Mongabay.co.id

Cara Unik Konservasi Sungai di Sari Gumitir

 

Tahun 2022 adalah pengingat tentang rapuhnya lingkungan Pulau Bali dengan beragam bencana dan peristiwa terkait cuaca ekstrem.

Pada 22 Desember 2022, sebagian Pulau Bali sedang hujan badai. BMKG memperingatkan hujan disertai angin kencang melanda sejumlah kabupaten yakni Tabanan, Denpasar, Klungkung, dan Gianyar. Kecepatan angin sampai 35 knots dan berpotensi banjir serta pohon tumbang.

Sejumlah laporan menyebutkan pohon tumbang di beberapa lokasi, salah satunya di Denpasar dengan korban meninggal satu orang. Seorang warga sedang mengendarai pickup tergencet pohon palem tumbang saat melintas di jalan raya.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah kawasan yang paling krusial. Seiring dengan bencana banjir pada tahun 2022 di Bali, sejumlah DAS membawa ratusan gelondongan kayu ke hilir dan menimbun puluhan rumah penduduk, membawa lumpur, sampai material galian C pasir dan bebatuan.

Ada apa dengan DAS di Bali?

Sejumlah kelompok warga, dengan gerakan kecilnya mencoba menjawab masalah ini dari desa sendiri.

Salah satunya komunitas Bakti Ring Pertiwi atau B-Riper di Sari Gumitir, Desa Mangesta, Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan adalah titik longsor dan banjir terbanyak pada bencana alam akhir Oktober lalu.

baca : Banjir dan Longsor, Tanda Peringatan Kerusakan Daerah Hulu di Bali

 

Menjaga DAS dengan naturalisasi di Desa Sari Gumitir, Tabanan, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di Sari Gumitir ini, terdapat kawasan perkemahan yang dilalui tiga sungai dengan sumber air dari Gunung Batukaru. Di antaranya sungai Tukad Yeh Ho, salah satu sungai terpanjang dan arusnya deras.

Ketiga sungai itu alirannya nampak deras, namun tak terlihat ada gelombang sampah plastik, pepohonan terbawa arus, atau benda lain. Sungai terlihat sangat indah dengan bebatuan besar dan sempadan alami dengan pepohonan.

Salah satu jenis pohon yang ditanam di sepanjang pesisir sungai di kawasan ini adalah Rijasa. Putu Parta dari B-Riper menyebut pohon ini cocok di DAS karena sifatnya adaptif. Mampu menyerap air saat permukaan sungai meluap. Sebaliknya akarnya mampu mengeluarkan cadangan air yang tersimpan saat musim kemarau sehingga sungai tidak kering.

Deretan pohon Rijasa terlihat dominan di ketiga aliran sungai ini. Batang pohon tidak terlalu besar, jadi masih ada cahaya masuk ke sela-sela dahannya. Akar pohon juga berpadu dengan bebatuan sungai dan tanah yang disangganya.

Selain Rijasa, kelompok B-Riper juga menambah keberagaman ekosistem tanaman di sempadan sungai dengan tumbuhan lokal yang bisa dimanfaatkan warga. Misalnya pohon aren, bambu, dan rumput ekor kuda. Karena ada tanaman rumpun, sungai juga nampak seperti taman namun masih alami.

Ada juga tanaman jenis pakis yang dinilai bagus menyimpan air dan cocok di area yang lebih basah seperti hutan yang mengelilingi hulu sungai. Juga terdapat tanaman akar wangi yang akarnya panjang sehingga bisa menjaga tanah dari erosi.

“Ini naturalisasi sempadan sungai bukan revitalisasi karena tanpa disender beton,” sebut Putu Parta. Menurutnya strategi naturalisasi ini lebih tepat karena tidak mengubah bentang alam dan ekosistem sungai terjaga. Hewan sungai seperti ikan dan udang masih bisa berkembang biak.

baca juga : Ketika Debit Air Subak dan Kualitas Tanah Menurun

 

Pohon rijasa di sepanjang DAS Tukad Yeh Ho, Desa Sari Gumitir, Tabanan, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Capung, salah satu hewan indikator air bersih pun nampak masih banyak di sekitar sungai. Salah satunya jenis capung jarum hitam dan merah. Kelompok besar capung jarum malah bertengger di tiap batang pohon di pinggir sungai.

