Mongabay.co.id

Ketika Konflik Lahan Terus Meluas, Reforma Agraria Gagal?

 

 

 

 

Puluhan laki-laki dan perempuan sebagian besar usia sudah lebih paruh baya menaiki bus dari Riau ke Jakarta, pada penghujung Oktober lalu. Mereka datang bukan untuk berwisata ke ibu kota Jakarta, tetapi ingin mengadukan nasib karena ruang hidup yang hilang. Puluhan tahun sudah, Masyarakat Adat Pantai Raja berkonflik lahan dengan perusahaan negara, PTPN V.

Masyarakat adat pun menuntut pengembalian lahan. Bertahun-tahun mereka berjuang peroleh lahan dari aksi di daerah, mediasi di Komisi II DPRD Riau, sampai datang berbagai kementerian dan Lembaga di Jakarta, seperti ke Kantor Staf Presiden, bertemu Menteri ATR BPN, Hadi Tjahjanto maupun aksi di depan Kementerian BUMN. Hingga kini belum ada kejelasan.

Konflik lahan warga dengan PTPN V di Riau hanyalah satu dari begitu banyak kasus agraria yang terjadi sepanjang 2022 di 34 provinsi. Ada ratusan ribu keluarga terdampak konflik agrarian dengan korporasi maupun negara.

 

 

Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2022, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, setidaknya ada 212 letusan konflik. Meski secara jumlah mengalami penambahan lima kasus dibandingkan 2021, namun penyelesaian mengalami stagnasi dan konflik cenderung meluas.

“Dari sisi luasan wilayah yang terdampak naik drastis hingga 100% dan jumlah korban terdampak,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, dalam konferensi pers, awal Januari lalu.

Luasan konflik pada 2021 sebesar 50.062 hektar naik menjadi 1.035.612 hektar pada 2022. Luasan ini berkorelasi juga dengan korban yang terdampak 346.402 keluarga atau sekitar lebih dari 1 juta jiwa yang  menjadi korban—jika asumsi satu keluarga empat orang.

“Delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo ternyata baik pemerintah pusat maupun daerah tidak serius dalam menyelesaikan konflik agraria,” katanya.

 

Konflik lahan puluhan tahun antara warga adat Pantai Raja dan perusahaan sawit negara, PTPN V tak kunjung usai. Warga protes dan menduduki kembali lahan adat mereka yang kini sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: dokumen warga

 

KPA menilai, salah satu pemicu konflik lahan meluas karena investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan monokultur yang melakukan praktik perampasan tanah dan penggusuran masyarakat.Selain itu,  banyak HGU terbit di atas perkampungan dan wilayah adat.

Tahun 2022, sektor perkebunan menjadi penyebab konflik agraria tertinggi bahkan sejak satu dekade terakhir. Pada 2022, KPA mencatat,  ada 99 kasus agraria di sektor perkebunan dengan luasan 377.197 hektar dan korban 141.001 keluarga.

“Dari total 99 letusan konflik di sektor perkebunan, 80 terjadi di perkebunan sawit,” katanya.

Sedangkan, teh, kelapa, kakao dan karet menyumbang masing-masing empat konflik. Perkebunan kopi dan tebu ada satu kasus.

Selain perkebunan, pembangunan infrastruktur pada 2022 ada 32 kasus. Proyek berlabel strategis nasional banyak munculkan konflik, seperti pembangunan Bendungan Bener, tol Demak-Semarang (Jawa Tengah), proyek ibukota negara beserta proyek infrastruktur penunjangnya seperti Tol Balikpapan-Samarinda dan Bendungan Sepaku Semoi (Kalimantan).

Ada juga Waduk Lambo (NTT), bendungan di Gorontalo dan lain-lain. Sisanya,  konflik agraria berbasis lahan karena sektor kehutanan (20 kasus), pertambangan (21 kasus) dan properti (26 kasus).

Dewi mengatakan, hingga kini masih belum ada perubahan signifikan dari pemerintah, pusat maupun daerah dalam upaya penanganan dan penyelesaian konflik agraria yang terjadi. “(Penanganannya) masih lemah dan lambat dalam upaya pencegahan sebelum konflik dan kekerasan agraria meledak ke permukaan.”

