Mongabay.co.id

Tujuh Tahun Vonis, Mengapa Pengadilan Belum Bisa Eksekusi PT Kallista Alam? [1]

 

 

Tujuh tahun sudah berlalu vonis bersalah pengadilan terhadap perusahaan sawit, PT Kallista Alam karena membakar hutan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Meskipun putusan sudah berkekuatan hukum tetap tetapi hingga kini eksekusi hukum belum berjalan, bahkan perusahaan terus beroperasi, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan menjual kepada perusahaan-perusahaan eksportir.

Vonis pengadilan menghukum Kallista Alam harus bayar ganti rugi Rp114,303 miliar lebih dan pemulihan lingkungan sekitar 1.000 hektar dengan biaya Rp 251,765 miliar lebih.

Pada 22 Januari 2019, Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan eksekusi dan meminta Ketua Pengadilan Suka Makmue, Nagan Raya untuk penjualan aset perusahaan secara lelang. Perantaranya, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Banda Aceh. Upaya eksekusi terus tersendat hingga kini.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Mongabay menyebutkan, guna mempercepat proses eksekusi kasus Kallista Alam, KLHK telah berkoordinasi dengan intensif dengan pengadilan negeri.

“Informasi yang kami terima dari Pengadilan Negeri Meulaboh, Ketua PN telah melakukan aanmaning atau pemanggilan terhadap Kallista Alam,” kata Roy, sapaan akrabnya, pada 2019.

Dia bilang, Kallista Alam tak pernah hadiri pemanggilan pengadilan, hingga pada 22 Januari 2019, Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan penetapan lelang lahan.  Dalam pelaksanaan didelegasikan kepada Ketua PN Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya.

“Sudah dikeluarkan penetapan pelelangan sebidang tanah, bangunan, dan tanaman diatasnya seluas 5.769 hektar milik Kallista Alam,” katanya.

Lelang tanah dan bangunan Kallista Alam, akan dilakukan di muka umum oleh PN Suka Makmue dengan perantara Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara dan Lelang (KPKNL) Banda Aceh.

Kala itu, Edo Juniansyah,  Kepala Humas Pengadilan Negeri Suka Makmue, Nagan Raya, amini ucapan Roy.

“Kami sekarang mempersiapkan proses lelang tanah dan bangunan serta tanaman Kallista Alam. Ini pelimpahan atau didelegasikan dari PN Meulaboh karena PN Suka Makmue baru terbentuk,” katanya pada 2019.

 Mongabay kembali mendatangi PN Suka Makmue, Nagan Raya untuk menanyakan perkembangan eksekusi putusan hukum terhadap Kallista Alam pada 20 Oktober 2022.

Bagus Erlangga, Humas Pengadilan Negeri Suka Makmue, mengatakan, eksekusi terhadap perusahaan itu belum berjalan karena pengadilan masih menunggu hasil penghitungan aset oleh tim appraisal.

 

Baca: Putusan Pengadilan Dieksekusi, Aset PT. Kallista Alam akan Dilelang

 

Lahan gambut rusak, Rawa Tripa pun rawan terbakar. Pada 2022, Rawa Tripa juga terbakar. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Tim appraisal merupakan jasa penghitungan nilai aset obyek sitaan. Dalam kasus ini, katanya, lembaga penilai aset yang ditunjuk Kantor Jasa Penilai Publik Mushofah,  Mono Igfirly dan Rekan.

Mushofah Mono Igfirly ditetapkan PN Suka Makmur pada 16 Desember 2021.  Kantor jasa penilai publik (KJPP) ini merupakan lembaga kedua yang ditetapkan PN Suka Makmue. Sebelumnya, Pung’s Zulkarnain & Rekan, namun pada 4 Agustus 2021, mereka mengundurkan diri.

”Upaya eksekusi sudah kami lakukan, tapi masih ada kendala pada perhitungan aset obyek sengketa oleh tim appraisal yang ditunjuk,” kata Bagus.

Setelah tim appraisal selesai menghitung aset Kallista Alam, akan langsung lelang, hal ini dilakukan karena perusahaan tidak kunjung membayar secara sukarela.

Pada Mei 2022, tim appraisal juga mendatangi Kallista Alam, tetapi tidak mendapatkan izin masuk ke perusahaan.

“Ini kendala ingga tim appraisal belum dapat melakukan penghitungan nilai aset,” kata Bagus.

Tim penilai telah berkoordinasi dengan Polres Nagan Raya, namun Polres menyarankan untuk pengamanan tim langsung berkoordinasi dengan Polda Aceh.

