Mongabay.co.id

Uniknya Meramban Tumbuhan Liar di Tenganan Pegringsingan

 

Desa ini bak ensiklopedia hidup terkait berbagai tumbuhan. Salah satunya untuk meramban. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meramban berasal dari kata ramban. Artinya mencari daun-daunan yang muda untuk makanan kambing dan sebagainya atau mencari daun-daunan muda untuk sayuran.

Nah, kali ini meramban untuk dimakan manusia di Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa ini bahkan punya tradisi menu khusus dari meramban. Namanya Onon-ononan.

Dipandu warga, meramban jadi istimewa karena sambil keliling desa menikmati lanskap dan arsitektur tradisionalnya. Dalam konteks saat ini, ketika tren makanan sehat berbasis tanaman (plant based) dan gaya hidup ramah iklim makin meluas, meramban termasuk aktivitas wajib yang harus dicoba.

Tumbuhan dari hasil meramban biasanya bukan sayuran yang dibudidayakan secara massal. Tumbuhan ini tumbuh alami di sela-sela kebun, tembok rumah, atau tempat tak diduga karena tumbuh sendiri dari unsur hara tanah sekitarnya. Hal terpenting lagi, tanaman hasil meramban cenderung bebas input kimia sintetik, seperti halnya sayuran komoditas palawija.

I Nyoman Suwirta yang akrab dipanggil Domplong, memulai perjalanan meramban atau ngonon dalam bahasa lokal, dari halaman depan rumah. Tradisi meramban di desa ini, menu Ononan menggunakan sedikitnya 10 jenis dedaunan.

Di halaman depan rumah ia mendapatkan daun Kayu Manis yang kaya khlorofil, sehingga direkomendasikan untuk ibu yang baru menyusui atau sedang sakit panas dalam. Lalu ketika melangkah ke utara desa, ia meramban daun muda Cabe Jamu atau istilah lokalnya Tabia Bun.

baca : Kreativitas Olahan Pangan Lokal Bali

 

Aneka dedaunan muda hasil meramban di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan ini diikuti kisah desa yang menjaga sekitar 600 hektar hutan dan ladangnya. Tanaman yang paling banyak adalah enau, karena semua bagian pohonnya sangat berguna untuk sarana upacara agama di desa. Uniknya, warga tidak bisa sembarang menebang pohon kecuali untuk kepentingan umum setelah dibahas di rapat desa. Juga dipersilakan bagi warga hanya untuk keperluan satu pondokan sebagai modal berkeluarga.

“Kalau ada pohon mati dan rebah, harus diperiksa tetua desa dan disimpulkan apakah karena ditebang atau mati sendiri oleh 3 utusan desa adat,” cerita Domplong dalam perjalanan meramban.

Jika terbukti menebang pohon, warga kena sanksi 25 kg beras, termasuk jika pelakunya pimpinan adat. Di jalan tanah menuju pintu belakang desa, kami menemui tanaman merambat yang disebut Pas-pasan, seperti tanaman mentimun. Yang diramban tetap daun-daunnya saja.

Kemudian ada tanaman semak bernama lokal Bama. Berikutnya di tembok rumah orang Domplong mengambil satu genggam daun Pepe yang diyakini mampu mengurangi asam urat. Tak terasa sudah 5 jenis menu meramban Ononan yang sudah ditampung dalam wadah.

Di jalan kecil yang melingkar desa dan berbatasan dengan hutan ini kami menemui lebih banyak dedaunan yang tumbuh liar. Karena ada saluran irigasi, jadi lebih banyak tanaman tumbuh subur tanpa sengaja ditanam.

Di beberapa titik tanah kosong nampak sisa sampah anorganik yang dibakar. Walau desa ini masih setia dengan beragam ritual dan menu tradisionalnya, namun deru makanan kemasan tak bisa dihadang. Dari hasil audit sampah untuk membuat model pengelolaan sampah desa, PPLH Bali menemukan kemasan terbanyak adalah bungkus mie instan.

Desa ini baru merintis TPST sederhana untuk mengelompokkan sampah anorganik. Untuk mengurangi pembakaran sampah.

baca juga : Siasat Menambah Produksi Pangan Lokal di Nusa Penida (bagian 3)

 

Ragam tumbuhan liar hasil meramban atau Ngonon di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di sela-sela perbincangan tantangan desa terkini, kami juga mendapatkan jenis tumbuhan Ononan lain. Misalnya daun Gegirang, Delundung, dan Ubi Karet. Tumbuhan Girang atau Gegirang terkenal sangat banyak khasiatnya mulai dari obat luar dan dalam seperti bisul, keseleo, sakit kepala, pengobatan masa nifas, dan lainnya.

