Mongabay.co.id

Cerita Rintisan Peningkatan Mutu Fine Coffee Robusta Pupuan 

 

Aroma kopi disangrai menguar dari belakang kantor Desa Pajahan pada Rabu, 14 Desember 2022 lalu. Kuatnya aroma kopi sangrai itu bertemu dengan aroma tanah seusai hujan mengguyur desa di Kecamatan Pupuan, Tabanan, Bali itu.

Mika Adiputra, 30 tahun, sedang menyangrai biji-biji kopi robusta pada tengah hari itu. Biji kopi yang telah berwarna kecokelatan keluar dari mesin penyangrai, turun bergeretak ke bagian piring pendingin (cooling plate). “Ada tiga pilihan level kopi sangrai, yaitu light, medium, dan strong. Makin pekat warna kopinya, makin kuat rasanya,” katanya.

Meyangrai kopi kini telah menjadi keseharian Mika. Sebelumnya, anak bungsu dari tiga bersaudara ini bekerja sebagai penerima tamu (front office) di salah satu vila di Canggu, Kabupaten Badung, salah satu magnet pariwisata Bali saat ini. Namun, hantaman pandemi COVID-19 membuat Mika harus kembali ke kampungnya yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dari Denpasar ini.

Memang ada alasan lain baginya untuk kembali ke kampung. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga Bali, suatu saat dia tetap harus mengurusi rumahnya, betapapun jauh dia merantau. “Jadi, ya, kenapa tidak sekalian balik kampung saja seterusnya,” kata Mika yang mulai bekerja di Badung sejak 2017.

Sejak Maret 2020, mau tak mau, Mika pun menekuni pertanian. Dia mengolah sekitar 1,5 hektare kebun milik orangtuanya. “Dulu, sih, ikut bertani sekadarnya saja, tetapi setelah saya belajar lebih lanjut tentang kopi, saya jadi tertarik untuk lebih serius,” lanjutnya.

Kebetulan, sebelum dirumahkan karena pandemi, Mika sempat berkenalan dengan dua pelaku usaha kopi. Mereka yang menyadarkannya tentang betapa besarnya potensi kopi dari kampungnya, Pupuan.

baca : Mengkhawatirkan, Produksi Kopi Kebanggaan Bali Makin Turun. Ada Apa? 

 

Petani di Desa Pajahan, Tabanan, Bali, memerlihatkan tanaman manggis yang menjadi penaung tanaman kopi di kebunnya. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Potensi

Berada di ketinggian antara 500 mdpl hingga 1.000 mdpl dan beriklim sejuk, Pupuan merupakan kawasan tepat untuk tumbuhnya kopi robusta. Kecamatan yang berada di kaki Gunung Batukaru ini menjadi sentra produksi kopi robusta terbesar di Kabupaten Tabanan, di atas Kecamatan Selemadeg Barat dan Kecamatan Penebel.

Pada umumnya petani di sini mengelola kebun kopi seluas 0,5 hingga 1,5 hektare. Di dalam kebun juga terdapat tanaman lain dengan sistem tumpang sari, seperti manggis, durian, dan salak.

Kabupaten Tabanan sendiri menghasilkan sekitar 5.589 ton kopi robusta pada tahun 2021. Jumlah itu meningkat dari 5.546 ton (2020) dan 5.500 ton (2019). Sebagaimana ditulis IDN Times, naiknya produksi kopi robusta tersebut karena adanya peremajaan kopi dan intensifikasi. Peningkatan produksi itu membuat Tabanan menjadi kabupaten penghasil kopi robusta tertinggi di Bali disusul Kabupaten Buleleng dengan produksi 5.379 ton pada tahun 2021. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, jumlah produksi kopi robusta seluruh Bali pada tahun 2021 sebanyak 11.666 ton.

Namun, sebagai anak yang dibesarkan dalam keluarga petani, pada awalnya Mika dan anak-anak muda lain di Pajahan kurang melirik sektor pertanian. Alasannya klise, kerja di pertanian terlalu melelahkan dan hasilnya kurang menjanjikan. Maka, mereka pun merantau ke luar kampung atau bahkan luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan yang dianggap lebih baik.

Pandemi COVID-19 sempat membuat anak-anak muda itu kembali ke kampung dan bertani. Begitu pula dengan Mika. Namun, setelah pariwisata Bali pelan-pelan kembali pulih selama enam bulan terakhir, mereka pun kembali merantau. Mika memilih tetap bertahan di desa dan mengembangkan usaha kopi bersama petani lainnya. Bedanya, kini mereka tidak hanya serius pada budidaya, tetapi juga pengolahan pascapanen.

Pada saat sama, Yayasan Kopernik, organisasi yang bergerak di bidang penerapan teknologi tepat guna juga melihat potensi tersebut. Mochammad Dwi Ergianto, Associate Manager Yayasan Kopernik, mengatakan, ada beberapa masalah yang mereka temukan dalam budi daya kopi robusta di Pupuan. Masalah itu adalah tingginya penggunaan bahan-bahan kimia, minimnya keterlibatan anak muda, kurangnya kualitas pengolahan pascapanen, dan terbatasnya akses pasar.