“Kami hanya menunggu selesai perhitungan aset, kalau sudah dihitung baru bisa dieksekusi.”

Kombes Pol. Winardy, Kepala Bidang Humas Polda Aceh, 11 November lalu mengatakan, kesulitan tim appraisal melakukan perhitungan aset Kallista Alam karena terjadi penolakan masyarakat terutama yang bekerja di perusahaan.

“Kami sudah melakukan penyelidikan dengan menurunkan tim kesana. Hasilnya, memang belum aman karena masyarakat yang bekerja di perusahaan masih melakukan penolakan,” katanya.

Winardy bilang, yang harus dilakukan sekarang memberikan pemahaman kepada masyarakat yang bekerja di perusahaan itu hingga tim appraisal bisa masuk untuk hitung aset, bukan kepentingan lain.

“Polda Aceh masih berkomunikasi dengan Polres Nagan Raya yang juga melakukan sosialisasi dan mediasi dengan Forkopimda Nagan Raya dan Kallista Alam.”

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Ditjen Gakkum, KLHK, November 2022, mengatakan,  kasus Kallista Alam sudah cukup lama. Kendala sebelumnya, PN Negeri Suka Makmue absen dalam mendampingi Pung’s Zulkarnain hingga tidak dapat memasuki lahan perusahaan.

 

Baca: Tidak Terima Putusan Pengadilan, PT Kallista Alam Balik Gugat Pemerintah

Pemandangan Rawa Tripa dari atas saat terjadi kebakaran pada 2022. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

“Hal ini berujung pengunduran diri tim appraisal dan kementerian sudah mengajukan penggantian. Kementerian juga sudah mengajukan surat kepada PN Suka Makmue supaya ada pendampingan KJPP yang baru ditunjuk,” ujar Ragil.

KLHK, katanya, sudah diskusi panjang dan Ketua PN Suka Makmue maupun Ketua Pengadilan setuju menunjuk panitera dan jurusita sebagai pendamping KJPP ke lahan Kallista Alam.

“Selain berkoordinasi dengan Polres Nagan Raya, KLHK juga koordinasi untuk pengamanan dengan Mabes Polri, kemudian kami diarahkan langsung koordinasi dengan Polda Aceh. Pada 23 Mei 2022, kami juga menyurati Polda Aceh untuk bantuan pengamanan,” kata Raqil.

Dia bilang, KJPP menolak turun ke lapangan untuk menilai aset kalau tidak ada pengamanan baik dari pengadilan negeri maupun kepolisian.

Dalam pertemuan antara KLHK, Panitera Pengadilan Negeri Suka Makmue, Polda Aceh, Polres Nagan Raya dan beberapa unsur lain, Polda Aceh akan membantu pengawalan, namun perlu sosialisasi kepada masyarakat sebelum tim turun.

“Saat ini,  KLHK masih menunggu informasi lanjutan dari Polda Aceh. Pada 24 Agustus 2022, kami juga kembali menyurati Polda Aceh tapi sampai saat ini belum ada jawaban resmi. Informasi dari Biro Operasi di Polda Aceh, mereka masih menunggu situasi di lapangan kondusif,” kata Ragil.

Kalau Polda Aceh sudah siap pengamanan, KJPP bisa langsung ke lapangan menghitung aset. Tahap selanjutnya, pelelangan.

Eksekusi putusan hakim ini, katanya, kewenangan pengadilan negeri, KLHK hanya memfasilitasi apa diperlukan berbagai pihak hingga eksekusi berjalan.

“Kami sangat khawatir kejadian terhadap Kallista Alam Ini akan menjadi contoh buruk dan ditiru perusahaan lain. Di Aceh ada PT Surya Subur Panen II yang juga harus di eksekusi putusan hukumnya, tapi setelah kasus Kallista Alam selesai,” kata Ragil.

 

Baca juga: PT Kallista Alam Tetap Melawan, RAN: Perusahaan Masih Beroperasi di Rawa Tripa

Dukungan masyarakat untuk penyelamatan Rawa Tripa. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat sekitar pertanyakan eksekusi

Ketika proses eksekusi disebut-sebut terhalang masyarakat, masyarakat sekitar konsesi malah ikut mempertanyakan eksekusi terhadap Kallista Alam ini. Karena kerusakan lingkungan berdampak kepada mereka, seperti kebakaran gambut.

Pada 15 Juni 2021, kepala desa dari tujuh desa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, yakni, dari Desa Sumber Makmur, Kuala Seumanyam, Pulo Kruet, Alue Raya, Alue Kuyun, dan Blang Luah menanyakan proses eksekusi terhadap Kallista Alam tidak jalan.