Di sisa jalan menuju balik rumah, kami dengan mudah menemukan bahan lain, seperti daun Tumpang Payuk yang berkhasiat obat diare, daun Murbei yang disebut don besar dan jadi pakan ulat sutra, daun Keliki, dan Kembang Kuning.

Nah karena sudah lebih dari 10 jenis, sayur Ononan dari hasil meramban siap dimasak. Komang Landep, salah satu juru masak desa sudah siap meramu. Bumbunya mudah, bawang merah, cabai merah, jahe, kunyit, terasi, ditumbuk halus dengan alat tradisional agar aromanya lebih keluar. Setelah itu bumbu ditumis dan ditambahkan santan kental. Semua dedaunan dimasukkan, aduk sebentar agar layu, lalu siap disantap.

Citarasanya sangat kaya. Tidak ada rasa dominan, citarasa pahit, aromatik, dan lainnya menyatu dan saling melengkapi. Bayangkan khasiat dari ragam dedaunan muda itu hanya dari satu menu hasil meramban sekitar rumah ini. Namun, usai dimasak, juru masak tak bisa segera mencicipi untuk sekadar mengetes rasa.

baca juga : Pangan Lokal Mulai Menghilang di Kampung Saga

 

Sayur Ononan dari hasil meramban di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Hal unik lain, desa ini menabukan mencicipi makanan yang baru dimasak. Inilah tantangan para juru masak, mereka harus bisa mengidentifikasi dari aroma saja, tidak bisa mencicipi. Ada alasan etika dan spiritual misal sebelum makan, warga harus mempersembahkan dulu di tempat-tempat suci. Disebut munjung.

Ada juga alasan ekonomis, agar makanan tidak habis terutama ketika masak besar bersama-sama satu desa saat upacara agama dan adat. Warga juga menduga-duga ada alasan sanitasi, menjaga kebersihan makanan dari kebiasaa icip-icip.

Sedangkan di dalam hutan desa, aneka pohon buah kerap disantap monyet ekor panjang. Sambil tertawa Domplong menyebut kerap terlihat monyet mabuk karena minum tuak, air nira fermentasi yang ditampung di pohon ental atau aren. Hanya duren yang tak dimakan monyet. Tanaman buah musiman seperti duku, manggis, mangga sulit dipanen karena lebih dulu dipanen kawanan monyet ekor panjang yang banyak bermukim di bebukitan Karangasem.

Monyet ini juga bisa mengidentifikasi dedaunan yang mengandung air untuk dahaganya. Misalnya dedaunan tanaman nanas. Mereka juga bisa mencabut tanaman berumbi.

Desa ini mendapat Kalpataru pada 1987 dari Menteri Lingkungan saat itu, Emil Salim. Karena warga masih memerlukan kayu bakar untuk memasak, desa melarang membuat gula dari nira aren dan arak. Karena banyaknya pohon aren, warga menghasilkan ijuk. Namun dilarang untuk dijual, hanya bisa untuk keperluan sendiri seperti atap rumah atau tempat sembahyang.

“Semua ada untuk kepentingan umum, walau di tanah sendiri. Ada juga arangan jual tanah ke luar desa,” urai Nyoman Sadra, mantan Kepala Desa Tenganan Pegringsingan.

menarik dibaca : Ambarwati, Berbagi ‘Kue’ Semangat Dengan Pangan Lokal

 

Daun cabai jamu yang bisa diramban sebagai bahan pangan lokal. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sadra mengingat cerita unik lain tentang kekayaan biodiversitas desa ini. Alkisah seorang perawat Jerman pada 1987 minta benang tenun dari pewarna alami yang disebut Geringsing (tidak sakit).

Geringsing dibuat dari kain tenun dengan teknik double ikat, kedua bagian diwarnai, disebut sebagai teknik sulit. Tiga warna utamanya adalah merah, kuning, hitam. Merah merujuk api, kuning adalah udara, dan putih bermakna air. Pengingat menjaga keseimbangan alam.

Motif kain salah satunya simbol laki dan perempuan, artinya setara. Bisa juga bermakna manifestasi Ardhanareswari, Tuhan dengan dua wajah laki dan perempuan. Ada juga tanda tambah simbol keseimbangan.

Pada 1941 desa ini terbakar, lalu dibangun seperti sebelumnya. Sadra bersyukur ia hidup di desa dengan konsep hidup lebih jelas sehingga lebih kuat bertahan dan kuat dari gempuran modernisasi dan pariwisata.

Salah satu cara sederhana mensyukuri berkah laku ritual dan keseimbangan ini dengan meramban. Memetik dedaunan sehat di sekitar rumah dan kebun kita sendiri.

 

 

Exit mobile version