Mongabay.co.id

Ribuan Nelayan dan Pelaku Usaha Perikanan  Demo di Cilacap, Belum Ada Hasil Pasti, KKP Bakal Disambangi

 

Siang yang panas pada Kamis (19/1/2023) tidak menyurutkan niat ribuan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) untuk mengadakan unjuk rasa. Mereka menuntut agar Peraturan Pemerintah (PP) No. 85 tahun 2021 yang memberatkan nelayan dicabut. PP tersebut mengenai Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Mereka datang dari berbagai kelompok nelayan. Lokasi pertama yang menjadi tempat demo adalah depan Kantor Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Cilacap yang berdekatan pesisir pantai. Di lokasi setempat, lebih dari 1.000 nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap menggelar orasi.

Koordinator aksi Sugiyamin menegaskan bahwa kehadiran PP No. 85 tahun 2021 ternyata semakin tidak membuat sejahtera nelayan. PP tersebut malah kian menekan kehidupan nelayan. Mengapa demikian? Karena ada beberapa tarikan yang sangat memberatkan. “Pada prinsipnya adalah dua yakni pemberlakuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan biaya tambat labuh. Selain itu, juga ada denda 1.000 persen. Poin-poin penting dalam PP tersebut jelas-jelas memberatkan para nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap,”tegas Sugiyamin di sela-sela aksi.

Selain Sugiyamin, pengusaha perikanan Cilacap, Ahuan, mengatakan pemilik kapal sangat keberatan dengan berbagai pungutan yang ditarik. “Di antaranya adalah PNBP dan biaya tambat labuh atau parkir kapal. Kapal yang tidak beroperasi karena cuaca buruk tetap terkena pungutan. Jelas, hal semacam ini sangat memberatkan. Bagaimana mungkin kami akan menyejahterakan anak buah kapal (ABK),” ungkapnya.

baca : Polemik Cantrang : Akurasi Data Jadi Modal Utama Perikanan Terukur (6)

 

Demo nelayan yang berlangsung di depan Kantor DPRD Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Setelah berorasi di depan Kantor PPS Cilacap, massa kemudian bergerak melewati jalan protokol menuju ke Gedung DPRD Cilacap. Sebab, para pengunjuk rasa telah ditunggu untuk berdialog dengan Kepala PPS Cilacap Imas Masriah. Dialog langsung dipimpin oleh Ketua DPRD Cilacap Taufik Nurhidayat.

Dalam aturan yang baru menyebutkan sejmlah pasal yang memberatkan. Yakni tarikan biaya PNBP yang diambil sebesar 10% bagi kapal dengan berat di atas 60 gross tonnage (GT) dan 5% untuk kapal di bawah 60 GT. Selain itu juga ada biaya tambat yang mencapai Rp2 ribu dikalikan panjang kapal. Jelas hal itu memberatkan bagi pemilik kapal dan pelaku usaha perikanan.

Saat berdialog di Gedung DPRD Cilacap, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap Sarjono mengatakan bahwa masalah ini sebetulnya pernah dibahas dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. “Salah satu poin yang menjadi keberatan adalah PNBP yang mencapai 10%. Dengan adanya tarikan PNBP hingga 10% jelas sangat memberatkan. Kemudian kami mengusulkan supaya PNBP 5% saja,”katanya.

Namun, lanjut Sarjono, karena untuk mengubah PP membutuhkan waktu 5-6 bulan, maka ada cara lain. “Kesepakatannya adalah PNBP hanya 5%. Namun, jika mengubah dari 10% menjadi 5% membutuhkan waktu. Karena itu, diambil kesepakatan kalau harga ikan yang disiasati. Misalnya saja, harga patokan ikan sebenarnya Rp50 ribu, nantinya akan dilaporkan Rp25 ribu. Dengan demikian, secara otomatis tarikan PNBP setara dengan 5%. Ini kesepakatan pada saat kami berdalog,”ujarnya.

baca juga : Catatan Awal Tahun: Apakah Positif atau Negatif, Capaian PNBP Perikanan 2022?

 

Nelayan dan pelaku usaha perikanan saat berunjuk rasa di depan Kantor PPS Cilacap. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tuntutan lainnya adalah biaya tambat labuh. Menurutnya, biaya yang ditanggung para pemilik kapal sangat besar. “Bagaimana kalau kapal tidak melaut berbulan-bulan karena cuaca ekstrem? Hal-hal semacam ini harus menjadi pertimbangan. Jika tidak melaut dan terus ditarik biaya tambat labuh, tentu akan semakin merugi,”katanya.