Seturut strategi naturalisasi, Putu Parta juga melestarikan dongeng masa lalu yang menjaga sungai. Misalnya kisah pohon canging di pertemuan dua sungai. Pohon ini terlihat unik karena tumbuh di bebatuan. Parta ingat saat masa kecilnya. Orang tuanya bercerita, jika pohon canging ini berbunga, artinya udang-udang sedang galak-galaknya. Siap ditangkap.

Ada juga kisah kunang-kunang. Serangga yang berpendar saat malam hari ini disebut senang bertelur dan menitipkan larvanya di cangkang keong sawah atau bahasa Bali disebut kakul. Sayangnya keong sawah ini makin kalah oleh hama akibat penggunaan pestisida. Jenis keong yang banyak malah keong emas yang dianggap hama.

Putu Parta menyatakan sedang memperbanyak keong sawah agar kunang-kunang makin banyak. Keong ini juga disebut lebih enak dibanding keong emas, salah satu sumber protein warga lokal. Diolah jadi beragam menu, misalnya sate kakul dan keripik kakul. Gurih dan empuk.

“Kami ingin mengembalikan kehidupan bukan mengutamakan produktivitas,” sebut Parta. Untuk mendukung konservasi sungai, pertanian padi sekitar sungai tidak diperbolehkan menggunakan input kimia sintetik seperti pestisida dan lainnya.

baca juga : Kreativitas Olahan Pangan Lokal Bali

 

Lanskap pesawahan dengan sistem subak di Desa Sari Gumitir, Tabanan, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini sejumlah petak sawah yang berbentuk terasering ini sedang direhatkan selama satu tahun untuk mengurangi kandungan pestisida dan pupuk kimia sintetik yang pernah dipakai. Tumbuhan air kapu-kapu dibiarkan untuk menyerap asam dan racun. Jika sudah musim tanam bibit padi organik, kapu-kapu akan dibersihkan karena jika terlalu banyak akan menghambat pertumbuhan padi muda. Menutupi akarnya dari cahaya matahari.

Jika area sawah sudah minim kandungan kimia sintetik, maka ekosistem sawah kembali sehat. Misalnya belut dan keong sawah. Anak belut perlu plankton, sedangkan belut dewasa perlu cacing. Untuk mengembalikan bahan pangan sehat dan penyubur lahan ini, tanahnya harus subur dan mengandung unsur hara agar kembali hidup. Menghidupi penghuninya.

Parta hendak mengingatkan inilah tatanan subak, budaya air di Bali yang menjaga keseimbangan alam. Sawah, sungai, dan gunung adalah satu kesatuan. Ekosistem air ini juga bisa mendukung tradisi dan ritual karena tanaman sekitar sawah, sungai, dan gunung bisa memenuhi kebutuhan manusia.

baca juga : Gejolak di Balik Indahnya Panorama Terasering Sawah Ceking Tegalalang

 

Pohon canging yang tumbuh di atas batu di pertemuan dua sungai di Desa Sari Gumitir, Tabanan, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Deretan pohon pisang batu nampak ditanam mengelilingi sawah. Jenis pisang ini ditanam karena warga membutuhkan lebih banyak daun pisang untuk kebutuhan wadah makanan dan persembahyangan. “Agar tidak tergantung kemasan plastik,” sebut Wayan Janu, pengelola Sari Gumitir, kawasan kemah yang bahu membahu bersama komunitas B-Riper membuat program konservasi.

Tak heran, semua olahan pangan yang disuguhkan Sari Gumitir menggunakan daun. Tidak ada satu pun plastik sekali pakai yang digunakan untuk menyuguhkan makanan dan minuman di tempat ini.

Jika daun pisang batu dibudidayakan karena kebutuhan daunnya, maka buah pisangnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jenis pisang yang bisa dimakan dan kebutuhan ritual juga ada, namun lebih sedikit, seperti pisang mas dan canvendish.

Memuliakan alam juga mengembalikan menu-menu tradisional sehat di masa lalu. Misalnya blauk atau larva capung yang dibungkus daun sente. Daun ini dinilai memiliki khasiat mengawetkan secara alami. Ada juga nasi dan bubur beras merah, jenis padi lokal yang ditanam enam bulan secara organik. Beras merah mentah juga jadi teh. Beras merah diseduh air panas, bisa dihidangkan dengan atau tanpa gula.

Kegiatan kemah di Sari Gumitir terasa lebih bermakna dengan paket-paket pengetahuan konservasi dan ekologi. Ketika Bali makin dikepung bencana, kearifan pelestarian alam di masa lalu makin berarti.

 

Exit mobile version