Mongabay.co.id

Catatan COP27: Ruang Pertarungan Wujudkan Keadilan Iklim

 

 

Konferensi tingkat tinggi iklim atau Conference of Parties (COP27) berlangsung di Kota Sharm el-Sheikh, Mesir pada 6-18 November 2022. Lebih 45.000 orang hadir. Mereka tidak hanya terdiri dari unsur pemerintahan dan kelompok bisnis, juga dari masyarakat sipil seperti masyarakat adat, komunitas lokal, komunitas kota, kelompok perempuan, termasuk pemuda dan anak-anak.

Kelompok masyarakat sipil secara intens bertukar pikiran, bercerita bagaimana krisis iklim berdampak pada kehidupan mereka. Lebih jauh, mereka membangun solidaritas global untuk memerangi krisis iklim.

Sebagai utusan Walhi yang merupakan bagian dari delegasi Friend of the Earth (FoE) Internasional, saya melihat langsung bagaimana beragam representasi masyarakat global berjuang untuk mewujudkan bumi yang lestari. Saya juga terlibat langsung dalam beragam forum penting masyarakat sipil yang membicarakan kerentanan masyarakat di dunia serta menagih tanggung jawab negara-negara industri maupun perusahaan besar yang menghasilkan emisi dan merusak bumi. Semua berjangkar pada tegaknya keadilan iklim.

Keadilan iklim mengandung tiga konsep utama.  Pertama, menuntut pergeseran dari wacana tentang gas rumah kaca dan pencairan es jadi gerakan hak-hak sipil dengan orang-orang dan komunitas yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim. Terutama, masyarakat yang berada di pusat permasalahan.

Kedua, mengakui dampak yang tak proporsional atau tak adil dari krisis iklim pada komunitas berpenghasilan rendah di seluruh dunia. Terutama orang-orang dan tempat-tempat yang paling tidak bertanggung jawab atas timbulnya krisis iklim.

Ketiga, menyerukan keadilan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Prinsip ini,  mendukung pemusatan populasi yang paling tidak bertanggung jawab, dan paling rentan terhadap krisis iklim sebagai pengambil keputusan dalam rencana global dan regional untuk mengatasi krisis.

Ke depan, konsep keadilan iklim ini penting dikembangkan lebih jauh, terutama sanksi berat bagi negara atau korporasi yang terbukti merusak bumi dengan cara memproduksi emisi dalam jumlah yang sangat besar.

 

Perwakilan dari masyarakat sipil yang hadir di COP27. Mereka menyuarakan keadilan iklim. Foto: Walhi Nasional

 

Kegagalan COP27

Sepanjang dua pekan negosiasi iklim COP27, ada sejumlah catatan kegagalan KTT COP27 yang sangat serius.

Pertama, masuknya para pelobi yang diutus negara dan industri fosil adalah kegagalan pertama COP27.  Antara lain adalah industri minyak, gas, dan batubara. Negara dan industri fosil disebut oleh gerakan masyarakat sipil sebagai big polluters.

Walhi sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil global, mendesak industri big polluters untuk keluar dari arena COP27 yang berlangsung di Sharm el-Sheikh, Mesir.

Big polluters adalah sekelompok negara dan industri global yang mengeruk serta mengakumulasi keuntungan ekonomi sangat besar dari aktivitas mengeksploitasi sumber daya alam sekaligus mencemari planet bumi, baik darat, laut, maupun udara.

Desakan ini disuarakan berdasarkan fakta bahwa arena COP27 digunakan oleh big polluters, dengan cara mengutus para pelobi mereka masuk dan menginfiltrasi forum-forum COP27 guna mempengaruhi beragam keputusan penting.

Setidaknya tercatat 636 orang pelobi big polluters terdaftar dan hadir dalam COP27. Jumlah ini naik dari COP26 di Glasgow tahun lalu, hanya 503 orang. Angka 636 orang merupakan delegasi terbanyak dibandingkan delegasi negara mana pun.