“Masyarakat juga mempertanyakan kepada kami sebagai kepala desa kenapa Kalista Alam hingga kini belum eksekusi, padahal secara hukum mereka telah dinyatakan bersalah,” sebut Rendy, Kepala Desa Sumber Makmur.

Masyarakat tanya itu karena melihat perusahaan masih beroperasi seperti biasa. “Karena itu, kami kepala desa dari tujuh desa di sekitar perusahaan mempertanyakan sejauh mana proses eksekusi Kalista Alam ke Pengadilan Negeri Suka Makmue.”

Rendy mewakili kepala desa yang lain mengatakan, masyarakat perlu jawaban terhadap proses eksekusi perusahaan sawit karena merupakan korban dampak kebakaran. Mereka terkena asap kebakaran lahan gambut Kalista Alam.

“Selain informasi jelas mencegah kejadian yang tidak diinginkan terjadi di masyarakat, dengan eksekusi juga memperjelas status lahan masyarakat di sekitar Kalista Alam,”  kata Rendy.

Saat bertemu dengan Pengadilan Negeri Suka Makmue, perwakilan tujuh kepala desa menyampaikan,  desakan kepada Ketua Pengadilan Negeri Suka Makmue secepatnya eksekusi lahan, bangunan dan tanaman Kalista Alam.

“Kami mendukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terus mendorong eksekusi lahan HGU Kalista Alam. Meminta KLHK melibatkan pemerintah desa dalam setiap tahapan proses eksekusi.”

 

Kebun sawit di Rawa Tripa. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Sudirman Hasan, Sekjen Forum LSM Aceh menilai, seharusnya penilaian aset Kallista Alam tidak hanya dilimpahkan ke KLHK dan tim KJPP.

“Seharusnya Pengadilan Negeri Suka Makmue yang mendampingi tim penilai aset ke lapangan, bukan malah pengadilan hanya menunggu, perhitungan aset juga bagian dari eksekusi.”

Selain itu, pembacaan amar putusan di lapangan juga belum dilakukan pengadilan, termasuk pembacaan putusan tentang penyitaan aset.

“Perintah penyitaan dan eksekusi aset perusahaan itu ditujukan kepada pengadilan bukan kepada KLHK.”

Forum LSM Aceh bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) mendesak Mahkamah Agung (MA) segera mengambil alih eksekusi lelang aset Kallista Alam.

“Kita sudah menuntut eksekusi terhadap perusahaan sawit Kallista Alam segera diambil alih Mahkamah Agung. Putusan hukum ini telah tertunda cukup lama,” katanya.

 

 

Perjalanan kasus Kallista Alam

Kasus hukum membuka lahan perkebunan sawit dengan cara membakar dalam hutan gambut yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) oleh Kallista Alam, berawal dari laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) 11 April 2012 dan 26 Juli 2012. Laporan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—dulu Kementerian Kehutanan ini– tentang titik panas yang mengindikasikan terjadi kebakaran atau pembakaran lahan di wilayah perkebunan milik Kallista Alam.

Menanggapi temuan itu, KLHK menurunkan tim Shaifuddin Akbar, M. Bayu Hardjanto, Prof. Bambang Hero Saharjo, Dr. Basuki Wasis, ditambah Zulkifli, Bapedal Aceh untuk pengamatan dan verifikasi lapangan.

Dari berita acara verifikasi lapangan pada 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012, tim itu menemukan titik koordinat lokasi lahan bekas terbakar berada di konsesi Kallista Alam. Sesuai keterangan karyawan perusahaan, kebakaran di lahan gambut terjadi pada 23 Maret 2012 selama tiga hari berturut-turut.

 

Sumber: Yayasan HaKA

 

Hasil penelitian anggota tim KLHK,  yakni Bambang Hero Saharjo, saat itu sebagai Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan ahli kerusakan lingkungan dari IPB, Basuki Wasis bahwa di lokasi ditemukan tanda-tanda bekas kebakaran seperti banyak log kayu bekas terbakar telah ditanami sawit.

Lahan terbakar merupakan kawasan gambut dilindungi karena ketebalan gambut lebih tiga meter. Gambut terdampak berada pada kedalaman 20–30 centimeter.

Tim KLHK juga menemukan, areal lahan kebun sawit tidak dilengkapi papan peringatan tentang larangan penggunaan api, kelengkapan peralatan sebagai perlindungan dari ancaman bahaya kebakaran baik pencegahan maupun pemadaman.

