Mongabay.co.id

Pemimpin Adat dan Agama Harus Mencari Solusi atas Masalah Lingkungan

 

Berdasarkan statistik kualitas lingkungan Bali dan analisis situasi menunjukkan ada banyak masalah yang harus dimitigasi. Misalnya pelanggaran tata ruang, peningkatan emisi penyebab efek rumah kaca, sampah, dan lainnya.

Sejumlah praktisi dan akademisi bidang lingkungan di Bali membedah hal ini pada diskusi terfokus oleh

Religions for Peace (RfP) Indonesia bersama dengan Gita Santih Nusantara (GSN) yang diikuti tokoh lintas agama dan aktivis lingkungan pada Sabtu (3/12/2022) secara online. Situasi ini mendorong perlunya pemimpin adat dan agama memimpin solusi penyelamatan lingkungan.

Romo J. Hariyanto, SJ, Chairperson of Religions for Peace Indonesia mengatakan masalah lingkungan dengan agama terlihat jelas. Menurutnya pemimpin agama lebih senang bicara surga. “Apa hubungannya lingkungan rusak atau tidak asalkan masuk surga dengan taat pada agama,” ia mengutip pernyataan yang sering didengarnya.

Hal ini menurutnya karena ada kecenderungan ekstrem, agama diyakini punya semua jawaban, tinggal dicari teksnya. “Menghindarikan diri dari pokok masalah. Perdamaian yang jadi pesan penting agama, saat ini dikaitkan dengan kerusakan lingkungan, tempat hidup. Ketika lingkungan hancur, pesan perdamaian tidak bermakna. Karena ada perebutan, konflik, akses hidup yang menciptakan kerusakan lebih parah,” paparnya. Komunitas agama disebut harus melibatkan diri dalam permasalahan yang muncul.

Rev. Masamichi Kamiya, Senior Advisor Asian Conference of Religions for Peace juga menekankan hal senada. Ia mengutip hasil keputusan konferensi perubahan iklim, COP di Mesir tahun ini. Ada komitmen bantuan untuk kerusakan lingkungan.

baca : Organisasi Gereja Terbesar di Sulawesi Utara Sepakat Lestarikan Satwa Liar Dilindungi

 

Akar pohon yang tercerabut, dan hutan yang rusak rusak pasca letusan Gunung Semeru. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Catur Yudha Hariani, Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali memaparkan tekanan lingkungan yang berdampak pada peningkatan emisi karbon. Pertama, sampah sebanyak 4.281 ton per hari berkontribusi pada pelepasan karbon karena belum cukup pengolahan. TPA dan TPS menghasilkan gas methan karena ditumpuk saja atau open dumping. “Sarana prasarana minim, cara konvensional ditumpuk di TPA. Padahal aturan sampah banyak, dari Perda dan Pergub. Penganggaran rendah,” jelasnya.

Berikutnya dari sektor pertanian dan peternakan, menurut data BPS, sawah tersisa saat ini sekitar 79 ribu hektar. Namun mayoritas pola tanam masih menggunakan pestisida kimia sintetik. Padahal sudah ada regulasi pertanian organik. Gas CO2 terus meningkat. Sedangkan ternak yang dibudidayakan dominan sapi dan babi, pada tahun 2021 jumlahnya sekitar 995.263 ekor. Kotoran belum terkelola dan berdampak dengan lepasnya gas metana. “Dulu ada program sistem pertanian terintegrasi (Simantri) lalu berhenti. Diharapkan kotoran diolah jadi biogas dan limbahnya jadi pupuk,” ingat Catur. Ditambah lagi masih pembakaran sampah dan jerami di sawah.