Big polluters merusak masa depan anak-anak di planet bumi, menghancurkan sumber-sumber pangan serta air minum. Juga, meracuni tanah, air, dan udara sebagai sumber penting kehidupan.

Gerakan masyarakat sipil hadir dan bergerak bersama di COP27 untuk merebut hak generasi yang akan datang dari ancaman big polluters.

Kedua, karena masuk 636 pelobi, COP27 gagal membuat kesepakatan mitigasi krisis iklim, terutama untuk tetap menjaga temperatur global di batas tertinggi 1,5 derajat celcius pada 2030. Dengan kata lain, negara-negara utara dan raksasa industri fosil memenangkan negosiasi iklim di Kota Sharm el-Sheikh.

Keadaan ini sangat berbahaya, karena berdasarkan laporan PBB dikutip oleh Deutsche Welle,  kalaupun pun semua janji yang dibuat sejauh ini terpenuhi dalam menjaga temperatur tetap berada di batas 1,5 derajat celcius.  Kenaikan rata-rata temperatur masih berada di kisaran 2,7 derajat celsius. Situasi ini,  akan menyebabkan kekeringan meluas, kelangkaan air, kelaparan dan banjir pesisir.

Kegagalan COP27 untuk menjaga temperatur global di batas 1,5 derajat celcius pada 2030 merupakan kelanjutan dari kegagalan COP26 di Glasgow yang mendorong skema phase out energi fosil. Sebaliknya, negosiasi iklim COP26 malah menghasilkan skema phase down. Kekuatan industri energi fosil tetap berada di atas angin.

Ketiga, perdagangan karbon. Belajar dari kasus aliansi tiga hutan, Walhi menyampaikan catatan kritis terkait aliansi hutan dunia antara tiga negara, yaitu Brazil, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo yang diperkenalkan dalam COP27.

Luas hutan tropis tiga negara ini disebut-sebut mencapai 52% dari total hutan tropis dunia.

Antara lain tujuan pembentukan aliansi hutan ketiga negara ini untuk menarik investasi sekaligus pembiayaan pengelolaan hutan berkelanjutan, dalam konteks mengatur pasar karbon.

Meski aliansi ini belum berjalan karena harus menunggu Presiden Brazil terpilih Lula da Silva dilantik Januari 2023, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, menyebut sejumlah hal yang jadi prinsip utama aliansi.

Pertama, kemitraan tiga negara ini dalam kerangka forest for climate untuk mitigasi, adaptasi, dan investasi. Kedua, bagi Indonesia, aliansi ini tak hanya bicara soal hutan tropis di daratan besar, juga mencakup gambut, dan hutan mangrove maupun padang lamun di pesisir dan laut.

 

Tambang batubara di Kalimantan Timur yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Walhi menilai, tak berlebihan kalau aliansi ini sebagai proposal untuk menyambut hasil perundingan pengaturan perdagangan karbon (article 6 Paris Agreement) pada COP27.  Skema carbon offset yang dianggap sebagai penyeimbang karbon jadi semangat utama proposal ini.

Skema ini ibarat ‘izin’ untuk tetap mencemari, merusak dan melepas emisi dengan menjaga setok karbon di tempat lain. Penyeimbangan karbon akan terus memperpanjang usia industri berbahan bakar fosil secara khusus dan industri ekstraktif lainnya secara umum.

Catatan Walhi atas aliansi ini, pertama, secara prinsip, aliansi hutan ini harus diletakkan dalam konteks menagih utang ekologis (ecological debt) atau utang iklim (climate debt) kepada negara-negara maju yang merusak bumi.

Dengan kata lain, negara-negara maju diminta pertanggungjawaban mutlak membayar loss and damage finance bagi Indonesia, Brazil, dan Kongo.

