Mongabay.co.id

Salah Kaprah Kedaulatan Pangan Lewat Food Estate, Bagaimana Seharusnya?

 

 

 

 

Proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) pemerintah buat dengan alasan pemenuhan pasokan pangan untuk kedaulatan pangan.  Pemerintah dinilai salah kaprah dengan memaknai kedaulatan pangan dengan produksi pangan sebanyak-banyaknya.

Angga Dwiartama, dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, seharusnya pemerintah percaya kalau masyarakat bisa mencapai kedaulatan pangan sendiri.

“Syaratnya,  pemerintah harus memberikan ruang bagi mereka untuk bisa melakukan itu,” kata dosen sosiologi pertanian dan pangan ini kepada Mongabay, Desember lalu.

Dia nilai, pemerintah salah kaprah dalam mengartikan kedaulatan pangan. Pemerintah selalu mengartikan, untuk mencapai kedaulatan pangan dengan produksi sebanyak-banyaknya. Padahal, kedaulatan pangan itu berkaitan dengan akses terhadap pangan, bukan produksi. Dia bilang, produksi pangan masif di lokasi tertentu bukanlah suatu solusi.

“Kedaulatan pangan muncul, narasinya di luar itu, sebenarnya bicara tentang kedaulatan petani dan masyarakat lokal untuk bisa mengatur sendiri sistem pangan mereka. Mereka bisa bikin sistem pangan lokal. Mereka bisa nanam apa yang menurut mereka paling baik sesuai budaya mereka.”

Produksi setinggi-tingginya, kata Angga seolah-olah menjadi solusi tetapi sebenarnya tidak menjawab masalah. Kasus kelaparan, katanya, bisa tetap terjadi.  Untuk itu, perlu ada peninjauan kembali soal masyarakat mampu memiliki kedaulatan untuk bisa memproduksi dan mengatur sistem pangan mereka sendiri, tanpa intervensi ekonomi pasar yang lebih luas.

 

Baca juga: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara

Kunjungan Presiden Jokowi ke Kalimantan Tengah pada Oktober 2020 untuk melihat kesiapan areal food estate. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

Kalau dengan food estate,   katanya, justru akan melokalisir produksi pangan di satu tempat, yang akan membawa masalah pada proses distribusi ke tempat lain. Kalau akses pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi. Akhirnya, daya beli masyarakat pun menurun. “Imbasnya, masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan,” kata Angga.

Angga menilai, secara logika kalau produksi pangan masif, maka harga akan turun tetapi bila distribusi tidak baik, daya beli masyarakat tidak naik. Dengan food estate, katanya,  masyarakat tak bisa mengakses sumber daya mereka, akhirnya juga akan kelaparan. Masalah bangsa Indonesia, katanya,  bukan kekurangan pangan, tetapi masalah produksi.

Dalam UU Pangan, terdapat tiga pilar ketahanan pangan, ketersediaan, akses, dan kesesuaian dengan agama dan budaya. Bila pemerintah mau menyeragamkan varietas pangan, kata Angga, pemerintah sudah melanggar Undang-undang.

Masyarakat yang tak mengkonsumsi makanan sesuai kebudayaan, biasa akan terjadi transisi nutrisi. Kondisi ini, terjadi di Papua.”Masyarakat yang awalnya (makan) umbi-umbian, digeser ke beras itu ada periode atau kondisi terjadi mal nutrisi karena harus bengubah pola itu. Belum tentu [juga] si pangan baru itu ada.”

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, pemerintah sekarang harus belajar dari kesalahan masa Orde baru. Bila Pemerintah Indonesia ingin kedaulatan pangan, maka perlu mengenali karakteristik dan keunikan pangan di setiap daerah.

Indonesia, sebagai negara kepulauan, kata Zenzi, seharusnya menerapkan sistem desentralisasi produksi pangan dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah, bukan terpusat. Bila terjadi kerentanan di satu daerah, daerah lain bisa mendukung.

Food estate justru membuat pangan kita rentan. Jika, hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah besar, maka akan mempengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di banyak tempat lain,” katanya.

Belum lagi dalam pelaksanaan, food estate sangat bergantung pengendalian hama dan pupuk kimia yang juga mencemari lingkungan.

 

Baca juga: Kala Pemerintah Klaim Sukses, Begini Cerita Petani soal Food Estate di Humbang Hasundutan

 

Gambut dan krisis iklim

Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, mengatakan, food estate perlu dievaluasi, terutama yang berada di lahan gambut karena berpotensi membuat kerusakan gambut. Padahal, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sedang mengupayakan pemulihan gambut.

