senada  dikatakan Syarifudin Abdurahman, antropolog Universitas Khairun Ternate.  Di dalam komunitas ini, katanya, antara mereka saling membunuh dan menyerang kalau ada tradisi yang dilanggar.

“Mereka juga membunuh kalau ada yang merampas atau magora istri orang lain.”

Hal itu bisa terjadi, katanya, kemungkinan karena sebaran perempuan Tobelo Dalam di Halmahera sangat sedikit. Dari 21 kelompok atau mata rumah, terbanyak di Halmahera Timur dengan 14 mata rumah.

“Halmahera Tengah enam mata rumah dan satu mata rumah di Payahe, Tidore Kepulauan,” katanya.

Menurut Syaiful, setiap membunuh ada kode fisik pada anggota tubuh mereka. Ada ikatan rambut (semacam konde). “Petunjuk jalan saya saat itu bernama Alekan miliki enam konde di kepala, itu artinya sudah membunuh enam orang di dalam hutan. Dia mengakui siapa saja dan di mana saja dia bunuh antar sesama kelompok.”

Dari penelitian lama soal Orang Tobelo Dalam, kata Syaiful, tingkat kejujuran mereka sangat tinggi.

Ngigoro Dulada, keturunan Tobelo Dalam mengatakan, Bokum dan Nuhu dituduh sebagai pembunuh atas kasus kematian warga di Waci. Dia heran dengan tudingan itu.  Bokum dan Nuhu itu Orang Tobelo Dalam di Ake Jira, sedang kasus pembunuhan warga di Waci. Dari sisi jarak saja, Ake Jira, dan Waci, begitu jauh.

Dia tinggal di Buli, Halmahera Timur. Dia lahir di Maleobohuku, lokasi yang kini bernama Tofubleweng. Meski sejak usia tujuh tahun Ngigoro sudah tak tidak lagi di sana. Dia memutuskan hidup di pesisir bersama ibu dan ayah sambungya. Kepindahan itu setelah ayahnya, Dulada meninggal tahun 1970-an.

 

Pondok orang Tobelo Dalam di Hutan Ake Jira. Masih ada beberapa keluarga hidup di dalam hutan, seperti tetua Ibu Tupa. Foto: AMAN Malut

 

Ngigoro hadir di pengadilan sebagai saksi untuk Bokum dan Nuhu. Selain bisa berbahasa Tobelo, Ngigoro juga fasih berbahasa Indonesia.

Dia yakin, keduanya bukan pelaku pembunuhan seperti dituduhkan. Menuju Waci sangat sulit bagi Komunitas Ake Jira.

Setiap komunitas, katanya,  sudah dibatasi wilayah untuk tinggal dan berburu. Dalam melintasi batas wilayah berburu tanpa izin pemilik kawasan itu, katanya, bisa terjadi perang. Konsekuensinya,  bisa dibunuh.

Torang punya budaya di hutan itu, torang tara bisa ganggu wilayah berburu Orang Tobelo Dalam yang lain. Kalau torang ganggu wilayah yang lain itu torang antar (berikan) nyawa. Begitu selama ini torang sampe sekarang,” kata Ngigoro.

Selain itu, katanya, jarak menuju hutan Waci, tempat peristiwa terjadi membutuhkan waktu berhari-hari. Di daerah itu juga ada Tobelo Dalam Woesopen, salah satu komunitas yang mendiami hutan Waci dan sekitar.

“Jadi,  tara masuk akal kalau Bokum dan Nuhu, komunitas di Ake Jira,  ke sana hanya untuk ambil kayu gaharu. Masih banyak juga di sekitar Ake Jira dan sekitar,”katanya.

 

Hutan Ake Jira, yang hilang untuk tambang nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

Stigma buruk

Syarifudin mengatakan, Orang Tobelo Dalam kerap menerima stigma buruk, seperti, jahat, pembunuh, sampai dianggap sebagai tuna budaya atau orang tidak berbudaya.

Kasus yang menimpa Bokum dan Nuhu, memperlihatkan kuatnya stigma itu. Munadi Kilkoda Ketua AMAN Maluku Utara pun benarkan stigma kepada Orang Tobelo Dalam ini.

