Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Gajah Sumatera yang Terusir dari Habitatnya

Satu individu gajah tunggal terlihat lelah di wilayah Desa Suka Mulya, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel, karena dikejar dan dihalau warga, Rabu [06/07/2022]. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

 

Kedatuan Sriwijaya pernah memperkenalkan diri sebagai negeri dengan ribuan gajah [Elephas maximus sumatranus] kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus, pada abad ke-8. Artinya, saat itu seribuan gajah hidup di dataran tinggi maupun rendah di Sumatera Selatan.

Ribuan tahun sebelumnya, di masa peradaban Megalitikum, gajah sangat dihormati manusia yang hidup di Sumatera Selatan, seperti di wilayah Pasemah. Lalu, ke mana perginya ribuan gajah tersebut?

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia ke berbagai wilayah di Sumatera Selatan, baik di dataran tinggi maupun dataran rendah, tidak ditemukan tradisi atau budaya berburu gajah pada masyarakat lokal. Baik untuk diambil gading, daging, maupun kepentingan lainnya. Bahkan, jika kawanan gajah dinilai mengganggu ruang hidup masyarakat, seseorang cukup berkomunikasi [lisan] dengan gajah untuk pergi atau berbagi makanan.

“Tahun 1990-an ke bawah ratusan gajah hidup di Gunung Raya. Kami hidup rukun. Gajah hidup di hutan, kami hidup di dusun,” kata Iptoni [57], warga Desa Tanjung Kemala, Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT], Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan, pertengahan Desember 2022.

“Di bawah tahun 2000-an, masih banyak gajah di rawang [rawa gambut] di dusun ini. Kami tidak pernah memburu mereka. Tidak ada tradisi kami berburu gading atau hal-hal terkait dengan gajah,” kata Haji Nungcik [53], warga Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, akhir Desember 2022.

Baca: Berbagi Durian dengan Gajah Sumatera

 

Satu individu gajah tunggal terlihat di wilayah Desa Suka Mulya, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel, saat dihalau warga, Rabu [06/07/2022]. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi, SM Padang Sugihan Sebokor adalah salah satu kantong gajah sumatera di wilayah pesisir Sumatera Selatan atau di Lanskap Padang Sugihan.

Kantong gajah di Lanskap Padang Sugihan, antara lain Padang Sugihan, Sebokor, Sugihan-Simpang Heran, Penyambungan dan Cengal. Luasnya mencapai 600-an ribu hektar. Tercatat, 127 individu gajah liar yang hidup di Lanskap Padang Sugihan saat ini.

Gunung Raya yang kini ditetapkan sebagai suaka margasatwa, dinyatakan tidak ada lagi gajah sumatera. Sekitar lima individu gajah betina hidup di antara SM Gunung Raya dengan Bukit Sigigok. Koridornya berada di sejumlah desa di Buay Pemaca dan Buana Pemaca, hutan lindung Saka Gunung Raya, dan konsesi PT. PML [Paramitra Mulia Langgeng].

Baca: Pudarnya Keharmonisan Manusia dengan Gajah. Mengapa?

 

Anak gajah liar telihat kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

HPH, transmigran, kebun sawit, dan HTI

Di masa Orde Baru [1970-1990-an], berbagai perusahaan HPH [Hak Penguasaan Hutan] beroperasi di Indonesia, termasuk di Pulau Sumatera. Pada masa itu, berbagai perusahaan menebang jutaan pohon di hutan. Selain perusahaan, juga aktivitas illegal logging dilakukan sejumlah kelompok masyarakat.

Terbukanya hutan membuat gajah dan satwa lainnya, seperti harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], terdesak. Sebab tidak sedikit habitat gajah hilang, yang merupakan ruang hidupnya serta tempat mencari pakan.

Setelah itu, pemerintah mengeluarkan UU Pemerintahan Desa Tahun 1979 dan program swasembada pangan. Guna mewujudkan hal tersebut, maka dilaksanakan program transmigran. Capaiannya guna menyebarkan penduduk di luar Pulau Jawa, sehingga terwujudnya pemerintahan desa yang menggantikan pemerintahan sebelumnya, seperti pemerintahan marga.

Pada saat itu banyak wilayah di luar Pulau Jawa, seperti di Sumatera, yang populasi penduduknya minim atau tidak memenuhi syarat untuk dijadikan desa. Capaian lainnya yakni pengembangan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Guna memfasilitasi ruang hidup transmigran ini, ratusan ribu hektar hutan dibuka. Termasuk memanfaatkan lahan eks perusahaan HPH.

Dampaknya, banyak ruang hidup gajah yang terbuka dan hilang. Selanjutnya, terjadi konflik antara manusia dan gajah. Konflik yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Terkait konflik ini, pemerintah lebih mengambil langkah pemindahan seribuan gajah.

Baca: Menjaga Gajah Sumatera Tersisa di Padang Sugihan

 

Satu kelompok gajah terpantau di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Pada 1982-1983, di Lanskap Padang Sugihan, pemerintah melakukan Operasi Ganesha, yakni memindahkan ratusan gajah dari wilayah Air Sugihan ke Lebong Hitam, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI]. Air Sugihan merupakan wilayah permukiman transmigran.

Hal yang sama dilakukan pemerintah di Lanskap Gunung Raya, Kabupaten OKU Selatan. Sekitar 184 gajah ditangkap dan dipindahkan.

