Mongabay.co.id

Kala Jaksa Nilai Hukuman Bos Tambang Ilegal di Pasuruan Terlalu Ringan, Dana Ngalir ke Kas Daerah?

 

 

 

 

 

Pengadilan Negeri Bangil memutus Andrias Tanudjaja, bos tambang ilegal, PT Prawira Tata Pratama (PTP) setahun penjara, denda Rp25 miliar pada 17 Desember lalu. Putusan majelis hakim yang diketuai Achmad Shohel Nadjir ini dinilai terlalu ringan. Kejaksaan Negeri Pasuruan pun banding. “Kami bandinglah,” kata Jemmy Sandra,  Kasi Intel Kejari Kabupaten Pasuruan, Desember lalu.

Hakim memutus AT terbukti sah dan meyakinkan melakukan penambangan ilegal di Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Pertambangan di lereng Gunung Penanggungan itu berlangsung selama tiga tahun, antara 2017-2020.

Majelis hakim menyebut, aktivitas AT  melanggar Pasal 158 UU Nomor 3/2020 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

“Menjatuhkan hukuman terdakwa dengan kurungan badan satu tahun enam bulan,” kata Nadjir saat membacakan putusan. Terdakwa juga membayar denda Rp25 miliar subsider kurungan tiga bulan.

Kejari banding tak lama setelah ketuk palu putusan. Menurut Jemmy, banding ditempuh lantaran putusan jauh lebih rendah dibanding tuntutan. Kejaksaan menuntut AT lima tahun penjara, denda Rp75 miliar. “Kalau lebih dari 2/3 tuntutan tidak masalah. Ini jauh banget,” katanya.

 

Andrias Tanudjaja, bos tambang ilegal, PT Prawira Tata Pratama (PTP) setahun penjara, denda Rp25 miliar. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Mengalir ke kas daerah

Sejumlah fakta terungkap selama proses sidang, termasuk ada aliran dana dari tambang pasir dan batu ilegal PTP kepada Pemerintah Pasuruan dalam bentuk retribusi.

Hal itu diungkapkan AT kala menanggapi tuntutan jaksa sebelumnya. Dia menepis bila penambangan itu ilegal. Dia rutin membayar retribusi ke daerah. Tak tanggung-tanggung, selama tiga tahun beroperasi, retribusi mencapai Rp7 miliar!

AT berdalih, yang lakukan adalah persiapan proyek pembangunan komplek perumahan prajurit TNI AL. TNI AL pun disebut mendukung proyek ini bahkan pada Juli lalu, tim dari TNI AL melakukan peninjauan lapangan.

“Saya berkeinginan menyediakan perumahan bukan semata-mata motif bisnis, tetapi lebih berdasarkan rasa terima kasih kepada marinir yang telah menjaga NKRI,” kata AT dalam persidangan.

Berdasar catatan, sebelumnya, PTP sempat mengajukan izin lingkungan ke Pemerintah Pasuruan terkait rencana pembangunan perumahan prajurit itu. Namun, oleh Pemkab, izin ditolak karena tak sesuai peruntukan.

Belakangan, perusahaan yang beralamatkan di Gedangan, Sidoarjo itu justru menambang di lahan yang sebelumnya area Teja Sekawan itu.

Bagaimana riwayat peralihan hak pengelolaan dari TS kepada PTP, sejauh ini belum ada informasi pasti. Pihak desa mengaku tidak memiliki catatan ada peralihan.

Hasil penelusuran Mongabay menemukan,  ada keterkaitan antar pengurus di kedua perusahaan itu.

Merujuk dokumen Dirjen AHU Kemenkum HAM, PTP merupakan perseroan tertutup dengan jumlah modal disetor Rp500 juta. Terdapat tiga pihak tercatat sebagai pemilik saham perusahaan ini. Mayoritas sahan dimiliki PT Putra Putri Mitra Sutomo (PPMS) Rp275 juta.

Sesuai dokumen itu, ada beberapa nama pejabat di PPMS yang juga tercatat sebagai pengurus TS, seperti Terence Teja Prawira, komisaris utama PPMS, menjabat sebagai direktur utama.

 

Tambang pasir dan batu ilegal di Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Tentara terlibat?

Penambangan PTP sejatinya sudah berlangsung lama. Sayangnya, bermodus pembangunan perumahan untuk tentara, tambang ilegal itu tak pernah bisa ditutup sebelum akhirnya ditindak lantaran ada oknum tentara.

Dugaan itu pun diperkuat dengan bukti yang disita penyidik, antara lain, bukti catatan keuangan yang mengalir kepada DW, oknum tentara yang kala itu disebut berpangkat letkol.

Dalam berkas perkara AT yang dilimpahkan penyidik Bareskrim juga menyinggung dugaan keterlibatan dua nama lain, seperti DW dan AW yang dilakukan pemberkasan terpisah.

Sayangnya, hingga vonis terhadap AT dijatuhkan, berkas AW dan juga DW tak kunjung sampai ke penuntut. “Kami baru menerima satu berkas perkara, punya AT. Yang lain kami belum tahu, coba tanyakan ke penyidik,” kata Jemmy.