Dia bilang, mereka seringkali dituduh sebagai pelaku tindakan kejahatan. Dalam beberapa kasus, misal, ada pembunuhan di hutan Halmahera, tuduhan menyasar ke kelompok Tobelo Dalam padahal fakta-fakta tidak kuat jadikan mereka pelaku.

AMAN,  katanya, berupaya melakukan pendampingan sejak awal atas kasus Bokum dan Nuhu.

Dia berharap,  Bokum bisa kembali ke tempat asal dan bisa bersama-sama dengan keluarganya kembali.  “Sudah delapan tahun lebih Bokum berada di tahanan.”

Harapannya, Bokum bisa mempertahankan ruang hidup komunitas mereka.

“Tempat tinggal Bokum itu jadi rebutan banyak orang karena di situ ada tambang nikel dan orang ingin berebut tanah di situ untuk jual belikan kepada perusahaan. Kita berharap Bokum bisa datang dan memberi pengertian kepada saudaranya untuk mempertahankan wilayah.”

Bicara ruang hidup, kata Syarifudin, ada tiga kategori kelompok O Hongana Manayawa, yang masih nomaden, sudah menetap, dan menetap sementara.

Menetap sementara,  kata Syarifudin, karena mereka tinggal di suatu kawasan, satu atau dua tahun. Kalau ada kejadian tiba-tiba seperti kematian atau wabah penyakit, mereka akan berpindah.  Yang hidup nomaden, katanya, lebih memilih menghirup udara segar di hutan. Mereka ini biasanya hidup satu dua bulan di satu titik atau kawasan hutan kemudian berpindah.

Dia paparkan, pengelompokan dari Suku Togutil ini berdasarkan kawasan. Di Kabupaten Halmahera Tengah ada tujuh suku. Masing-masing komunitas orang dalam hutan tidak bisa saling berbenturan atau bersinggungan mengenai wilayah mereka karena ada tanda yang dihormati. Apabila, di suatu wilayah dengan penghuni masih ada hubungan keluarga dengan wilayah lain maka masih bisa ke komunitas itu.

Dari tiga sebaran lokasi terbesar, kata Syaiful, ada di Halmahera Timur dengan 14 titik, di Halmahera Tengah (6) dan Tidore Kepulauan ada satu di Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata. Mereka semua pecahan kelompok Ake Jira.

Jadi, katanya, kalau orang ingin masuk di suatu wilayah harus memberikan tanda (ma ulo), ada juga tanda berupa suara atau potongan daun.

 

Hutan Ake Jira, di Halmahera Tengah, yang terbabat jadi tambang nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Makin terdesak

Orang Tobelo Dalam ini, menghadapi tekanan besar dengan ada tambang dan mereka tersingkir. Dia contohkan, masyarakat Tobelo Dalam di Ake Jira.

Sejak dulu, kata Munadi,  Ake Jira dikenal tempat tinggal Orang Tobelo Dalam. Saat ini,  mereka tersingkir dari ruang hidup untuk kepentingan investasi besar tanpa ada perhatian sama sekali.

“Jadi, mereka dianggap pengganggu kalau didiamkan disitu jadi harus disingkirkan,” katanya.

Persoalan lain yang dihadapi Orang Dalam ini, katanya,  masih sering ada menyebut mereka sebagai masyarakat terasing hingga muncul pendekatan-pendekatan kebijakan pemerintah merumahkan mereka. Proses merumahkan Orang Tobelum Dalam, katanya, sudah sejak 1982 dan berlangsung hingga kini.

Dia meminta, pemerintah melindungi ruang hidup Orang Tobelo Dalam, termasuk Bokum dan keluarga. Pemerintah, katanya, juga beri teguran kepada perusahaan.

“Jangan semua hutan Ake Jira ditambang karena masih ada manusia hidup di situ. Mereka memiliki hak hidup, jangan seenaknya wilayah itu ditambang untuk kepuasan pemodal-pemodal besar.”

 

 

*********

 

Tulisan  ini merupakan salah satu pemenang Data Journalism Hackathon 2022 yang diselenggarakan Indonesia Data Journalism Network.

Naskah : Christ Belseran

Ilustrasi dan Layout: Taqi

Desain Media Sosial
Dzatmiati Sari

 

Exit mobile version