Sebaliknya, aliansi ini tak boleh sebagai alat mengatur perdagangan karbon atau carbon offset, dimana negara-negara industri yang merusak bumi membiayai pihak lain untuk menyerap emisi karbon. Pada saat sama, mereka tetap mengeruk keuntungan ekonomi dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam di negara-negara berkembang.

Kedua, jika prinsip pertama dipenuhi, maka pembayaran utang ekologis (ecological debt), utang iklim (climate debt), loss and damage finance itu harus jadi prioritas bagi masyarakat lokal. Termasuk masyarakat adat dan atau masyarakat pesisir, yang selama ini terbukti menjaga kelestarian hutan, ekosistem gambut, hutan mangrove, pada lamun, terumbu karang, dan beragam ekosistem penting lain di Indonesia.

Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia wajib memastikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat lokal. Termasuk masyarakat adat dan masyarakat pesisir, terpenuhi guna memulihkan alam sebagai ruang hidup mereka.

Ketiga, Pemerintah Indonesia harus memimpin aliansi hutan tiga negara dengan jadikan perlindungan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebagai jantung utama peta jalan penyelamatan hutan di Indonesia.

Walhi mencatat, banyak wilayah kelola rakyat yang diinisiasi masyarakat lokal dan terbukti berhasil melindungi hutan tetap lestari dari generasi ke generasi.

Menurut Walhi,  wilayah Kelola rakyat memiliki filosofi sangat berbeda dengan penyelamatan hutan berbasis penyeimbang karbon (carbon neutral). Wilayah Kelola rakyat menempatkan keterhubungan antara manusia dan alam yang setara dan holistik.

Alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sedangkan penyeimbang karbon meletakkan alam atau hutan sebatas modal yang menyediakan jasa layanan ekosistem dan peluang mendapat keuntungan.

Wilayah kelola rakyat meletakkan hak rakyat atas wilayah kelola untuk membangun sistem tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi. Ia berangkat dari pengetahuan lokal dan pengalaman hidup bersama. Sedangkan penyeimbang karbon meletakkan kendali korporasi dan lembaga kapital keuangan atas aset fisik (tanah, hutan dan ekosistem lain) untuk meraup keuntungan dan memperburuk dampak lingkungan.

Contoh nyata, lebih 33 juta hektar hutan Indonesia terbebani izin industri kehutanan, sekitar 4,5 juta hektar izin usaha pertambangan, dan 3,3 juta hektar sawit di dalam kawasan hutan.

Keempat, dalam konteks perlindungan hutan tropis, termasuk hutan mangrove, dan padang lamun, Pemerintah Indonesia, harus mengevaluasi dan mencabut beragam peraturan perundangan yang mengancam kelestarian hutan, mangrove, dan padang lamun. Antara lain UU No. 3/2020 tentang Mineral dan Batubara, dan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja serta semua aturan turunan yang berbahaya bagi kelestarian sumber daya alam.

 

Kompleks PLTU Ombilin. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Keempat, COP27 juga gagal merumuskan skema perlindungan laut dunia, termasuk perlindungan masyarakat pesisir di seluruh dunia yang hidup tergantung kekayaan laut.

Di Indonesia, laut jadi ruang penghidupan lebih 8 juta rumah tangga perikanan. Sekitar 200 juta orang Indonesia sangat memerlukan asupan protein hewani dari laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2020 mencatat, konsumsi ikan 54,56 kg per kapita. Angka ini naik signifikan dari 2015 yang tercatat hanya 41,11 kg per kapita.

Secara global, laut merupakan entitas ekologis penyerap karbon terbesar. Penelitian terbaru oleh Heidi Pearson, ahli Biologi Kelautan, Universitas Alaska, mengatakan, sekitar 2,5 juta paus pada 2010 mampu menahan hampir 210.000 ton karbon mati (deadfall carbon) per tahun ke lautan dalam. Jumlah  itu setara menarik sekitar 150.000 mobil dari jalanan setiap tahun.

