Mongabay.co.id

Aceh Selatan Banyak Kehilangan Tutupan Hutan, Mengapa?

 

 

Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, banyak kehilangan tutupan hutan tahun 2022.

Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] menunjukkan, tutupan hutan yang berkurang di Aceh Selatan meliputi, areal penggunaan lain [655,43 hektar], hutan lindung [59,90 hektar], hutan produksi terbatas [246,86 hektar], hutan produksi [101,55 hektar],  Taman Nasional Gunung Leuser [11,04 hektar], dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil [628,66 hektar].

“Berdasarkan perhitungan tim Geographic Information System [GIS] periode Januari – November 2022, kabupaten ini kehilangan tutupan hutan mencapai 1.704 hektar. Data tersebut kami peroleh melalui verifikasi lapangan dan citra satelit,” jelas Komunikasi HAkA, Irham Hudaya Yunardi, Selasa [03/01/2023].

Kecamatan yang banyak kehilangan tutupan hutan adalah Kota Bahagia, Trumon, Trumon Tengah, dan Trumon Timur. Di wilayah Trumon, yang paling signifikan terlihat di hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

“Tahun lalu, Aceh Selatan kehilangan tutupan hutan seluas 823 hektar.”

Baca: Suaka Margasatwa Rawa Singkil Masih Dirambah, Bagaimana Pengawasannya?

 

Hutan di Aceh Selatan yang tak luput dari perambahan dan pembalakan. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 2021, daerah yang paling banyak kehilangan tutupan hutan di Aceh adalah Aceh Timur [1.158 hektar] diikuti Kabupaten Bener Meriah [856 hektar].

“Sementara Januari-November 2022, Aceh Timur kehilangan tutupan hutan 626 hektar.”

Menurut Irham, tahun 1990 luas tutupan hutan di Aceh mencapai 3,7 juta hektar dan pada 2022  menjadi 3,1 juta hektar.

“Ini sangat berdampak pada perubahan iklim, meningkatnya konflik manusia dengan satwa liar, dan seringnya terjadi banjir,” katanya.

Baca: Aceh Banjir Lagi, Perbaikan Lingkungan Harus Dilakukan

 

Banjir yang melanda Aceh Selatan, awal November 2022. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hutan rusak

Rasmin, masyarakat Kecamatan Trumon Timur, mengatakan rusaknya hutan membuat konflik masyarakat dengan satwa liar terjadi. Terutama, gajah sumatera yang turun ke Desa Kapa Sesak, akhir Oktober 2022 lalu.

“Kami tahu, dua individu gajah itu mendatangi kebun masyarakat karena habitatnya rusak. Masyarakat bersama Conservation Response Unit [CRU] Trumon dan lembaga terkait berusaha menggiring kembali ke hutan hingga 10 hari,” katanya, Minggu [25/12/2022].

Hal senada disampaikan Munawir, warga Kecamatan Trumon. Pembukaan lahan untuk kebun sawit di areal Suaka Margasatwa Rawa Singkil masih terjadi, terutama oleh orang-orang dari luar kecamatan.

“Kami, masyarakat yang hidup dari rawa gambut sebagai nelayan, mulai kesulitan menafkahi keluarga.”

Munawir mengatakan, pencari madu hutan pun mulai kesulitan mendapatkan madu. Hutan gambut yang berasap karena pembukaan lahan dengan cara dibakar, menyebabkan lebah tidak lagi ada.

“Padahal dulu, Trumon dikenal sebagai penghasil madu hutan terbaik yang harganya cukup menjanjikan,” ungkapnya.

Baca: CRU dan Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera

 

Pembukaan hutan di Aceh Selatan untuk dijadikan kebun sawit. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perambahan dan pembalakan liar

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Arianto mengakui, di Suaka Margasatwa Rawa Singkil masih terjadi perambahan dan pembalakan liar.

“Staf BKSDA Aceh dibantu lembaga mitra berupaya menghentikan kegiatan ilegal tersebut. Kami rutin sosialisasi kepada masyarakat pentingnya hutan rawa gambut, termasuk risikonya jika dirusak. Kami juga mendukung upaya penegakan hukum.”

Agus berharap, pemerintah daerah di sekitar Suaka Margasatwa Rawa Singkil terlibat aktif menjaga hutan ini.

“Satu hal yang bisa dilakukan adalah memberikan mata pencaharian alternatif kepada masyarakat sekitar, sehingga kerusakan bisa diminimalisir,” ujarnya.

Baca juga: Perambahan di SM Rawa Singkil untuk Dijadikan Kebun Sawit Masih Terjadi

 

Kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang terus dirambah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Perubahan Iklim Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Aceh, Rikky Mulyawan mengatakan, periode 1990-1996 deforestasi belum banyak terjadi.

“Tidak marak, saat itu Aceh sedang konflik bersenjata sehingga aktivitas di kawasan hutan terbatas,” terangnya, Kamis, [29/12/2022].

Deforestasi mulai terlihat pada 1996 hingga 2000 yang mencapai 86.000 hektar. Setelah itu menurun, namun naik lagi 2006 hingga 2013, setelah Aceh dilanda gempa bumi dan tsunami. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi.

“Pengelolaan hutan bersama masa lalu terbukti belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan saat ini hendaknya melibatkan berbagai stakeholder atau dilakukan secara terpadu dan inovatif,” ujarnya.

 

Exit mobile version