Sejumlah gajah masih bertahan atau gagal ditangkap dan dipindahkan, baik di Padang Sugihan maupun di Gunung Raya. Gajah yang tersisa ini berusaha bertahan hidup.

Namun, mereka kemudian berhadapan dengan “tamu” baru, yakni perusahaan perkebunan sawit dan HTI [Hutan Tanaman Industri]. Gajah kemudian diposisikan sebagai “hama”. Mereka selalu dihalau dari lokasi perkebunan sawit atau HTI.

Bahkan sebagian masyarakat yang menetap di Lanskap Gunung Raya dan Air Sugihan, yang belum setengah abad, memandang gajah sebagai hama dan ancaman. Konflik pun sering terjadi. Banyak korban jiwa di kedua pihak, baik gajah maupun manusia.

“Gajah ini sering merusak sawah dan kebun jagung kami. Kami berharap kelompok gajah yang sering melintas di sini dipindahkan,” kata seorang warga di Desa Sidodadi, Buay Pemaca, Kabupaten OKU Selatan.

Baca: Memahami Perilaku Gajah Tunggal yang Sering Jadi Korban Konflik

 

Jalur gajah di Desa Sidodadi, Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten OKU Selatan, Sumsel, yang dipotong jalan desa dan kebun warga. Foto: [Drone] Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Kebun binatang dan taman safari

Ratusan gajah yang ditangkap di Air Sugihan dan Gunung Raya dikirim ke berbagai kebun binatang dan taman safari di Bali, Kalimantan, dan Jawa. Sebelum dikirim, mereka mengikuti proses pendidikan [sekolah] di Pusat Latihan Gajah [PLG] Lahat, PLG Padang Sugihan, dan PLG Way Kambas.

Gajah-gajah yang sekolah itu dibina menjadi gajah jinak dan memiliki keterampilan tertentu, sehingga dapat menghibur manusia yang berinteraksi dengannya, seperti di kebun binatang dan taman safari.

Para “pembina” gajah yang tersebar di berbagai PLG tersebut, sebagian mendapatkan pelatihan di Thailand. Dari Thailand didapatkan pengetahuan bagaimana membina gajah. Pengetahuan yang tidak ditemukan pada masyarakat lokal di Sumatera, yang selama ratusan tahun hidup harmonis dengan gajah.

“Tidak semuanya di kebun binatang dan taman safari, ada juga yang dipindahkan ke berbagai habitat gajah yang tersisa di Pulau Sumatera,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa].

Baca juga: Ribuan Tahun Peran Gajah Membangun Peradaban Sumatera

 

Hutan larangan Cangkah Dua yang berada di kaki Gunung Raya. Hutan larangan itu merupakan habitat gajah sumatera. Foto: [Drone] Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Harapan baru

Berbagai kampanye dan komitmen sejumlah negara untuk melindungi gajah, termasuk gajah sumatera, telah mendorong kesadaran baru bagi pelaku usaha di dunia, termasuk di Indonesia. Mereka mencoba hidup “berdampingan” dengan gajah dan satwa liar lainnya.

“Sudah ada kesadaran baru untuk sejumlah perusahaan,” kata Syamsuardi.

Misalnya sejumlah perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] yang masuk grup Sinar Mas, yakni PT. KEN [Kerawang Ekawana Nugraha], PT. SBA [Sebangun Bumi Andalas], PT. BAP [Bumi Andalas Permai], dan PT. BMH [Bumi Mekar Hijau], bersama pemerintah desa, Balai KSDA Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, serta sejumlah organisasi nonpemerintah, menyepakati adanya koridor gajah di lahan konsesi.

Koridor gajah yang bernama Sugihan-Simpang Heran, luasnya sekitar 232.338,71 hektar. Di koridor ini hidup 48 individu gajah liar, yang terbagi empat kelompok [keluarga].

Adanya koridor ini, sejalan dengan keputusan PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa] pada Konferensi Para Pihak untuk Keanekaragaman Hayati atau COP15 CBD di Montreal, Kanada, pada 19 Desember 2022.

PBB menyepakati pengaturan interaksi manusia dengan satwa liar secara efektif untuk mengurangi konflik antara manusia dengan satwa liar, sehingga manusia dan satwa liar hidup berdampingan.

“Namun, guna memberikan jaminan hidup gajah sumatera di koridor Sugihan-Simpang Heran, bukan hanya adanya dukungan dari sejumlah perusahaan HTI, juga dukungan sejumlah perusahaan lain di sekitar koridor tersebut,” kata Yusuf Bahtimi, peneliti gajah yang tengah menempuh studi doktoral di Oxford University.

“Sebab gajah dalam menjaga koridornya, tidak mengenal batas atau ruang hidup yang ditetapkan manusia. Baik permukiman, kebun, dan infrastruktur lainnya. Jika manusia mau hidup harmonis dengan gajah, maka manusia harus memahami koridornya.”

Selain itu, harus ada upaya pengembalian pengetahuan lokal pada masyarakat yang hidup di sekitar kantong gajah.

“Pengetahuan yang sebelumnya membangun hubungan harmonis manusia dengan gajah selama ratusan tahun. Pengetahuan ini terkikis setelah hadirnya pengetahuan baru dari luar [Thailand] yang bertujuan memindahkan gajah dari habitatnya, sehingga gajah kemudian dipahami sebagai hama oleh sebagian masyarakat sekitar kantong gajah saat ini,” papar Yusuf.

 

Exit mobile version