Sejak dua tahun lalu, Kopernik pun mendampingi petani di Desa Pajahan melakukan peningkatan kapasitas, membuat pusat inovasi kopi, dan menghubungkan petani dengan pasar baru. “Kami berusaha memperkuat posisi petani sebagai pembudidaya maupun pengusaha kopi di tingkat desa,” kata Ergi.

baca juga : Untung Ganda Kopi, untuk Ekonomi dan Konservasi 

 

Petani di Desa Pajahan, Tabanan, Bali, menunjukkan kopi biji yang sudah disangrai dan siap jual. Foto : Anton Muhajir/Momgabay Indonesia

 

Pengolahan

Sebagai proyek percontohan, Kopernik mendukung 20 petani yang tergabung dalam Unit Usaha Tani (UUT) Agro Semesta. Mika salah satu anggotanya. Tidak hanya belajar tentang budidaya yang lebih baik (good agriculture practice), Mika dan petani lain juga belajar tentang bisnis kopi mulai dari perencanaan, pengolahan, hingga pemasaran kopi.

“Kami sekarang jadi tahu bahwa memetik kopi yang sudah merah itu lebih baik daripada memetik rajutan,” kata Kadek Semiada, 49 tahun, petani lain di Pajahan.

Seperti petani lain di Pupuan, Semiada sebelumnya memanen kopi secara asalan, dicampur antara buah merah dan buah yang masih hijau. Mereka menyebutnya rajutan. Mereka tidak tahu bahwa mencampur biji merah dan biji hijau akan memengaruhi kualitas, dan tentu saja, harga kopi.

Bagi Mika, dukungan Kopernik juga menguatkan motivasinya untuk lebih serius terjun ke usaha kopi. Tidak hanya di kebun, tetapi hingga meja saji. Sebelumnya, dia juga sudah belajar pengolahan pascapanen kopi mulai pemilahan, pengeringan, penyangraian (roasting), bahkan penyajian kopi siap minum (barista). Mika ingin agar kopi robusta Pupuan tak hanya menjadi produk yang dijual secara asalan, tetapi juga ada nilai tambah (added value) di dalamnya.

Kopernik membantu peralatan bagi petani anggota UUT Agro Semesta, termasuk alat pengering dengan sinar matahari (solar dryer) bahkan penyangrai. Mereka pun menghubungkan petani dengan pembeli. Salah satunya adalah Kadek Edi, pemilik Karana Coffee, usaha pengolah kopi berkantor di Ubud, Gianyar. Edi adalah juga Q Grader tersertifikasi atau penilai kualitas dan karakteristik kopi.

baca juga : Upaya Lestarikan Kopi Bacan dari Induk Tanaman Usia Lebih 100 Tahun

 

Mika Saputra menyangrai kopi robusta Pupuan, di unit pengolahan milik kelompoknya di Tabanan, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Edi, kopi robusta Pupuan memiliki peluang pasar tinggi di tengah menurunnya produksi kopi arabika karena perubahan iklim dan penggantian tanaman kopi arabika dengan jeruk maupun karena tingginya permintaan kopi. Oleh karena itu, dia bersedia ketika Gede Robi Suprianto, musisi dan petani, mengajaknya bekerja sama dengan petani di Pajahan.

“Kualitas kopi robusta Pupuan itu bisa masuk fine coffee. Asal kualitasnya dijaga, kami pasti beli dengan harga bagus,” kata Edi. Menurut Edi, kualitas kopi ditentukan antara lain dari kadar air, tingkat kecacatan, dan proses pengolahan apakah basah atau kering. “Tidak bisa disamakan proses basah dengan kering. Ada spesifikasi karakter rasa yang kita cari disitu (pengolahan),” lanjutnya.

Robi, pentolan band Navicula yang juga mengolah kebun keluarganya di Pajahan, turut mendukung pengembangan kopi robusta di tanah kelahiran orangtuanya itu. Menurut Robi, peningkatan kualitas dan kuantitas kopi di tingkat hulu sangat penting untuk pengembangan kopi Indonesia.

“Dunia butuh kopi, tetapi kita menghadapi ancaman besar. Kedai kopi dan peminum kopi terus bertambah, tetapi petani kopi justru berkurang. Karena itu pengembangan kopi Indonesia harus berfokus pada petani kopi,” ujar Robi.

Melalui kolaborasi lintas parapihak, termasuk petani, organisasi masyarakat sipil, pengusaha, dan pemerintah, kopi robusta Pupuan kini semakin dikenal pasar. “Sekarang banyak buyer masuk ke Pupuan karena tahu pengolahannya bagus,” kata Putu Sugiantika, Petugas Penyuluh Lapangan Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan.

baca juga : Resahnya Petani Kopi Lampung Terhadap Perubahan Iklim 

 

Ilustrsi. Seorang petani sedang memanen kopi di Kintamani, Bangli, Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version