Mongabay.co.id

Catatan Awal Tahun: Dibalik Kepunahan Harimau Jawa, Ada Masalah Ruang Hidup

 

Berapa luas hutan tersisa di Jawa?

Barangkali pertanyaan semacam itu tetap relevan ditanyakan. Apalagi setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja. Perpu itu untuk menggantikan Undang-undang (UU) No.11/2022 tentang Cipta Kerja.

Sebabnya, kebijakan pada Pasal 18 Perpu Cipta Kerja tentang kehutanan mampu menciutkan luasan hutan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat yang sebelumnya diatur dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan.

Sebelum direvisi dalam omnibus law, UU No.41/1999 tentang Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi, Perpu Cipta Kerja menghapus itu. Sedangkan dari data terakhir, hutan di Jawa hanya tersisa sekitar 24 persen

Situasi ini memberi gambaran jika ekosistem bukanlah variabel yang diperhitungkan dalam rumus pembangunan. Padahal, persoalan lingkungan sebenarnya tidaklah sesederhana menyelamatkan tumbuhan atau satwa terancam punah belaka. Persoalan sebenarnya adalah menyelamatkan ruang hidup bersama.

Seperti halnya dengan perdebatan harimau jawa atau Panthera tigris sondaica. Dihimpun dari pelbagai referensi disebutkan harimau jawa masih banyak terdapat pada abad ke-19. Namun, pada 1940-an, perkembangan pesat jumlah penduduk Jawa membuat harimau jawa terkonsentrasi di beberapa daerah, seperti Taman Nasional Ujung Kulon Banten, Baluran dan Meru Betiri di Jawa Timur.

baca : Viral Penampakan Harimau Jawa di Media Sosial, Mengapa Masih Percaya Ada Meski Dinyatakan Punah? 

 

Harimau Jawa (Phantera tigris sondaica) yang tertangkap kamera pemburu satwa liar. Foto : Koleksi Peduli Karnivor Jawa

 

Harimau jawa kemudian dinyatakan punah pada 1980-an. Kendati begitu, tidak sedikit pihak yang meyakini “si loreng” itu belum punah. Lima helai rambut dan kesaksian enam warga di Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat tahun 2021 lalu merupakan satu dari sekian banyak temuan tentang si loreng.

Didik Raharyono mungkin salah satu orang paling sibuk mengumpulkan bukti-bukti itu. Apalagi sempat menjabat Direktur Peduli Karnivor Jawa, separuh hidupnya dihabiskan untuk wara-wiri ke hutan-hutan Jawa yang tersisa.

Nyaris dua dasawarsa berkelana, Didik menyimpulkan adanya silang pendapat antara masyarakat ilmiah dan masyarakat sekitar hutan tentang keberadaan harimau jawa. Fakta-fakta tentang keberadaanya dengan materi temuan seperti foto jejak, cakaran, kotoran hingga laporan saksi mata hanya bisa dirawat dalam ingatan tanpa ada pembuktiannya.

“Padahal saya punya cerita tahun 1980 sampai 1997 itu yang dituntut (pembuktian) adalah jejaknya. Lalu periode 2000-an itu butuh foto visualnya, lalu lanjutan pembuktiannya harus ada videonya,” katanya saat dihubungi beberapa waktu lalu. “Mungkin bisa jadi setelah (bukti-bukti) itu dikumpulkan, DNA perlu juga di cek. Tapi saya kira bukan soal itu poinnya.”

Didik banyak menemui warga pinggir hutan. Mereka bertutur hal ihwal pertemuan dengan satwa yang dianggap dekat dengan leluhur itu. Buktinya, terdapat 15 nama berbeda yang dipakai warga untuk mengidentifikasi harimau jawa. Nama-nama itu disematkan sebagai penghormatan terhadap keberadaannya.

Atas penuturan warga pulalah akhirnya membawa Didik akrab dengan cakaran, jejak, rambut, hingga beberapa anatomi tubuh harimau jawa. Namun, sejauh penemuan itu tak ada yang berhasil teridentifikasi secara pasti karena keterbatasan uji spesimen.

“Ketidakjelasan standar uji dan ketidakmauan mengungkap (bukti harimau jawa) menjadi kendala selama ini,” imbuhnya.

baca juga : Wawancara Profesor Gono Semiadi: Harimau Jawa Sudah Punah Secara Ilmiah

 

Harimau jawa yang terpantau di Ujung Kulon tahun 1938. Sumber: Wikimedia Commons/Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977)/Public domain

 

Didik akhirnya memilih menepi. Berhenti pada pernyataan yang menggantung tentang keberadaan harimau jawa yang masih menyala.

