Mongabay.co.id

Gajah Sumatera yang Tidak Lagi Mendatangi Danau Ranau

Kelompok gajah liar di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

 

Baca sebelumnya: Gunung Raya, Rumah Gajah Sumatera yang Hilang

**

 

Wilayah perbukitan di sekitar Danau Ranau, yang sebagian besar masuk Sumatera Selatan, dan sebagian kecil masuk Lampung, merupakan wilayah purba. Danau Ranau yang luasnya sekitar 12.590 hektar, merupakan danau yang terbentuk dari proses tektonik dan vulkanik sekitar 55 ribu tahun lalu. Letusan gunung berapi purba dan gempa bumi besar membentuknya.

Di masa lalu, beragam jenis satwa hidup di hutan dataran rendah maupun tinggi di sekitar Danau Ranau. Termasuk yang saat ini populasinya kritis, seperti gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis].

Danau Ranau yang merupakan danau terluas kedua di Pulau Sumatera, setelah Danau Toba, memiliki sebuah pulau yakni Pulau Marisa, dan mengalir dua sungai. Sungai Selabung bermuara ke Sungai Komering, Ogan Komering Ulu [OKU], Sumatera Selatan, dan Sungai Warkuk bermuara ke Sungai Sukau, Lampung Barat, Lampung.

“Saat saya kecil [anak-anak], masih ditemukan kelompok gajah yang turun ke danau [Danau Ranau]. Kalau sekarang sudah tidak pernah terlihat lagi. Entah kalau di wilayah lain,” kata Nuryam Komari [85], warga Desa Pilla, Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT], Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan, pertengahan Desember 2022.

Dibandingkan harimau dan badak, gajah merupakan satwa yang sangat akrab dengan masyarakat yang menetap di sekitar Danau Ranau, baik di sekitar Gunung Raya, Gunung Seminung, Sukau, Saka, Gunung Pesagi, dan Mekakau.

“Dulu, dapat dikatakan setiap masuk hutan, kita akan bertemu gajah. Kalau harimau tidak semua orang pernah melihat ketika masuk hutan. Tapi hingga hari ini, masih ada harimau,” kata Nuryam Komari.

Hubungan masyarakat lokal dengan gajah cukup akrab.

“Tidak ada cara tertentu untuk menghalau gajah, jika masuk kebun atau sawah. Cukup berkomunikasi seperti kita bicara dengan orang tua. Gajah, seperti halnya harimau, merupakan hewan yang sangat kami hormati. Kami tidak punya tradisi memburu gajah. Misalnya, tidak ada kebanggaan bagi kami menggunakan sesuatu dari gading.”

Dijelaskannya, para tetua di kampungnya pernah menceritakan jika gajah-gajah itu sering ke Danau Ranau. “Setiap tahun mereka [gajah] pasti ke Danau Ranau. Tapi kalau sekarang ini tidak pernah lagi. Maklum, hampir semua wilayah di pinggiran Danau Ranau sudah menjadi permukiman penduduk.”

 

Kelompok gajah liar yang terpantau di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Sebagai informasi, tiga kecamatan di sekitar Danau Ranau masuk Kabupaten OKU Selatan, yakni Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT] dengan 56 desa, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan [16 desa], dan Kecamatan Banding Agung [71 desa dan kelurahan].

Sementara desa di sekitar Danau Ranau yang masuk Kabupaten Lampung Barat, Lampung, adalah Kecamatan Sukau [10 desa] dan Kecamatan Lumbok Seminung [11 desa].

“Sebagian manusia hari ini kalau ada gajah melewati kebun, sawah, dan kampung dianggap ancaman. Kalau tidak diusir, ya ada sebagian mati karena makan racun di kebun,” kata Iptoni [57], warga Desa Tanjung Kemala, Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT], Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan.

Kawanan gajah yang turun ke Danau Ranau, keluar dari sejumlah habitatnya, seperti Gunung Raya, Gunung Pesagi, Mekakau, Sukau dan Saka.

“Hanya tidak diceritakan dari Gunung Seminung. Mungkin tidak ada gajah di sana. Tapi kabarnya, memang belum pernah ditemukan,” paparnya.

 

Dulu, hampir setiap tahun kawanan gajah dari berbagai habitat turun ke Danau Ranau, Sumatera Selatan-Lampung ini. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Ratusan tahun

Manusia menetap di sekitar Danau Ranau diperkirakan sejak masa Megalitikum. Peradaban megalitik terus berlangsung hingga abad ke-10 Masehi atau di masa Kedatuan Sriwijaya.

Ini berdasarkan penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1993, yang menemukan peninggalan megalitik di Desa Surabaya, Desa Subik, Desa Jepara, Padangratu, Kotabatu, Pagardewa, Payah, Tanjungraya, Sukabanjar, dan Haurkuning. Misalnya situs berbenteng parit, punden, batu bergambar, dolmen, menhir, lumping batu, prasasti, tembikar, dan keramik.

Berdasarkan penelitian di Desa Padangratu; situs megalitik Putor, Jurun, Putor, Bumijawa dan Langkat, disimpulkan masyarakat dengan tradisi megalitik memiliki adaptasi yang baik terhadap lingkungan.

Misalnya, mendirikan bangunan megalitik berdekatan dengan sumber air [siring]. Air sebagai sumber kehidupan dan religi, selain sebagai aksesibilitas antara wilayah perbukitan [hulu] dengan dataran rendah [hilir] yakni Danau Ranau.

