Mongabay.co.id

Mampu Serap Karbon, Peneliti: Jangan Jadikan Paus sebagai Objek Biokredit!

 

Kemampuan paus dalam menyerap CO2 membuatnya berpotensi dijadikan sebagai objek biokredit karbon. Sejumlah peneliti menilai, wacana tersebut dibuat tanpa landasan ilmiah yang memadai. Pandangan itu disampaikan ketika mereka mempublikasi makalah ilmiah yang dimuat dalam jurnal Trends in Ecology & Evolution, Kamis (15/12/2022).

Sejak hidup, paus telah memerangkap karbon dalam tubuh dan kotoran hasil pencernaannya. Ketika mati, karbon akan ikut tenggelam ke dasar laut dan terperangkap dalam bangkainya hingga jutaan tahun.

Heidi Pearson, Profesor Biologi Kelautan Universitas Alaska sekaligus penulis utama makalah itu, pada sebuah kolom di The Conversation sempat menuliskan bahwa salah satu studi awal untuk mengukur potensi vertebrata laut sebagai penyerap karbon diterbitkan pada tahun 2010.

Studi itu menggambarkan, 120.000 paus sperma sebelum era penangkapan paus dapat menangkap sekitar 2,2 juta ton karbon per tahun melalui kotorannya. Studi lain di tahun yang sama menghitung, 2,5 juta paus menahan hampir 210.000 ton karbon mati per tahun ke laut dalam. Jumlah tersebut setara dengan emisi karbon dari 150.000 mobil di jalanan setiap tahunnya.

Kemudian dalam jurnal Trends in Ecology & Evolution, para peneliti menerangkan, bagi hewan berumur panjang seperti paus, dengan rentang hidup antara 50 hingga 200 tahun, penyimpanan karbon dapat berlangsung selama beberapa dekade hingga abad.

Mereka memperkirakan, hilangnya satu paus biru seberat 92 ton akan menghasilkan cukup krill (hewan kecil menyerupai udang) untuk menghidupi 7 paus minke (Balaenoptera acutorostrata) atau 1.800 penguin Adelie (Pygoscelis adeliae). Namun, paus minke disebut hanya memiliki 50% biomassa paus biru, sedangkan penguin hanya 8%.

“Ukuran paus yang luar biasa besar berarti, mereka berinteraksi dengan siklus karbon dengan cara yang unik,” demikian tulis para peneliti.

baca : Ini 9 Fakta Unik Paus, Hewan Penyerap Karbon Terbesar Dunia

 

Jalur daur nutrisi dan karbon paus besar secara langsung dan tidak langsung. Sumber : Heidi C. Pearson, dkk

 

Kotoran paus, secara tidak langsung, juga berkontribusi dalam penyerapan karbon. Feses yang dihasilkannya memberi konsentrasi nutrisi hingga tujuh kali lipat lebih tinggi dari air laut dan bertahan di permukaan, serta merangsang pertumbuhan fitoplantkon. Dampaknya, nutrisi yang larut merangsang penyerapan karbon oleh fitoplankton dan meningkatkan produktivitas ekosistem.

Sementara, ketika paus mati, bangkainya akan menjebak karbon dalam tubuh yang kaya protein dan kokoh, dan terkubur dalam sedimen selama jutaan tahun.

Meski demikian, mereka menganggap masih terdapat kesenjangan pengetahuan yang harus ditangani pembuat kebijakan dalam strategi konservasi paus sebagai bagian kebijakan iklim. Untuk mencapai itu, diperlukan kolaborasi antar disiplin ilmu.

“Mencapai tujuan ini akan membutuhkan kolaborasi interdisipliner antara ahli ekologi kelautan, biogeokimia, pemodel siklus karbon dan ekonom,” demikian tulis para peneliti.

 

Wacana Biokredit Paus

Dana Moneter Internasional (IMF), pada Desember 2019, merilis pandangan yang dipublikasi dalam artikel bertajuk “A Strategy to Protect Whales Can Limit Greenhouse Gases and Global Warming”. Dalam publikasi itu, para penulis mengkonversi perilaku harian paus menjadi satuan dolar Amerika.

Untuk seekor paus besar, IMF memperkirakan nilai rata-rata dikisaran $2 juta. Sedangkan, untuk seluruh populasi, jumlahnya mencapai $1 triliun.

Angka itu disebut sebagai hasil perkiraan ilmiah antara kemampuan paus dalam menyerap karbon, harga pasar karbon dioksida dan teknik diskon keuangan. Serta, nilai kontribusi ekonomi paus dalam peningkatan perikanan dan ekowisata selama hidupnya.

Dengan nilai rata-rata dikisaran $2 juta, itu berarti, setiap orang dibebani setidaknya $13 untuk membiayai konservasi paus. Uang tersebut diharapkan dapat membantu peningkatan populasi mamalia laut ini kembali ke jumlah sebelum era perburuan.

Saat ini, populasi paus diperkirakan tersisa 1,3 juta di seluruh dunia. Jika bisa meningkat di angka 4 hingga 5 juta ekor, populasi itu diperkirakan akan berkontribusi menangkap 1,7 miliar ton CO2 setiap tahunnya.