Berikutnya dari sektor transportasi. Menurut Dinas Perhubungan pada 2021 di Bali ada 4.510.791 unit kendaraan, lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk 4,32 juta orang. “Motor terbaru pasti ada di Bali. Berkontribusi pada CO2,” sebut Catur. Ia berharap Bali memprioritaskan pendidikan lingkungan, penganggaran memadai, peningkatan sarana dan partisipasi publik.

baca juga : Soal Hutan Rakyat dan Komitmen Lingkungan Masyarakat, Kementerian Gandeng Organisasi Agama

 

Warga bersembahyang di pura sawah di Jatiluwih, Tabanan, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Prof Nyoman Sunarta, Guru Besar Pariwisata Lingkungan, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana mengingatkan risiko perubahan iklim di Bali. Data BPS 2020 menyebutkan di Indonesia sekitar 42 juta orang yang tinggal di daratan berketinggian kurang dari 10 meter di atas pemukaan laut. Sedangkan riset USAID 2016 menyebutkan dampak perubahan iklim akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada 2050. “Mengatasi perubahan iklim harus jelas. Berharap penanaman mangrove KTT G20 berkelanjutan, tidak seremonial saja,” ia mencontohkan.

Tingkat kerentanan pesisir Jawa-Bali menurutnya sangat tinggi. Dampaknya pada ketahanan pangan, risiko kesehatan, ketersediaan air berkurang, dan penurunan ekonomi.

Misalnya Bali yang merupakan pulau kecil, sumberdaya alam terbatas, penduduk saat ini sekitar 4,32 juta. Ditambah 6,3 juta wisatawan saat kunjungan pada 2019. Sebelum pandemi, perkembangan pariwisata di Bali tak bisa dibendung.

Di sisi lain distribusi curah hujan dan topografi daerah subur berada di tengah dan selatan. Pusat pariwisata juga di tengah dan selatan pulau Bali. “Paradigma pariwisata saat ini, mengutip Howkins ibarat burung angsa setelah bertelur akan merusak sarangnya sendiri. Jika sumberdaya habis, pergi, yang menerima kerusakan warga lokal,” sebutnya.

baca juga : Ekowisata, Bentuk Upaya Pelibatan Warga Untuk Jaga Kawasan TN Bali Barat

 

Panorama pagi di sanur ketika laut dan gunung bertemu. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Contoh baik dilakukan negara Bhutan yang menolak wisatawan karena daya dukungnya tidak cukup. Ini salah satu penyebab tingkat kebahagiaan warganya lebih tinggi.

Ketika sumberdaya langka seperti tanah dan air, pariwisata selalu jadi pemenang. Ia menunjukkan konsep leluhur menjaga alam. Di Bali, lokasi tempat suci seperti pura sebagian besar di jalur hijau. Orang Bali disuruh jaga agar hutan dan pegunungan tidak hancur.

Namun, situasinya saat ini paradoks. Misalnya di Danau Beratan, saat musim hujan air danau naik seolah pura tergenang. Lahan pertanian masyarakat juga tergenang, tidak bisa tanam sayuran. Pemerintah dinilai membuat aksi jangka pendek saja, saat air danau naik dibuang ke pelimpah, agar pura tidak terganang. Kini sudah muncul daratan di sekitar pura, ditambah ada pembangunan jalan baru atau shortcut.

Tekanan pariwisata pada lingkungan juga nampak di pembangunan akomodasi. Data pada 2006 di Kuta menunjukkan ada 642 villa. Sunarta mengutip, hanya 19% legal, dan sisanya 81% melanggar tata ruang.

Pariwisata juga dinilai penyebab krisis air di Bali. Peneliti Stroma Cole pada 2010 memperkirakan krisis air pada 2025. Ketersediaan dan kebutuhan 5 kabupaten akan defisit. Hal ini diperparah dengan cepatnya perubahan penggunaan lahan pada dua dekade terakhir yang sangat cepat, misal pada 2000, 2015, dan 2020. “Hanya 5 tahun berubah drastis. Ia senang pandemi memaksa pemulihan.

Kenapa lingkungan tetap rusak? “Harusnya cara pandang berubah, harus kembali ke dasar, alam, dan tradisi. Itulah yang dijual di Bali,” sebut Sunarta. Konsep baru yang ia tawarkan, berupa akronim natasha: nature as stakeholder and actor. Karena alam hanya objek dan bisa dieksploitasi seenaknya. “Wisatawan terlalu didewakan, masyarakat dan alam hanya jadi objek,” keluhnya.

perlu dibaca : Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

Warga Kota Negara, Jembrana, Bali, beraktivitas di Tukad Ijo Gading di antara serakan sampah plastik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

I Nyoman Sadra, salah seorang pendiri Ashram Gandhi di Candidasa, Karangasem yang kerap membuat acara dialog lintas agama dan tokoh masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan juga protes sejumlah proyek pembangunan besar tanpa mengindahkan tata ruang dan kawasan rawan bencana.

