Mongabay.co.id

Mangrove, Harapan Utama Masyarakat Pesisir Timur Pulau Bangka

 

 

Memasuki puncak musim angin barat [Desember-Februari], gelombang dan cuaca ekstrim menghantam pesisir timur Pulau Bangka. Periode ini, ganasnya ombak membuat sebagian besar nelayan takut melaut.

Namun berkat mangrove yang masih terjaga, masyarakat pesisir timur di Kabupaten Bangka Tengah tidak harus jauh melaut.

“Kami tidak perlu bertaruh nyawa saat cuaca ekstrim begini. Di sekitar mangrove, kami bisa mencari udang, kepiting, atau teritip,” kata Darmawan [40], generasi kelima warga Dusun Tanah Merah, Desa Baskara Bakti, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Senin [01/01/2023].

Desa Baskara Bakti yang luasnya 634 hektar, memiliki tiga dusun. Dusun Baskara Bakti dan Dusun Kedimpal dihuni keturunan Suku Laut Sekak, serta Dusun Tanah Merah yang mayoritas Suku Melayu.

Menurut Juli [83], orang pertama yang menetap dan berkebun kelapa di sekitar Pantai Tanah Merah, sebelum menjadi sebuah dusun pada 2006, dulunya Tanah Merah merupakan “kelekak linsum”.

“Masyarakat yang tinggal di kelekak linsum, berasal dari sebuah kampung di sekitar Sungai Lempuyang yang bermuara ke pesisir timur Pulau Bangka. Saat ini menjadi pembatas antara Desa Baskara Bakti dan Desa Jelutung,” lanjutnya.

Seiiring waktu, masyarakat kampung menyebar dan meninggalkan Sungai Lempuyang. Mereka membuat kelekak [salah satunya kelekak linsum] di sejumlah wilayah yang saat ini menjadi sebuah desa. Sebut saja Desa Jelutung, Desa Belilik, Desa Cambai, dan Desa Air Mesu, yang semuanya berada di Kabupaten Bangka Tengah.

“Sebelum Suku Laut menetap di sekitar Dusun Baskara Bakti dan Kedimpal, kami lebih dulu menetap di sekitar Dusun Tanah Merah. Selain melaut, masyarakat di sini juga berkebun cengkih, lada, durian, kelapa, serta padi darat,” lanjut Juli.

Baca: Kelekak, “Rumah Terakhir” Kukang Bangka yang Terancam Punah

 

Seorang pemuda dari Dusun Tanah Merah tengah mencari kepiting di hutan mangrove sekitar Pesisir Timur Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dulu, masyarakat di Dusun Tanah Merah juga rutin mengadakan sedekah kampung setiap bulan Muharram disertai larangan melaut tiga hari. Bagi yang melanggar akan mendapat sanksi dari ketua adat, atau terkena sakit.

“Tapi acara itu sudah hilang sejak tahun 90-an, karena tidak ada regenerasi ketua adat. Meski begitu, masyarakat di sini masih memegang teguh nilai-nilai menjaga laut, besar harapan sedekah kampung kembali dihidupkan,” ujarnya.

Hingga saat ini, masyarakat dari sekitar Sungai Lempuyang masih terhubung dengan mangrove dan laut.

“Nelayan ada yang dari Jelutung, Belilik, Cambai, Air Mesu, dan lainnya. Terkadang ada yang masih satu keluarga, hanya beda desa. Kami kompak untuk menjaga mangrove dan laut,” lanjut Juli.

Baca: Durian dan Manggis yang Begitu Menggoda di Kelekak Suku Jerieng

 

Perahu nelayan terlihat menepi di sekitar mangrove di Dusun Tanah Merah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perubahan luasan

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, dibandingkan wilayah Dusun Baskara Bakti hingga Pantai Sampur [Desa Kebintik] yang sudah tersentuh penambangan timah, kondisi mangrove dari pesisir Dusun Tanah Merah [Sungai Lempuyang] hingga Sungai Kurau, masih relatif baik.