Pearson juga menyebutkan,  dengan memakan bulu babi, berang-berang laut berpotensi memerangkap 150.000-22 juta ton karbon per tahun di hutan rumput laut.

Dalam buku Kepunahan Keenam karya Elizabeth Kolbert disebutkan, dalam terumbu karang terdapat 9 juta spesies makhluk hidup yang hidup dan berkembang biak. Terumbu karang mirip hutan hujan tropis di darat. Di lautan dalam, terdapat makhluk hidup yang sangat banyak dan beraneka ragam jenisnya.[1] Informasi ini menjelaskan, laut adalah rumah besar bagi berbagai keanekaragaman hayati.

Betapa penting laut bagi keseimbangan sekaligus keberlanjutan bumi dan kehidupan manusia serta seluruh makhluk di bumi. Sayangnya, COP27 tak berhasil merumuskan dan menyepakati skema perlindungannya. Sebaliknya, COP27 malah mendorong geoengineering laut dan blue economy sebagai cara utama mengelola laut. Dua hal ini malah akan menghancurkan laut dan kehidupan masyarakat pesisir yang selama ini telah berjasa menjaga keseimbangan planet bumi.

Kelima, gagal untuk menyusun skema perlindungan bagi para pejuang ham dan lingkungan hidup atau environmental and human rights defenders (EHRD). Global Witness melaporkan pada 2020 sebanyak 227 aktivis HAM dan lingkungan hidup dibunuh karena mempertahankan tanah dan alam mereka. Angka ini merupakan jumlah tertinggi yang pernah tercatat selama dua tahun berturut-turut.

Data Global Witness menunjukkan, empat pembela HAM dan lingkungan hidup telah dibunuh setiap minggu sejak penandatanganan perjanjian Iklim Paris. kasus kemungkinan tidak dilaporkan. Angka ini bisa jadi lebih tinggi, mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Walhi mencatat, di Indonesia, pada 2021 terjadi 53 kasus kriminalisasi terhadap para pejuang HAM dan lingkungan hidup karena menjaga dan mempertahankan ruang hidup mereka dari korporasi besar. Dari 53 orang itu, 10 dikriminalisasi karena melawan UU No. 3/2020 tentang Mineral dan Batubara, yang memberikan karpet merah bagi industri tambang untuk mengeksploitasi bumi.

Di dalam aksi berbagai gerakan lingkungan hidup global di COP27, terdapat satu seruan, yaitu, “tak ada keadilan iklim tanpa hak asasi manusia” (there is no climate justice without human rights). Di dalam Bahasa Arab, seruan ini berbunyi: “La tujad al-‘adalah al-munakhiyyah duna huququl insan”.

 

Walhi bersama masyarakat sipil dari berbagai belahan dunia menyuarakan keadilan iklim di COP27, Mesir. Foto: Walhi Nasional

 

Beberapa capaian

COP27 terselenggara dalam situasi ekonomi dan geopolitik global tak menentu. Meski demikian, ada dua capaian penting yang wajib dilanjutkan dan diperjuangkan berbagai kalangan pada perhelatan COP selanjutnya. Pertama,  loss and damage fund (dana loss and damage). Kedua, ruang untuk generasi muda ((youth and children).

Loss and damage fund adalah tuntutan dari gerakan lingkungan hidup global dan 134 negara berkembang, antara lain, berasal Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, dan negara-negara kecil kepulauan.

Terkait loss and damage fund, FoE Internasional menyebut hal ini capaian penting dalam sejarah negosiasi iklim. Meski demikian, negara-negara maju seperti Amerika Serikat berusaha menggagalkan dana ini.

Menurut FoE Internasional, gerakan lingkungan harus memastikan tidak terulangnya kinerja buruk negara-negara kaya yang gagal menyediakan US$100 miliar per tahun yang dijanjikan lebih dari satu dekade lalu.