 

 

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

Adapun lima provinsi penyumbang konflik agraria tertinggi di Sumatera Utara (22 konflik), Jawa Barat (25), Kalimantan Barat (13), Jawa Timur (13), dan Sulawesi Selatan (12). Sedangkan provinsi dengan luasan konflik terluas berada di Sumut (215.404 hektar), Kalimantan Barat (161.262 hektar), Kalimantan Timur (128.249 hektar), Sulawesi Tengah (108.125 hektar) dan Jambi (79.334 hektar).

Komnas HAM pun mancatat, konflik agraria menjadi kasus paling banyak diadukan. Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM mengatakan, laporan konflik banyak karena kebijakan dan tata kelola agraria. “Ini artinya seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah tak sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia,” katanya.

 

 

Kasus yang diadukan ke Komnas HAM antara lain, pembunuhan, intimidasi, kekerasan fisik, perampasan lahan, dan lain-lain.

Konflik agraria, katanya,  akan jadi prioritas kerja Komnas HAM periode 2022-2027 ini. KKasus agrarian ini isu komplek karena menyangkut kesejahteraan masyarakat, budaya dan sosial dan lain-lain.

Sebelumnya, Komnas HAM juga sudah berupaya meminimalisir konflik agraria melalui regulasi Standar dan Pengaturan Nomor 7 tentang Hak Atas Tanah dan Sumberdaya Alam.

 

Aktivitas pertambangan membabat hutan dan ruang hidup Orang Tobelo Dalam. Masyarakat di Halmahera protes. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Penyelesaian kasus naik?

Sementara Bambang Supriyanto,  Direktur Jenderal Perhutanan Sosial,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim, penyelesaian konflik di lingkup KLHK meningkat dibandingkan tahun lalu. “Untuk penanganan konflik 2022, ada 95 kasus  yang terselesaikan, naik dari 2021 (87 kasus),” katanya dalam acara Refleksi Akhir Tahun KLHK.

Mereka menangani penyelesaian konflik sekitar 31% (324 kasus) dari total pengaduan konflik lahan yang masuk di KLHK dari 2015-2022, sebanyak 1.051 kasus.

Andi Tenrisau, Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengatakan, guna mencegah konflik agraria, mereka mendorong setiap pemerintah daerah membuat daerah rencana detail tata ruang (RDTR). “Tidak semua kabupaten atau kota memiliki rencana detail tata ruang itu,” katanya.

Dokumen itu, menjadi landasan perencanaan dan pemetaan pemanfaatan ruang. Kalau RDTR belum ada, setidaknya ada rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai pedoman pemanfaatan ruang.

 

Tak tesentuh

Bicara konflik lahan, KPA menilai, yang melibatkan PTPN seakan tidak tersentuh dan mengalami tren peningkatan. Penyebab konflik berkepanjangan juga karena penguasaan konsesi oleh negara yang tumpang tindih dengan tanah garapan dan perkampungan rakyat.

“Pada 2022, perusahaan pelat merah, utamanya PTPN dan Perhutani menyebabkan konflik dan kekerasan di lapangan. BUMN gagal menyelesaikan konflik agraria,” kata Dewi.

Berdasarkan data KPA, dari 14 PTPN, delapan menyebabkan konflik. PTPN XIV menyebabkan letusan paling banyak, ada lima kasus. Hingga kini, ada 21 konflik seluas 50.236 hektar terjadi di PTPN.

 

 

Sepanjang periode kedua Pemerintahan Joko Widodo, kata Dewi, letusan konflik terus memperlihatkan trend kenaikan. Pada 2020,  ada 12 kasus, 2021 (15) dan 2022 (21). Bahkan pada 2022, ada 44 kasus kekerasan dan kriminalisasi hingga korban tewas. Tim Reforma Agraria Kantor Staf Presiden pun mencatat,  pengaduan 223 kasus pertanahan yang melibatkan PTPN.

Penggunaan kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dalam satu tahun terakhir, menurut Dewi, seakan jadi sesuatu yang dilembagakan negara. “Setiap perampasan lahan masyarakat malah mendapat pengawalan dari aparat.”