Menurutnya, para pemilik kapal di pantura, biaya sandar hanya membayar Rp1,5 juta setiap bulannya untuk satu kapal seberat 100 grosston (GT). “Perhitungannya, dalam sebulan hanya ditarik tiga hari dengan per harinya Rp500 ribu. Ini karena menggunakan Perda Provinsi Jawa Tengah,”katanya.

Di tempat yang sama, Ketua KUD Mino Saroyo Cilacap Untung Jayanto juga mengatakan hal senada. “Di negara manapun memang ada tarikan semacam PNBP tersebut. Misalnya di Korea Selatan atau Jepang. Kami melihat di sana malah hanya 2% saja. Kalau di Indonesia sampai 10%, jelas-jelas sangat memberatkan,”kata Untung.

Kalau saja diteruskan, dampaknya bakal ke mana-mana. Jika tidak ada pengusaha kapal, maka tidak ada ABK. Tentu saja, ini juga bakal berpengaruh pada pelelangan di tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelola KUD Mino Saroyo. “Dampaknya bisa membuat KUD hancur juga. Inilah mengapa kami menolak aturan baru terkait dengan PNBP dan biaya tambat labuh,”tegasnya.

Sementara pelaku usaha perikanan tangkap Cilacap Supriyanto mengungkapkan biaya sandar atau tambat labuh hanya Rp4 ribu per hari per kapal pada saat aturan PP Nomor 75 Tahun 2015. Namun, setelah Agustus 2021 atau keluarnya PP PP Nomor 85 Tahun 2021, biaya tambat dihitung berdasarkan panjang kapal sehingga jika rata-rata panjang kapalnya 15 meter, biaya tambatnya bisa mencapai Rp30 ribu per hari.

Supriyanto menambahkan para pemilik kapal sudah mendapatkan tagihan cukup besar terkait dengan biaya tambat labuh. “Saya telah memegang data mengenai tarikan biaya tambat labuh yang besar. Padahal, kapal-kapal yang parkir tersebut tidak melaut cukup lama, sehingga tidak ada penghasilan sama sekali. Bahkan ada yang sampai Rp11 juta hingga Rp19 juta. Padahal, kapal tersebut tidak melaut,”ungkapnya.

baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan

 

Massa menuntut pencabutan PP No 85 tahun 2021. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala PPSC Imas Masriah saat menanggapi tuntutan nelayan mengatakan pihaknya  sebagai kepanjangan tangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) siap  menyampaikan aspirasi para pelaku usaha perikanan dan nelayan.

“Kalau untuk mengubah PP membutuhkan waktu cukup lama hingga 5-6 bulan. Maka yang dapat dilakukan adalah kebijakan yang tidak melanggar  aturan. Misalnya soal PNBP yang mencapai 10%. Aturannya belum bisa diubah, maka yang disiasati adalah harga acuan ikan. Bisa saja harga  ikan direndahkan. Misalnya kalau harga sebenarnya Rp50 ribu per kg,  namun nantinya yang dihitung Rp20 ribu atau Rp25 ribu. Ini jalan keluar sebelum ada perubahan PP,”jelasnya.

Mengenai biaya tambat labuh atau sandar, Imas mengakui kalau pelabuhan dengan kewenangan antara pemerintah pusat dan provinsi berbeda aturannya. Menurutnya, biaya tambat labuh di pantura, pengelolanya adalah Pemprov Jateng, sehingga aturannya melalui Perda. Tetapi di PPS Cilacap mengikuti pusat, karena kepemilikannya adalah pemerintah pusat.

Meski demikian, nelayan dan pelaku usaha masih tetap belum puas atas jawaban yang disampaikan oleh Imas, selaku kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Bahkan, mereka bakal memperjuangkan tuntutannya ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sudah dipastikan pada Selasa (24/1/2023) bakal berangkat ke KKP untuk membahas tuntutan para nelayan dan pelaku usaha perikanan Cilacap.

Ketua DPRD Cilacap Taufik Nurhidayat yang memimpin dialog di Gedung DPRD mengungkapkan pihaknya siap  untuk menyampaikan aspirasi pelaku usaha perikanan dan nelayan. “Jika perlu saya siap mendampingi,”tandasnya. (***)

 

Exit mobile version