Mongabay.co.id

Perppu Cipta Kerja, Siasat Akali Mahkamah Konstitusi, Lengkapi Kegentingan Lingkungan dan HAM

 

 

 

Presiden Joko Widodo dalam satu wawancara Februari 2020 bicara soal prioritas kerjanya. “Periode pertama saya fokus di infrastruktur, periode kedua kita fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Mungkin nanti setelah itu lingkungan, inovasi, kemudian HAM. Kenapa tidak? Tidak bisa semua dikerjakan, bukan tidak mau, tapi saya memang senang k

Beberapa bulan setelah itu, presiden benar-benar menunjukkan aspek mana yang menjadi ‘prioritas’nya. Tak lama revisi Undang-undang Mineral dan Batubara hadir, lalu lanjut dengan Undang-undang Cipta Kerja dengan substansi condong pada kepentingan investasi namun mengabaikan aspek lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).

Setidaknyam  ada 16 pemohon yang mengajukan permohonan pengujian UU Cipta Kerja yang dibuat serampangan oleh pemerintah bersama DPR itu. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan satu permohonan dan menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dalam uji formil sebagaimana termuat dalam putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020. Melalui putusan itu, MK menyatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja melanggar konstitusi karena metode pembentukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pembentukan UU itu juga dinilai tak melibatkan partisipasi bermakna masyarakat. MK memerintahkan para pembentuk Undang-undang membahas kembali Undang-undang Cipta Kerja dengan taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dengan mengedepankan transparansi, dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Mahkamah memberi tenggat waktu perbaikan selama dua tahun hingga November 2023.

 

 

Hutan dengan tutupan lebat dan air sungai mengalir di dalamnya, jadi incaran berbagai kepentingan, antara lain, pembangkit listrik tenaga air. Ada UU Cipta Kerja, kondisi hutan  Indonesia, makin terancam. Foto: Tonggo Simangungsong/ Mongabay Indonesia

 

Siasat akali putusan Mahkamah Konstitusi

Alih-alih memenuhi perintah putusan MK, para pembentuk Undang-undang malah berusaha melegitimasi UU Cipta Kerja yang cacat formil itu dengan merevisi Undang-undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan demi mengakomodasi terminologi omnibus law.

Beberapa bulan menjelang akhir tenggat waktu, pemerintah menjawab putusan mahkamah dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Dari sini kita melihat, prosedur perbaikan yang dijalankan pemerintah tampaknya tidak pernah sesuai perintah MK. Lain perintah, lain pula yang dikerjakan.

Dari sisi substansi, Perppu Cipta Kerja juga tak banyak berbeda dengan UU Cipta Kerja. Perppu hanya menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup. Antara lain, pertama, Perppu Cipta Kerja mengadopsi UU Ciptaker yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan yang menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat (yang sebelumnya diatur dalam UU Kehutanan).

Sebelum dipangkas melalui UU Cipta Kerja, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. UU Cipta Kerja–yang kini dilanjutkan dalam bentuk perppu– menghapus ketentuan itu.

Kedua, Perppu Cipta Kerja juga mempertahankan aturan dalam UU Cipta Kerja yang memangkas hak masyarakat dalam penyusunan amdal, dengan hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan amdal.

Ketiga, pasal ‘pemutihan’ atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga dipertahankan. Baik UU maupun Perppu Ciptaker tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tak memiliki izin. UU Ciptaker memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun, perppu spesifik memberi batas waktu sampai dengan 2 November 2023.

Ironisnya, perubahan iklim jadi salah satu konsideran dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. Padahal,  substansi perppu memuat pasal-pasal yang berbahaya bagi lingkungan hidup. Sudah barang tentu hal ini merupakan pengelabuan dalam memaksakan kegentingan. Langkah pemerintah menjawab putusan MK dengan Perppu Cipta Kerja merupakan siasat negara mengakali putusan mahkamah. Melanjutkan pembangkangan yang dilakukan sebelumnya dengan mengeluarkan UU 13/2022 tentang Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk menutupi kesalahan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.