Indonesia empat besar pemilik ekosistem gambut terbesar di dunia dengan luas sekitar 24 juta hektar. Ia tersebar dalam 865 kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang mampu menyimpan karbon sampai 46 gigaton.

Berdasarkan inventarisasi gambut pada 2022, dari sekitar 24 juta hektar gambut di Indonesia, yang tidak rusak hanya 16% atau sekitar 4.024.285 hektar. Rusak ringan 15.859.960 hektar (65,45%), rusak sedang 3.086.654 hektar (12,74%), rusak berat 1.053.886 hektar (4,53%) dan rusak sangat berat 206.935 hektare (0,85%).

Restorasi gambut rusak berat, jadi prioritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Seharusnya yang menjadi prioritas utama dalam proses restorasi gambut adalah kawasan yang mengalami kerusakan, dari rusak ringan hingga rusak sangat berat. Ini guna mengantisipasi kerusakan lebih parah dan jadi komitmen utama Pemerintah Indonesia dalam perbaikan ekosistem gambut,” katanya.

Dia bilang, wilayah gambut yang tidak rusak seharusnya ada upaya perlindungan supaya tak alami kerusakan.

Pemerintah, kata Iola,  selayaknya memberikan ruang bagi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem gambut secara arif dan tradisional. Bukan kepada korporasi seperti sawit, tanaman industri maupun industri pangan yang berisiko merusak ekosistem gambut Indonesia.

Bila lahan food estate di lahan eks-proyek pengembangan lahan gambut (PLG) satu juta hektar di Kalimantan Tengah dibuka kembali, maka 64% luas wilayah atau sekitar 883.000 hektar area fungsi ekosistem gambut (FEG) lindung terancam.

“Mengubah fungsi lahan gambut jadi food estate biasa disertai tindakan tata kelola air melalui persiapan kanal-kanal untuk mengalirkan air di dalam gambut,” katanya.

Selain perlu usaha dan biaya begitu besar, hal itu juga akan membuat gambut kering dan rawan terbakar hingga mengeluarkan karbon serta rentan mengekspos sedimen pirit yang membuat tanah tercemar. Pirit yang terekspos, katanya,  akan membuat tanah sangat masam atau ph<3,5 hingga sulit ditanami.

“Pirit juga dapat larut dan mencemari air. Contoh, pembuatan kanal sepanjang 187 km pada masa proyek PLG menyebabkan kematian ikan massal di Sungai Mangkatip dan anak-anak Sungai Barito pada 1997.”

 

Baca juga: Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Kopi, salah satu tanaman warga di Humbahas. Selain bertani sayur mayur, warga juga tanam kopi dan deres getah kemenyan.  Fiood estate datang, tawarkan petani tanam bawang dan kentang. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Dalam catatan sejarah masa Orde Baru, PLG membuat lahan gambut rusak dan mengalami kebakaran berulang setiap musim kemarau.

“Hasil analisis Pantau Gambut mengenai area terbakar (burned area) menunjukkan area eks-PLG masih menjadi langganan kebakaran setiap tahun. Pada 2019, areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167.000 hektar.”

Lahan gambut sangat rentan kerusakan, dari segi fisik (subsiden dan sifat kering yang tidak balik) dan kerusakan kimia (defisiensi hara dan unsur beracun).

 

Tanaman sorgum warga. Masing-masing daerah punya kekhawasan tanaman pangan mereka sendiri, yang sebenarnya mampu menciptakan kedaulatan pangan masyarakat. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan yang tak tepat pada lahan gambut, termasuk dalam tata kelola air dan pengelolaan lahan, katanya, akan menyebabkan gambut makin rusak dan rawan terbakar.

Gambut terbakar, katanya,  akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah sangat besar ke atmosfer. Kondisi ini, berdampak buruk terhadap usaha-usaha mengatasi perubahan iklim.

“Meskipun food estate di lahan yang tidak menyalahi regulasi, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan kemunculan sejumlah persoalan sosial-budaya pasca pelaksanaan, mulai dari hak atas tanah milik masyarakat yang dirampas hingga sumber mata pencaharian masyarakat yang ikut hilang.”

Masalah lain yang akan muncul adalah fenomena gagal pangan karena ketidakcocokan karakteristik tanah di Kalimantan Tengah, dengan jenis tanaman yang ditetapkan pemerintah.

Bagi Iola, FEG lindung tidak seharusnya dibuka karena memiliki fungsi penting dalam pengaturan tata air yang dapat mencegah kebakaran gambut. Pemanfaatan lahan gambut dengan fungsi budidaya pun harus dilakukan secara berkelanjutan untuk menghindari dampak negatif lingkungan dan sosial.

 

Area food estate di Humbahas, yang mulai masuk panen kedua pada November tahun lalu. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

*****

 

Exit mobile version