Pembangunan pusat parkir megah di kawasan Pura Besakih, kompleks pura terbesar di Bali ini menurutnya merusak pola tata ruang kawasan suci. Dalam konsep Hindu di Bali, hubungan harmonis dengan Tuhan disimbolkan dalam lokasi tempat suci yang menjaga keseimbangan alam seperti puncak bukit, kaki gunung, dan pesisir. Tujuannya agar manusia melestarikan sebagai kawasan hijau, resapan air, dan biodiversitas.

Berikutnya pembangunan Pusat Kebudayaan Bali baru di kawasan rawan bencana, sempadan Tukad Unda di Kabupaten Klungkung. “Atas nama pariwisata banyak sekali perubahan. Tata ruang sempadan pantai, jurang, sungai. Jika diminati investor, pemegang kebijakan mengubah peraturan. Perda dicabut dengan Pergub karena investor masuk,” tukas Sadra.

Sejumlah konsep dan kearifan lokal Bali yang menurutnya mulai luntur di antaranya Tatwam Asi, artinya tidak melakukan kekerasan. Simbol suci Hindu dilambangkan dengan Swastika, tanda tambah, merujuk pada tapak dara simetris. Swasti artinya selamat dan sejahtera, dan Ika artinya itu.

Ada juga tradisi dan ritual yang sangat erat dengan pelestarian alam, namun kurang diaktualisasikan. Misalnya Tumpek Wariga, ritual khusus menghormati tanaman, tanah, air. Ada juga Tumpek Kandang penghormatan pada hewan. “Pohon diberi kain agar manusia tidak sembarangan pada pohon. Sementara sesajen, isinya patram (daun), puspam (bunga), palam (buah), dan toyam (air).

Desanya, Tenganan Pegringsingan adalah desa kuno yang masih disiplin mempraktikkan sejumlah tradisi merawat tumbuhan, hewan, dan hutan desa. Desa adat melarang warga menebang pohon sembarangan.

Jika Bali tetap ingin fokus mendatangkan wisatawan, Sadra berharap modelnya bukan pariwisata massal dan mengutamakan alam. Misalnya wisata nyegara gunung atau memuliakan laut dan gunung.

baca juga : Nyepi Segara, Ketika Laut Rehat di Bali

 

Anak-anak bermain di pantai Buitan Kabupaten Karangasem, Bali setelah melakukan ritual sembahyang Nyegara Gunung. Foto : Luh De Suriyani

 

Pendekatan pemimpin Agama

Cornelius, moderator diskusi berkisah, di daerahnya ada liturgi gereja sekitar satu bulan tentang lingkungan hidup. Peraturan mewajibkan jemaat tanam air, pihak gereja sampai memeriksa rumah warga apakah punya serapan air. Sampah juga diimbau dipilah, karena gereja memproduksi sampah.

“Kami tidak memiliki pengetahuan, kebun penuh sampah plastik, setelah digali lalu diapakan bingung. Akhirnya dibakar,” keluhnya.

Walau pemuka agama sudah mulai peduli, menurutnya pengetahuan dan edukasi sangat penting. Karena ada kebiasaan yang sulit diubah, misalnya ladang dibakar agar rumput cepat tumbuh rumput untuk makanan sapi.

Sementara di Bali, pemimpin agama dinilai tidak begitu intens dalam keseharian warga. Sunarta menyebut yang paling berpengaruh adalah pimpinan adat. “Harus mulai dari desa adat. Orang Bali takut di-sepekang (kena sanksi adat) di desa.

I Nyoman Sadra juga setuju membumikan ritual adat dan laku agama sangat terkait konservasi lingkungan “Sesajen itu alat, mengingatkan manusia untuk konservasi agar tak tercemar. Di Bali ritualistik, sembahyang ramai-ramai tapi sampah bertebaran, hanya di permukaan. Sudah ada bank sampah, tapi tidak ada kebijakan adat mendukung,” paparnya.

 

Exit mobile version