 

Koalisi Masyarakat Bengkulu menolak adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa, 8 September 2020. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Deregulasi dan regulatory capture

Apa yang dilakukan pemerintah melalui Undang-undang Cipta Kerja dapat dilihat sebagai tahapan deregulasi. Guy Peters (1995) menyebut,  deregulasi bertujuan memangkas atau menghapus aturan yang menghambat aktivitas ekonomi ataupun gerak birokrasi.

Deregulasi berangkat dari persoalan terlampau banyaknya peraturan yang menjadi penghambat dalam percepatan layanan administrasi atau dalam organisasi pemerintah bergerak. Terlampau banyak peraturan diasumsikan membatasi gerak organisasi. Deregulasi, lebih lanjut Peters menyebutkan, memiliki titik tekan pada perangkat peraturan, hingga aturan-aturan yang diidentifikasi menghambat gerak atau membuat organisasi atau birokrasi menjadi tidak efektif harus dipangkas atau diperbaharui.

Kalau melihat dalam konteks UU Cipta Kerja, pasal-pasal yang banyak dipangkas adalah yang berkaitan dengan instrumen perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat. Dari sini, kita dapat menyimpulkan negara menganggap kedua hal itu sebagai hambatan dalam aktivitas ekonomi.

Padahal,  seharusnya dalam tahapan deregulasi, merujuk pada yang disampaikan Erwin P. Geiger dalam bukunya yang berjudul Privatization and Deregulation of Agribusiness, sebagai “The Principle of Exception”, ada pengecualian-pengecualian dalam penghapusan peraturan sebuah produk. Artinya, hal-hal ini tidak boleh dihapuskan dalam proses deregulasi, antara lain, perlindungan terhadap kesehatan manusia protection of human health (food controls), keamanan dan keselamatan publik ( public safety and security),  perlindungan lingkungan (environmental protection), dan penguatan standar kualitas (enforcing quality standards).

Dalam kasus-kasus tertentu, hal ini dapat berarti,  peraturan jadi lebih kuat karena perhatian terhadap masalah lingkungan hidup meningkat atau karena efek merusak kesehatan dari zat tertentu, misal, tembakau, jadi lebih jelas karena peraturan terkait mempertahankannya.

Dengan riwayat yang tampak sistematis sebagaimana terurai di atas, rasanya sulit sekali tidak mengatakan kalau produk hukum yang dibuat karena ada tekanan dari pihak atau kelompok bisnis di Indonesia. Yang menginginkan kemudahan izin dan menghilangkan instrumen perlindungan lingkungan dan hak asasi yang ‘merepotkan’ bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan.

Hal ini dapat dilihat dengan pendekatan teori regulatory capture yang menurut George Stigler, sebagai aturan, regulasi diperoleh oleh industri dan dirancang serta dioperasikan terutama untuk keuntungan industri.

Merujuk UU Cipta Kerja, keberadaan pasal maupun penghapusan pasal-pasal yang menjadi peluang mempermudah dan meningkatkan iklim usaha, namun justru merugikan publik dan lingkungan hidup dapat dikatakan sebagai hasil dari upaya kelompok bisnis melobi ataupun menekan pengambil kebijakan. Dalam upaya minimal, kelompok bisnis ini menjalankan pengaruhnya melalui lobi atau pun tekanan demi memastikan kebijakan pemerintah setidaknya tak akan menimbulkan kerugian bagi kelompoknya.

Keadaan ini juga menjadi bagian dari kepentingan antara politisi dengan pebisnis, yang disebut Stigler bahwa politisi sebagai pemasok regulasi potensial yang mengejar tujuan sendiri, diantara lain, keinginan untuk meningkatkan kekuasaan. Demi mendapatkan kekuasaan, juga perlu modal besar.

Kehadiran Perppu Cipta Kerja sukses melengkapi daruratnya perlindungan lingkungan hidup dan HAM. Kita sungguh berharap presiden mendengar riuh kritik masyarakat lalu membatalkan perppu ini bila ingin memberikan warisan yang baik di akhir pemerintahannya.

 

******** 

 

*Penulis, Andi Muttaqien adalah Deputi Direktur Satya Bumi. Satya Bumi adalah organisasi kampanye lingkungan yang mengambil langkah advokasi untuk melindungi hutan Indonesia dan ekosistem alam yang vital dengan mendorong penghormatan dan perlindungan HAM. Tulisan ini adalah opini penulis.

Exit mobile version