Mongabay.co.id

Abrasi yang Makin Mengancam Pesisir Bangka Belitung

 

 

Daunnya terlihat hijau, sementara sebagian akarnya mencengkram pasir pantai yang dipenuhi sampah. Ini gambaran sebatang pohon bakau [Rhizopora spp.] di sekitar pesisir Tuing, utara Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

“Mangrove berfungsi sebagai benteng abrasi, jika sudah dewasa [diameter 15 sentimeter], serta memiliki ketebalan sekitar 200 meter dari daratan,” kata Arthur M. Farhaby, peneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [04/01/2023].

Di sepanjang Pantai tanah Merah, pesisir timur Kabupaten Bangka Tengah, mangrove yang tidak berfungsi maksimal, menyebabkan terkikisnya tebing dan tanjung yang tersusun dari batuan berusia jutaan tahun.

“Sejak tahun 2000-an, mangrove di sini makin menipis, sehingga gelombang mulai mengikis tebing dan mengakibatkan longsor,” kata Banir [40], warga Dusun Tanah merah, Kamis [05/01/2023].

Batu yang ditunjuk Banir adalah sebongkah batu granit, yang terpisah 10 meter dari daratan.

“Abrasi juga akan mengancam kebun lada, cengkih, di sekitar tanjung di Dusun Tanah Merah,” kata Rosyanto [49], yang kebunnya kini berjarak 20 meter dari pantai.

Berdasarkan penelitian berjudul “Evaluasi Perubahan Garis Pantai Pesisir Timur Bangka Menggunakan Metode Digital Shoreline Analysis System”, oleh Yogi Cahyo Ginanjar, Yonvitner dan I Wayan Nurjaya, dalam 20 tahun [2001-2020], jarak pergeseran garis pantai ke arah darat [abrasi] di pesisir timur Bangka dengan metode End Point Rate [EPR], berkisar antara 0,00 hingga -34,07 meter per tahun. Sedangkan dengan metode Net Shoreline Movement [NSM] berkisar 0,00 hingga -647,26 meter per tahun.

Penelitian tersebut dilakukan pada garis pantai sepanjang 175,42 kilometer. Wilayah penelitian mencakup 34 desa di pesisir timur Bangka [termasuk Dusun Tanah Merah]. Mulai Desa Lubuk Besar [Selatan Bangka] hingga Desa Deniang yang berbatasan dengan pesisir Tuing di Utara Pulau Bangka.

Baca: Mangrove, Harapan Utama Masyarakat Pesisir Timur Pulau Bangka

 

Pohon bakau tersisa di sekitar pesisir Tuing, utara Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Banjir rob

Berdasarkan data BPS 2017, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki 309 desa dan 82 kelurahan. Dikutip dari situs resmi babelprov.go.id, sekitar 40 persen desa atau kelurahan berada di tepi laut.

Dikutip dari bangka.tribunnews.com, berdasarkan data BPBD Kepulauan Bangka Belitung, banjir rob tahun 2021 tercatat sebagai bencana terparah dalam lima tahun terakhir. Banjir rob setinggi 10-70 sentimeter ini merendam 2.213 rumah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Kejadian serupa terulang pada 2022. Berdasarkan data BPBD Kepulauan Bangka Belitung yang diperoleh Mongabay Indonesia, sebanyak 1.058 jiwa terdampak banjir rob, mulai dari Kabupaten Belitung Timur [246 jiwa], Bangka Barat [570 jiwa], dan Bangka Tengah [42 jiwa].

“Banjir rob banyak terjadi Juni-Agustus dan Desember-Februari,” kata Mikron Antariksa, Kepala BPBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu [07/01/2023].

Dr. Roby Hambali, peneliti hidrologi sekaligus dosen jurusan Teknik Sipil di Universitas Bangka Belitung, mengatakan, banjir tidak hanya disebabkan alam. Aktivitas antropogenik dapat mempercepat atau memperparah banjir.

Khusus di Bangka Belitung, skenario terburuk pernah terjadi pada 2016. Hujan ekstrim terjadi bersamaan dengan pasang air laut tinggi. Efek air balik [back water] menyebabkan kenaikan  muka air sungai cukup signifikan dan meluap.