Padahal dibelakang perdebatan terkait kepunahannya, ada fakta yang ingin diungkap. Lenyapnya satwa liar menandakan hancurnya satu lingkungan. Kehancuran itu akan menyeret ekosistem lainnya sebagai ruang hidup turut terdegradasi.

Katanya, yang paling menarik dari pencarian harimau jawa adalah tentang kebudayaan masyarakat. Bagaimana budaya leluhur dulu itu harmonis berbagi ruang hidup dengan satwa liar. Hutan yang menjadi habitatnya predator puncak itu dipandang sebagai kehidupan masa depan oleh leluhur mereka. Sehingga diciptakan mitos-mitos sebagai benteng moral.

Namun pada era 1830 -1870, Belanda menginisiasi pembukaan hutan untuk perkebunan secara besar-besaran di Jawa. Seiring itu, konflik antara harimau jawa dengan manusia pun meningkat. Harimau tak lagi mendapat tempat sebab pada tahun-tahun kolonialisasi itu, Belanda yang tidak terbelenggu mitos-mitos menetapkan harimau jawa sebagai binatang buruan yang harus dimusnahkan.

perlu dibaca : Ekspedisi Harimau Jawa, Pencarian Tanpa Lelah Karnivora yang Dinyatakan Punah

 

Harimau Jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. Foto: Wikimedia Commons/Tropenmuseum/H.Bartels

 

Nyaris sepeninggalan itu, populasi satwa-satwa berlabel jawa juga drastis menurun. Perburuan menggiring pada situasi yang membikin habitat makin fragmentasi. Bahkan, candu pestisida pada aktifitas pertanian berpengaruh pada perkembangbiakan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Zat kimia itu terakumulasi pada mangsanya sehingga diduga kuat mempercepat kematian dini.

Adapun laporan Science Advance tahun 2015 lalu, mempublikasikan temuan baru tentang kemiripan genetik harimau jawa dan harimau bali dengan harimau sumatera. Literatur itu mengusulkan taksonomi dan subspesies harimau secara global yang baru, dengan menggabungkan tiga aspek yaitu morfologi, genetika dan ekologi.

Diusulkan, harimau hanya punya dua subspesies, yaitu harimau sunda dan harimau kontinental. Harimau sunda terdiri dari harimau sumatera, jawa serta bali yang ada di Indonesia. Untuk harimau kontinental terdiri dari 6 subspesies sisanya yang tersebar dari Rusia sampai Malaysia.

Fakta ilmiah ini sempat membuka wacana introduksi harimau sumatera untuk mengisi kepunahan kerabatnya di jawa dan bali. Sekalipun secara biologis barangkali diasumsikan serupa, agaknya mustahil dilakukan.

Menurut Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bidang Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan, Didik Widyatmoko, karakteristik hutan Jawa dan Sumatera cenderung berbeda. Sehingga akan sulit sedianya dilakukan pemindahan habitat.

“Sebetulnya banyak yang belum terungkap. Literatur kita tentang harimau jawa sedikit sekali sehingga sudah susah didalami,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Desember lalu.

Begitu pula dengan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang juga tak banyak diteliti. Nasibnya rapuh di ujung tubir kepunahan. Keberadaannya acapkali dianggap sebagai biang masalah.

Kini, kucing besar tersisa ini tersebar di 28 kantong se-Jawa. Estimasi jumlahnya tak jauh dari 300 individu.

Data Yayasan Save Indonesian Nature and Threatened Species (Sintas) Indonesia mencatat 94 konflik macan tutul jawa sepanjang 2008-2019. Kejadian terbanyak adalah memangsa ternak dan memasuki pemukiman warga. Barangkali yang tidak terekam lebih sering berujung kematian bagi macan tutul jawa.

Data Sintas Indonesia juga memproyeksikan sekitar 1-3 individu macan tutul jawa per tahun mati akibat konflik. Yang melalui tahap rehabilitasi kemudian dilepasliarkan adalah macan tutul yang bernasib mujur. Tapi persentasenya kecil sekali. Kadang malah berakhir di kadang display kebun binatang atau taman satwa sebagai satwa tontonan.