Pada 2022, ada 73 konflik agraria disertai tindakan kekerasan oleh polisi, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja, maupun petugas pengamanan perusahaan. Kriminalisasi terhadap masyarakat pun meningkat tajam, ada 497 orang. Jumlah ini naik drastis dibandingkan kasus kriminalisasi sepanjang 2020 dan 2021 sebanyak 270 orang.

Atnike mengatakan, aduan tentang konflik agraria yang terbanyak kedua setelah kekerasan aparat. “Sangat mungkin kekerasan itu juga berhubungan dengan masalah pertanahan.”

Dia memastikan, Komnas HAM akan melakukan kewenangan untuk mencegah pelanggaran HAM berlanjut. “Kami juga membentuk satuan tugas khusus untuk memantau persoalan ini,”  katanya.

Dewi menilai,  penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah mandek bukan terletak pada kekurangan regulasi namun belum ada keinginan baik dari pemerintah. “Realitas  agraria saat ini patut menjadi alarm darurat agraria.”

Agus Widjayanto,  Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, mengatakan, penanganan masalah agraria selama ini oleh Direktorat Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Tim itu menangani masalah, sengketa dan konflik pertanahan.

Aduan konflik pertanahan, katanya, tidak sebanyak perkara pertanahan dan sengketa pertanahan. “Meski jumlah kasus sedikit, konflik pertanahan justru penanganan memerlukan waktu cukup panjang dan rumit.”

Masalah ini, katanya, menyangkut dimensi luas, melibatkan kementerian lembaga, hukum administrasi, tata usaha negara, perdata, pidana bahkan hukum internasional.

Agus bilang, KATR/BPN berkomitmen mendorong penyelesaian konflik agraria. Kementerian ini membentuk satuan tugas yang melibatkan organisasi non-pemerintah, termasuk KPA.

 

Milka Hamaela, warga Marena, sedang menjemur biji kakao. Dia merasa setelah ada rumah dan lahan berkebun sendiri, hidup lebih baik dari sebelumnya, walaupun masih banyak masalah, seperti kakao kena hama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Masih bermasalah

KPA menilai, letusan konflik agraria antara masyarakat dengan korporasi itu sebagai bukti reforma agraria belum berhasil menjawab ketimpangan penguasaan lahan selama ini.

“Pembagian sertifikat tidak buruk. Tapi kalau itu diikutkan sebagai reforma agraria akan jadi salah kaprah,” ujar Dewi.

Konflik agraria tinggi di sektor perkebunan dan bisnis sawit, menurut KPA,  merupakan persoalan klasik yang tak kunjung terpecahkan oleh pemerintah. “Bisnis sawit juga menjadi cerminan bagaimana prosedural dan praktik perkebunan itu sarat dengan pelanggaran-pelanggaran.”

Dia sebutkan beberapa persoalan, seperti, lahan perkebunan monokultur berasal dari perampasan tanah tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, dan pengadaan lahan dari tukar-guling kawasan hutan. Juga, operasi tanpa sosialisasi dan persetujuan melalui free prior informed consent (FPIC), problem kemitraan yang tidak berkeadilan dirasakan petani atau pekebun plasma.

Presiden Jokowi pun mendorong reforma agraria melalui Peraturan Presiden Nomor 86/2018. Sayangnya, capaian masih jauh dari harapan.

Data Kementerian Koordinator Perekonomian pada November 2022, program legalisasi aset melalui sertifikasi tanah lebih dari 100% dari target 4,5 juta hektar. Namun, realisasi redistribusi tanah baru 33,24% dari target 4,5 juta hektar.

Iwan Nurdin, majelis pakar KPA  mengatakan, masalah pertanahan karena keterbukaan dalam tata kelola hak guna usaha (HGU).

“Masih banyak konflik di lahan yang diklaim ber-HGU, jadi ini menunjukkan kalau ada yang salah sejak awal dalam pemberian HGU itu,” katanya.

Selama ini, katanya,  penerbitan dan perpanjangan HGU tak pernah transparan hingga menyebabkan hak atas tanah dijamin tak ada konflik.

 

Tuntutan Masyarakat Adat Pantai Raja saat aksi di Jakarta, akhir Oktober lalu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

********

 

Exit mobile version