Merujuk jurnal Akuatik Sumberdaya Perairan Universitas Bangka Belitung, berjudul “Perubahan Luasan Mangrove Pesisir Timur Kabupaten Bangka Tengah Menggunakan Citra Satelit ASTER” oleh Navisa Savira, Agus Hartoko, dan Wahyu Adi, luasan mangrove di wilayah tersebut mencapai 964,4 hektar [2017].

Namun, luasan mangrove ini jauh berkurang. Pada 2002 [1.104,3 hektar], 2014 [928,17 hektar], dan 2017 menjadi 964,4 hektar. Adapun jenis mangrove yang mendominasi di 5 stasiun penelitian [Tanah Merah, Belilik, Kurau Timur, Kurau Barat dan Penyak], yakni Rhizophora  apiculata [bakau], Soneratia alba [perepat], Avicennia lannata [api-api], Avicennia marina [api-api putih], dan Nypah  frutican [nipah].

Dalam jurnal yang sama, berdasarkan penelitian Haba [2013], penurunan luasan mangrove di Bangka Belitung berkaitan dengan penebangan [industri arang] dan tambang laut.

“Akibatnya, populasi kepiting, rajungan, dan hewan hewan yang habitatnya di mangrove berkurang. Padahal kepiting dan rajungan merupakan komoditas utama nelayan lokal. Laju perusakan tidak seimbang dengan gerakan reboisasi hutan dan lahan,” tulis jurnal terbitan 2018 ini.

Baca: Sedekah Gunung, Menjaga Keharmonisan Manusia dan Alam di Pulau Bangka

 

Kawasan hutan mangrove tersisa di Pesisir Timur Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, kawasan mangrove di Sungai Lempuyang dan Sungai Kurau, menjadi harapan bagi ribuan masyarakat desa di sekitar pesisir timur Kabupaten Bangka Tengah.

“Di pesisir timur, cuma mangrove ini yang bagus. Kalau dari depan Baskara Bakti, Tanjung Gunung, Batu Belubang, Sampur hingga Sungailiat, sudah rusak karena banyak penambangan timah,” kata Anjol [38], warga Desa Jelutung yang melaut di sekitar Sungai Lempuyang.

Tahun 2021 lalu, sekelompok penambang dengan satu kapal isap berniat memasuki muara Sungai Lempuyang, namun masyarakat menolak.

“Kami sudah sepakat untuk menjaga mangrove dan laut di sekitar Sungai Lempuyang hingga Sungai Kurau. Berkaca dari kampung lain, hilangnya mangrove membuat hidup susah,” kata Anjol.

Baca: Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

 

Kondisi mangrove di Pesisir Timur yang terancam penambangan timah serta industri skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Harus dijaga

Berdasarkan kompilasi data Walhi Kepulauan Bangka Belitung, dalam Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2020, di pesisir timur Pulau Bangka terdapat 229.000 hektar zona pertambangan, budidaya [46.122,5 hektar], industri maritim [47,1 hektar], pelabuhan  [4.892,5 hektar], dan wisata [16.200,5 hektar].

Menurut Jessix Amundian, Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, semua aktivitas tersebut dapat mengancam kelestarian ekosistem mangrove, khususnya di pesisir timur Pulau Bangka.

“Jika keliling Bangka, mangrove di pesisir barat [Selat Bangka] lebih baik dan rapat,” katanya.

Pada 2021, tercatat 10 kasus kecelakaan laut, sebanyak 10 orang meninggal dan 3 luka-luka. Tahun 2022, terjadi 7 kasus kecelakaan laut [7 meninggal dan 13 luka-luka] akibat cuaca ekstrim.

“Sebagian besar korban adalah nelayan yang terpaksa melaut saat cuaca ekstrim seperti sekarang,” kata Jessix.

Krisis iklim global, yang diperparah aktivitas penambangan serta industri merusak, membuat masyarakat pesisir timur Pulau Bangka rentan terhadap berbagai bencana ekologi.

“Mangrove tidak hanya berperan sebagai mitigasi krisis iklim dan bencana, tetapi juga menyelamatkan nyawa dan keberlanjutan hidup masyarakat pesisir timur Pulau Bangka,” tegas Jessix.

 

Exit mobile version