Loss and damage fund adalah kemestian atau kepastian sekaligus tanggung jawab negara-negara maju yang sudah lama menikmati keuntungan ekonomi dengan cara mengektraksi dan mengeksploitasi sumber daya alam di negara berkembang, terutama Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Saat sama, masyarakat di negara berkembang harus menanggung beban krisis tak berkesudahan.

Bagi Indonesia, loss and damage fund adalah kemestian karena relevan dan kontekstual dengan dampak yang terjadi, terutama di pesisir dan pulau kecil.  Dalam catatan Walhi, krisis iklim menyebabkan kerusakan dan kehilangan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Terlepas dari capaian ini, tantangan loss and damage fund sangat besar. Mekanisme penyaluran dana ini masih harus diputuskan pada COP 28 tahun depan di Uni Emirat Arab. Termasuk siapa yang akan berkontribusi pada dana itu dan siapa yang akan mendapatkan manfaat.

Di level nasional, loss and damage fund tak memiliki kejelasan mengenai siapa lembaga yang akan bertanggung jawab, mekanisme penyaluran, sekaligus siapa masyarakat yang benar-benar akan menerima dana ini. Apakah masyarakat pesisir terdampak krisis iklim, misal, pasti menerima dana ini? Siapapun tak dapat menjawab.

Kedua, terkait ruang untuk generasi muda (youth and children), ini merupakan capaian penting dalam COP27. Memberikan ruang bagi generasi muda adalah satu kemestian, apalagi menyangkut dengan masa kehidupan mereka dan keberlangsungan bumi.

Anak muda adalah kelompok masyarakat yang paling resah dengan situasi buruk bumi. Pada Januari 2021, United Nations Development Programme (UNDP) menggelar survei global dengan topik People’s Climate Vote.

Survei ini, merupakan survei opini publik terbesar tentang krisis iklim yang dilakukan di 50 negara yang mencakup 1,2 juta responden.

Di antara poin penting survei ini adalah kaum muda yang berusia di bawah 18 tahun percaya kalau krisis iklim merupakan keadaan darurat global, daripada kelompok usia lain. Hampir 70% anak di bawah 18 tahun mengatakan,  krisis iklim adalah keadaan darurat global. Sebanyak 59% menyebut, krisis iklim sebagai darurat global, mengatakan,  dunia harus segera melakukan segala sesuatu yang diperlukan.

Kenapa anak-anak muda begitu resah dengan krisis iklim? Antara lain, karena masa mendatang, mereka akan mewarisi bumi rusak karena pembangunan yang dipilih generasi saat ini.

Tantangan terbesarnya adalah apakah suara generasi muda ini akan dipertimbangkan dalam forum COP selanjutnya sebagai bagian penting dalam pengambilan kebijakan iklim di tingkat global? Pertanyaan ini wajib menjadi diskusi para pengambil keputusan terutama, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan seluruh pemimpin negara-negara di dunia.

 

***

COP27 telah membuka mata, betapa perhelatan akbar ini menjadi ruang pertarungan masyarakat sipil (masyarakat adat, komunitas lokal, komunitas kota, kelompok perempuan, termasuk pemuda dan anak-anak) di dunia internasional guna menegakkan keadilan iklim.

Saat sama, negara-negara maju dan industri energi fosil tetap ingin melanggengkan kepentingan bisnis mereka.

Tak dapat dibayangkan kalau para pelaku utama perusakan bumi tak dapat sanksi tegas atas kejahatan yang mereka lakukan. Tak dapat dibayangkan kalau perhelatan COP mendatang gagal menyepakati batas temperatur bumi 1,5 derajat Celcius.

 

COP27 di Mesir. Foto: Walhi Nasional

********

 

Penulis: Parid Ridwanuddin, adalah Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi. Delegasi Walhi/Friend of The Earth (FoE) Internasional pada COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

 

 

Exit mobile version