 

Hakim tuai kritik

Vonis majelIs hakim pada AT yang  jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa menuai kritik dari pegiat lingkungan. Wahyu Eka Setiawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur kecewa dengan putusan ini. “Mengecewakan,” katanya, Desember lalu.

Pasal 158 UU Minerba, katanya,  memberi ruang hukuman lebih berat kepada pelaku penambangan tanpa izin alias ilegal, selama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

“Dengan begitu, berkaca pada ketentuan ini, vonis hakim tidak substansial dan terlalu ringan.”

Ringannya hukuman itu, kata Wahyu, menunjukkan, pengadilan negeri belum memiliki perspektif lingkungan hidup yang baik. Terutama, dalam konteks penerapan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009.

Pada beleid itu, katanya, dijelaskan setiap orang yang melakukan kejahatan lingkungan berupa perusakan yang mengakibatkan lingkungan rusak itu bisa dihukum minimal tiga tahun dan denda Rp3 miliar. Sebagaimana Pasal 98 tentang Perusakan dan Pasal 108 tentang kegiatan usaha tidak berizin lingkungan.

Wahyu lebih kecewa lagi lantaran dalam putusan, majelis hakim tidak ada perintah kepada pelaku untuk melakukan pemulihan.

“Tentu ini preseden buruk, karena dengan hukuman ringan tidak akan memberikan efek jera serta efek kejut bagi perusak lingkungan lain.”

Kasus tambang ilegal di Bulusari, Gempol, Pasuruan ini hanya satu dari ratusan tambang ilegal yang merusak lingkungan di Jawa Timur. Faktanya, ada banyak tambang ilegal tak tersentuh.

Seharusnya, kasus tambang ilegal Bulusari ini menjadi momentum penegakan hukum bagi perusak lingkungan.

Kasus ini, katanya, seharusnya menjadi perhatian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Jawa Timur, Pasuruan dan kepolisian. Sebab, tambang ilegal tidak hanya merusak lingkungan juga merugikan negara dan masyarakat.

Karena itu, pengadilan, seharusnya bisa memberikan hukuman lebih berat. “Jangan hanya pidana dan denda, itupun ringan. Karena masa depan lingkungan hidup ada ditangan penegak regulasi.’

 

Tambang pasir dan batu ilegal di Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Masih ada ratusan tambang ilegal

Tambang ilegal di Jawa Timur masih marak. Hal ini juga Brigjen Pol Pipit Rismanto, Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Dia mencatat, sampai saat ini, setidaknya ada 649 tambang ilegal beroperasi di provinsi ujung timur Pulau Jawa ini.

Pipit kala menjadi narasumber dalam seminar bertajuk Sektor Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan di Jawa Timur, awal Desember lalu bilang, dari ratusan tambang ilegal itu, paling banyak di Pasuruan, Lumajang dan Tuban. “Selain merugikan negara, lingkungan juga ikut terdampak,” katanya dikutip dari suarasurabaya.net, Desember 2022.

Sampai awal Desember lalu, sekitar 32 laporan tambang ilegal masuk ke Polda Jawa Timur. Dari jumlah itu, 36 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Secara nasional, kata Pipit, ada 3.100 orang jadi tersangka karena aktivitas pertambangan ilegal. Angka ini jauh lebih banyak ketimbang laporan masuk mencapai 2.700 kasus.

Bupati Lumajang, Thoriqul Haq yang turut hadir dalam kegiatan itu pun mengeluhkan marak tambang ilegal ini. Aktivitas ini kerap menyebabkan jalanan rusak.

“Akibat jalan rusak ini ada sekitar 300-an angka kecelakaan berdasarkan data Satlantas. Kondisi ini karena pemerintah daerah tidak diberikan porsi untuk melakukan pengawasan terkait tambang ini,” katanya.

Bahtiar Ujang Purnama, Direktur Koordinasi Supervisi III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, ada empat faktor menjadi penyebab tambang ilegal marak. Pertama, perizinan sulit hingga pengusaha enggan mengurus.

Kedua, tumpang tindih aturan yang akhirnya memicu pelaku menambang sembunyi-sembunyi. Ketiga, keengganan membayar pajak. Keempat, penegakan hukum lemah.

“Penegakan hukum seringkali tidak mampu memberikan efek jera kepada pelaku. Begitu keluar dari tahanan, mereka melanjutkan lagi,” kata Ujang.

Namun, dia menilai, tambang ilegal marak juga tak lepas dari ‘orang-orang’ tertentu yang menjadi beking bahkan disinyalir melibatkan pejabat.

“Tambang ilegal bisa beroperasi artinya ada orang-orang di baliknya. Itu terkait gratifikasi dan suap yang melibatkan oknum pejabat dan aparat,” seperti dikutip dari suarasurabaya.net.

KPK pun berusaha membangun koordinasi dengan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan. KPK juga akan melakukan penelusuran oknum pejabat yang diduga terlibat.

 

Exit mobile version