“Bahkan, peningkatan 1% produktivitas fitoplankton berkat aktivitas paus akan menangkap ratusan juta ton CO2 per tahun, atau setara dengan kemampuan 2 miliar pohon dewasa. Bayangkan, dampaknya terhadap umur paus yang rata-rata lebih dari 60 tahun,” demikian sebut publikasi yang dipimpin Ralph Chami, Asisten Direktur Institut Pengembangan Kapasitas IMF.

Ancaman yang dihadapi paus akibat sejumlah aktivitas manusia membuat monetisasi paus juga ditujukan untuk mensubsidi atau mengkompensasi individu dan kelompok (termasuk negara dan korporasi) yang mengancam keberlanjutan mamalia laut penyerap karbon tersebut.

Contohnya, demikian tertulis dalam publikasi IMF, perusahaan pelayaran diberi kompensasi karena perubahan rute untuk menghindari risiko tabrakan dengan paus. Wacana monetisasi juga diarahkan sebagai denda bagi pemburu dan pembunuh paus.

“Misalnya, sebuah kapal yang menyerang dan membunuh paus biru di lepas pantai Brazil, harus didenda sebesar nilai penuh paus tersebut, atau $3,6 juta,” tulis Chami dikutip dari Bloomberg.

 

Minim Data Saintifik

Wacana monetisasi paus itu kemudian mendorong sejumlah peneliti merilis makalah ilmiah berjudul Whales in the Carbon Cycle: Can Recovery Remove Carbon Dioxide?, Kamis (15/12/2022). Makalah itu dirilis ketika perwakilan dari 191 negara bertemu pada COP15 untuk keanekaragaman hayati di Montreal, 7-19 Desember 2022.

Meski diketahui punya kemampuan menyerap karbon di sepanjang hidupnya, juga masih adanya ancaman yang mengintai paus, para peneliti menilai kurangnya data saintifik menimbulkan perdebatan menyangkut teknis perlindungan mamalia laut ini.

“Kami menilai, upaya memonetisasi paus dengan nilai rata-rata $2 juta untuk penangkapan karbon dan layanan lainnya, kurang didukung penilaian ilmiah,” tulis para peneliti.

menarik dibaca : Paus Biru Ditangkap dan Dikonsumsi Warga Lamakera. Kenapa Masih Terjadi?

 

Paus bungkuk terpantau di laut lepas. Foto: Wikimedia Commons/Whit Welles/CC BY 3.0

 

Argumentasi Chami dan rekan-rekannya terkait peran paus dalam meningkatkan 1% produktivitas fitoplantkton yang kemudian mengurung ratusan juta ton CO2 per tahun, dituding tidak memiliki pijakan empiris yang jelas.

Mereka menilai, efisiensi penyimpanan karbon bervariasi sesuai lokasi. Sehingga proses penyerapan karbon (carbon dioxide removal/CDR) yang dihasilkan dari stimulasi paus terhadap produksi fitoplankton dapat berkurang hingga 100 kali lipat.

Agar layak untuk strategi CDR, penghilangan karbon paus harus terukur dan berjangka panjang serupa dengan standar karbon terverifikasi di darat.

“Nilai moneter yang baru-baru ini diusulkan tidak boleh diterapkan dalam CDR atau strategi kebijakan lainnya sebelum adanya dokumentasi ilmiah semacam itu,” kata mereka.

Peran paus sebagai penyerap karbon diyakini hanya akan terwujud melalui intervensi konservasi yang secara langsung mendorong peningkatan populasi. Para peneliti percaya, intervensi semacam itu sebagai strategi rendah penyesalan, minim risiko, berjangka waktu panjang dan lebih efisien ketimbang solusi geoengineering.

Global Justice Ecology Project (GJEP) dalam sebuah laporan menyatakan, biokredit paus sebagai solusi palsu. Menurut mereka, kompensasi bagi para pembunuh paus tidak akan menghentikan kejahatan mereka dan malah mempercepat proses kepunahan vertebrata laut ini.

“Para promotor karbon offsets ingin anda membayar pembunuh paus, sehingga paus dapat digunakan sebagai penyeimbang karbon. Meskipun para pembunuh itu mencemari laut dan menyebabkan perubahan iklim, yang pada gilirannya akan membunuh paus,” demikian tulis GJEP. “Membayar mereka yang membunuh paus adalah insentif yang salah, dan akan membunuh lebih banyak paus untuk mendapatkan bayaran lebih.”

Ralph Chami, Asisten Direktur Institut Pengembangan Kapasitas IMF, memahami kekhawatiran para ilmuwan. Namun, menurutnya, krisis iklim menuntut tindakan seperti beralih dari fokus pada dampak lokal ke kebijakan dan pembiayaan iklim yang lebih luas.

Dalam kasus paus, mereka menggunakan perkiraan minimum dan tetap memberi rentang ketidakpastian, seperti yang dilakukan untuk produk maupun investasi lainnya.

“Kami tidak punya waktu untuk melakukannya 100% benar, kecuali kami bersedia menyaksikan secara diam-diam kematian, tidak hanya paus, tapi keberadaan kami sendiri,” pungkas Chami dikutip dari Bloomberg.

 

Exit mobile version