“Jika mengacu skenario global [IPCC 2022], diproyeksikan muka air laut naik sekitar 4,3 milimeter per tahun. Banjir di Bangka Belitung dapat lebih parah ke depannya, jika tidak ada upaya pencegahan,” ujarnya.

Baca: Mangrove dan Potensi Karbon di Pulau-pulau Kecil Bangka Belitung

 

Di Pantai Tanah Merah, abrasi mulai menggerus tebing batu granit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mangrove sulit tumbuh

Roby Hambali melanjutkan, untuk mengatasi abrasi bisa menggunakan talud, sedangkan banjir rob dengan membuat tanggul di sepanjang badan sungai.

“Namun, penanganan tidak bisa struktural saja, semuanya sementara. Akan lebih baik jika dicegah dengan tanaman pantai seperti mangrove dan sejenisnya,” ujarnya.

Dikutip dari bangka.tribunnews.com, hingga tahun 2024, BRGM menargetkan rehabilitasi mangrove seluas 80.762 hektar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2021, penanaman terealisasi seluas 3.900 hektar.

Disisi lain, berdasarkan dokumen IKPLHD Bangka Belitung 2021, luasan hutan mangrove primer di Kepulauan Bangka Belitung mengalami degradasi, dari 33.647,09 [2019] menjadi 22.789,09 [2020].

Penelitian Navisa Savira, Agus Hartoko dan Wahyu Adi, berjudul “Perubahan Luasan Mangrove Pesisir Timur Kabupaten Bangka Tengah Menggunakan Citra Satelit  ASTER”, menyatakan, meskipun telah dilakukan penanaman 1.000 mangrove dengan luas lahan 249,750 hektar di sekitar lokasi penelitian, pengurangan mangrove tetap terjadi.

“Laju perusakan tidak seimbang gerakan reboisasi hutan dan lahan,” tulis penelitian di Jurnal Akuatik Sumberdaya Pesisir UBB 2018 itu.

Baca juga: Kisah Para Dukun yang Menjaga Hutan Tersisa di Pulau Bangka

 

Gelombang laut yang mulai menggerus jalan, hingga merendam sejumlah desa di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Arthur M. Farhaby, tekanan terhadap mangrove di Bangka Belitung didominasi pembangunan tidak ramah lingkungan dan tambang ilegal. Dampak langsungnya, lahan yang terbuka menyebabkan kerapatan mangrove menurun, sementara dampak tidak langsung, adanya dieback yang menyerang jenis Sonneratia, Rhizophora, di wilayah tersebut.

“Secara kasat mata, jenis mangrove itu terlihat sekarat [atau mati]. Faktor pemicu adalah tingginya sedimentasi yang masuk ke area mangrove, sehingga menutupi sebagian besar akar napas,” jelasnya.

Roby Hambali mengatakan, selain mengancam mangrove, penambangan timah di pesisir jelas berpengaruh terhadap abrasi.

“Pasir atau tanah dari tebing terus terkikis. Sementara, tambang timah atau tambang pasir yang menyedot pasir pada lokasi tertentu di depan kawasan pesisir menyebabkan lubang-lubang itu diisi pasir dari lokasi lain sesuai arus yang membawanya.”

Kasus Pulau Nipah di Provinsi Kepulauan Riau beberapa tahun yang lalu contohnya. “Penambangan pasir untuk keperluan reklamasi Singapura, menyebabkan pulau itu terancam tenggelam.”

 

Aktivitas penambangan lepas pantai ikut memperparah abrasi di pesisir timur Bangka Belitung. Foto drone: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

M. Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari UBB, mengatakan, terumbu karang dapat membelokkan serta meredam energi gelombang, sehingga mengurangi abrasi. Namun, sebaliknya, jika abrasi sudah berlangsung, sedimen akan lebih mudah masuk ke laut, menyebabkan rusaknya karang.

“Hal ini diperparah dengan lubang-lubang yang diciptakan ponton isap produksi, mengakibatkan arus berubah. Arus ini juga membawa sedimen ke ekosistem karang, mengendap yang menyebabkan karang rusak.”

Bangka Belitung merupakan satu dari delapan provinsi kepulauan di Indonesia.

“Hidup harmonis dengan laut bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan bagi masyarakatnya,” tegasnya.

 

Exit mobile version