Kemudian mendirikan bangunan megalitik di atas tanah yang mengandung lapukan vulkanik. Tanah yang subur untuk pertanian dan perkebunan. Serta memilih lokasi yang menyediakan sumber material bangunan megalitik yakni batu vulkanik.

Tapi, hingga saat ini belum ditemukan artefak megalitik seperti di Lahat dan Pagaralam, yang menggambarkan hubungan manusia dengan satwa, seperti manusia berpelukan dan menggendong dengan gajah, harimau, dan buaya.

Berdasarkan legenda, masyarakat yang menetap di sekitar Danau Ranau, misalnya di wilayah Banding Agung, mengaku sebagai keturunan Si Pahit Lidah, yang hidup sebelum masa Kedatuan Sriwijaya.

Si Pahit Lidah adalah sosok manusia sakti. Dia mampu menyumpah apa pun menjadi batu. Manusia yang disumpah menjadi batu adalah mereka menentangnya, menyusahkan manusia dan merusak alam. Legenda ini dikenal oleh sebagian masyarakat yang menetap di Bukit Barisan, dari Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, hingga Kerinci [Jambi].

 

Jika dulunya hutan di perbukitan di sekitar Danau Ranau dijaga masyarakat, kini sebagian besar dijadikan kebun. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Sebagian masyarakat mengaku sebagai keturunan masyarakat Kerajaan Sekala Brak. Kerajaan ini berada di dataran Belalau, selatan dari Danau Ranau yang masuk Kabupaten Lampung Barat. Dari Belalau, masyarakat Sekala Brak menyebar mengikuti aliran sungai [way], seperti Sungai Komering, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung, Way Tulang Bawang, dan lainnya.

Di kaki Gunung Pesagi ditemukan berbagai situs megalitik, yang dipercaya berkaitan dengan peradaban masyarakat Sekala Brak.

Selain itu, beberapa warga mengaku keturunan dari berbagai suku di Nusantara. Misalnya dari Jawa, Kalimantan, dan wilayah lain di Sumatera. Diperkirakan kehadiran mereka karena perdagangan rempah, seperti kayu manis, damar, lada, dan kopi. Baik di masa Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang.

Sejak tahun 1980-an, hadir pendatang baru. Mereka berasal dari Jawa dan Lampung [Jawa keturunan] baik yang ikut transmigran atau terlibat perambahan hutan.

 

Danau Ranau dilihat dari perkebunan sawit milik warga. Dulunya, kebun ini adalah hutan sebagai rumah gajah dan harimau. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Cagar Biosfer

Danau Ranau bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya merupakan bagian dari Bukit Barisan. “Leluhur kami menyebut seluruh wilayah ini, termasuk Danau Ranau adalah Bukit Barisan,” kata Iptoni.

Buktinya, “Semua jenis tanaman dan binatangnya sama. Tidak ada perbedaan. Tanaman dan binatang yang ada di Krui [Lampung], di Seminung, juga ada di sini. Jadi kalau mau dilindungi, ya, semuanya dilindungi. Tapi, manusia juga perlu hidup di Bukit Barisan ini. Dahulu, manusia dengan gajah dan harimau bisa hidup damai. Tapi kenapa sekarang tidak lagi. Pasti ada yang salah. Kita sebagai manusia yang diberi Tuhan akal, ya harusnya berpikir. Manusialah yang harus bersikap baik lebih dahulu terhadap mereka.”

“Danau Ranau ini sentra kehidupan di Bukit Barisan,” kata Iptoni, menanggapi tentang wilayah yang masuk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS].

Danau Ranau adalah kawasan yang tidak masuk TNBBS. Sebagian wilayah di sekitar Danau Ranau, seperti Gunung Raya dan Saka, dijadikan hutan lindung dan suaka margasatwa sebagai penunjang TNBBS.

“Kami heran Danau Ranau bukan bagian dari Bukit Barisan yang dilindungi pemerintah,” ujarnya.

Jelasnya, Bukit Barisan itu merupakan wilayah hidup gajah dan harimau. “Selama ada gajah dan harimau itulah Bukit Barisan.”

“Bukan hanya Danau Ranau dan Gunung Raya, Gunung Pesagi [Sumatera Selatan-Lampung], Bukit Sigigok, dan Sukau [Sumatera Selatan-Lampung], juga bagian dari Bukit Barisan.”

“Para tetua kami memberikan amanah agar hidup damai dengan semua yang hidup di sini. Bukit Barisan. Dari Danau Ranau, Gunung Seminung, hingga perbukitan yang ada di Lampung maupun Bengkulu. Semua harus saling menjaga. Kalau semuanya rusak, dipastikan akan terjadi banyak bencana. Itulah pesan orang tua kami,” kata Iptoni.

 

Anak-anak ini merupakan generasi dari berbagai suku bangsa yang datang ke Danau Ranau. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

“Danau Ranau bagian penting dari Bukit Barisan Selatan. Jadi, sebaiknya kedua lanskap [Danau Ranau dengan TNBBS] dipadukan, disatukan,” kata Yusuf Bahtimi, kandidat doktoral di Universitas Oxford, Inggris.

Solusinya, “Danau Ranau dapat ditetapkan sebagai Cagar Biosfer UNESCO,” kata peneliti gajah sumatera ini.

Ada beberapa keuntungan jika Danau Ranau ditetapkan sebagai cagar biosfer. Selain sebagai media mempromosikan keanekaragaman hayati dan kebudayaan yang arif terhadap lingkungan, juga menjadi peluang pengembangan ekonomi berbasis keberlanjutan.

 

Exit mobile version