Tahun 2022, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar tercatat melepas liar 2 individu macan tutul. Rasi, macan tutul betina remaja dilepas liar mengisi Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan setelah terjadi kepunahan lokal pada tahun 2015. Dan Purbaya, macan jantan berumur 7 tahun dilepas liar kembali di Kawasan Konservasi Kamojang, Kabupaten Garut setelah sebelumnya terjerat ranjau babi.

menarik dibaca : Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

Rasi, seekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) jantan yang dilepasliarkan di Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Kamojang, Garut, Jawa Barat pada Desember 2022. Foto : BBKSDA Jabar

 

BBKSDA Jabar melakukan ekspedisi macan tutul di Suaka Margasatwa Gunung Sawal pada September sampai Oktober 2022. Hasilnya terpantau 5 individu. Terdiri dari 2 macan tutul jantan dewasa, 2 betina, dan 1 anakan.

Dua tahun sebelumnya, dari 18 camera trap yang dipasang di 8 titik selama 3 bulan, terpantau ada 4 individu macan tutul. Jadi total 9 individu yang terpantau di kawasan seluas 5.567 hektar atau 55 kilometer persegi.

Berdasarkan beberapa hasil riset, rata-rata wilayah jelajah macan tutul mencakup 5-15 kilometer persegi. Artinya populasi di kawasan tersebut terhitung pada kondisi padat.

Menurut Direktur Yayasan Sintas Indonesia Hariyo T. Wibisono, fenomena yang sedang terjadi adalah macan tutul saling berebut habitat karena luas area hutan yang semakin menyusut. Kemungkinan juga area macan tutul sudah saling tumpang tindih.

Luas hutan di Jawa kini hanya tersisa 29.000 kilometer persegi dari luas total pulau yang mencapai 130.000 kilometer persegi. Dari luas hutan tersisa tersebut, diperkirakan hanya 11.000 kilometer persegi yang layak dihuni macan tutul jawa.

Penghancuran habitat pun terus berlangsung. Satwa endemik pun semakin kehilangan daya hidupnya. Pelan namun pasti, macan tutul pun bakal mengalami kepunahan lokal.

Adalah fragmentasi lahan menggantung digusarkan Hariyono. Sebab, bisa membikin satwa terisolasi sehingga terancam inbreeding (perkawinan sedarah). Dan hal itu sudah terjadi pada badak jawa. Populasinya tinggal 40 individu lagi. Dan kecil kemungkinannya untuk bertambah.

baca juga : Macan Tutul Jawa, Sang “Penjaga” Hutan yang Semakin Terdesak Hidupnya

 

Seekor macan tutul jawa. Foto: Conservation International/BBKSDA Jawa Barat/Rawayan

 

Ruang hidup

Bila macan tutul jawa satu-satunya predator puncak tersisa di pulau Jawa punah, maka akan berpengaruh pada rantai makanan dan siklus alami di hutan. Beragam ekosistem yang jalin-menjalin berkelindan di sana memiliki fungsi dan tugasnya sendiri. Satwa, tumbuhan, dan manusia punya andil dan fungsi ekologis masing-masing.

Persoalannya, kata Didik Widyatmoko, manusia telah menganggap fakta-fakta itu hal biasa. Tak lagi menyadari bahwa sirkulasi oksigen berasal dari hutan. Begitu juga potensi sumber pangan, obat-obatan, dan air dipandang sebagai komoditas yang bisa didapatkan sepanjang waktu.

“Rupanya degradasi lingkungan telah juga mendegradasi pandangan manusia tentang ruang hidupnya. Sosial budaya berubah, mungkin suatu saat akan menjadi bom waktu kekeliruan semacam ini,” katanya.

Terlebih manusia masa kini berpikir kepunahan satwa liar tak jadi soal. Sebab, dampaknya belum terasa. Sekalipun adanya ancaman perubahan iklim yang mengancam ruang-ruang hidup manusia.

Menurut peneliti BRIN itu, kehilangan spesies baru dinyatakan punah secara saintifik apabila dalam kurun waktu 50 tahun setelah perjumpaan terakhir tidak pernah dijumpai kembali di alam. Artinya, harimau baru benar-benar dinyatakan lenyap dari bumi pada tahun 2030 mendatang. Tapi seiringan dengan itu, beberapa spesies juga tinggal menunggu waktu untuk punah.

Untuk itu, agaknya pertanyaan tentang berapa sisa hutan Jawa untuk keseimbangan ekologi, kehidupan satwa liar dan dampaknya bagi kehidupan manusianya masih patut diperhitungkan.

 

Exit mobile version