Dari KLHK juga mengatakan, ada pola pengeringan air pada lahan gambut dengan sistem bertingkat gunakan saluran tersier atau kanal dengan lebar sekitar 1-1.5 meter dengan kedalaman sekitar satu meter dari kedalaman gambut lebih tiga meter. Ia berdampingan dengan saluran sekunder hingga seolah-olah berada diatasnya.

Kanal ini berfungsi mengalirkan air dari lapisan gambut atas hingga gambut mengalami pengeringan pada bagian permukaan dan jadi sensitif terhadap kemungkinan kebakaran.

Temuan lain, log-log kayu bekas pohon hutan alam ditebang sekitar 60 ton per hektar sebagai bahan bakar untuk membakar atau membuat jadi terbakar pada Blok E.

Berdasarkan fakta-fakta lapangan itu, KLHK mengambil kesimpulan terbukti faktual dan tidak terbantahkan terjadi kebakaran di perkebunan Kallista Alam.

KLHK menilai, Kallista Alam melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan  Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor: 4/2001 soal pengendalian kerusakan dan, atau pencemaran lingkungan serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10/2010 tentang mekanisme pencegahan pencemaran dan,atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.

KLHK menggugat Kallista Alam secara perdata dan pidana ke Pengadilan Negeri Meulaboh pada 2012. Setelah persidangan bergulir lebih setahun, Majelis Hakim Peadilan Negeri Meulaboh, memvonis Kallista Alam bersalah.

Rahmawati, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan, sah dan berharga sita jaminan di atas tanah, bangunan dan tanaman di Desa Pulo Kruet, Alue  Bateung Brok, Kecamatan Darul Makmur, Aceh Barat di atas HGU 5.769 hektar.

Kallista Alam dinyatakan melanggar hukum dan menghukum membayar ganti rugi materiil kepada KLHK melalui rekening kas negara Rp114, 303 miliar. Kallista Alam juga harus pemulihan lingkungan atas lahan terbakar sekitar 1.000 hektar dengan biaya Rp251, 765 miliar.

Tak terima, Kallista Alam melawan.  Perusahaan banding, namun Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada 2014 menolak banding. Kallista Alam kasasi. Mahkamah Agung menolak kasasi perusahaan ini pada 2015.

 

 

Gambut Rawa Tripa yang tereksploitasi jadi kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Belum kapok,  usaha terakhir Kallista Alam melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Lagi-lagi,  usaha perusahaan ini gagal, pada 2017 putusan Mahkamah Agung keluar menolak peninjauan kembali Kallista Alam.

Masih juga tak terima putusan hukum, pada 26 Juli 2017, Kallista Alam menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh ke Pengadilan Negeri Meulaboh dengan nomor perkara: 16/Pdt.6/2017/PN.Mbo.

Dalam gugatan itu, Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dalam dan dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai kenyataan lapangan.

Perusahaan juga menggugat ada pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektar yang telah dicabut izin oleh Gubernur Aceh.

Pengadilan Negeri Meulaboh pada 12 April 2018 mengabulkan gugatan Kallista Alam dan membebaskan perusahaan dari segala tuntutan hukum.

KLHK banding. Pengadilan Tinggi Banda Aceh membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh.  Kallista Alam tetap harus membayar denda dan biaya pemulihan lahan.

Kallista Alam belum menyerah, setelah gugatan mereka kandas di Pengadilan Tinggi Banda Aceh, perusahaan yang merusak Rawa Tripa itu kembali melayangkan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Suka Makmue, Nagan Raya. Mereka melakukan perlawanan terhadap putusan eksekusi.

Gugatan perusahaan daftarkan 22 Juli 2019. Perusahaan minta Kallista Alam tidak bertanggung jawab atas kebakaran lahan. Lagi-lagi usaha mereka kalah setelah Majelis Hakim Pengadilan Suka Makmue menolak gugatan perlawanan mereka.

Mongabay bersama lembaga swadaya masyarakat di Aceh mencari profil Kallista Alam di sistem pelayanan publik Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Ditjen AHU Online.

Di AHU Online, profil Kallista Alam tak dapat ditemukan. Saat dihubungi melalui email, Customer Service AHU Online membalas mengenai nama perseroan Kallista Alam terdaftar dalam database Ditjen AHU.

“Namun, saat ini statusnya terblokir karena belum melaporkan nama pemilik manfaat atau beneficial ownership. Setelah hal itu didaftarkan, baru profil perusahaan dapat diakses.”

Perintah mendaftarkan pemilik manfaat ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum HAM berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13/2018. Kebijakan ini soal prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi guna pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Mongabay juga berusaha mengkonfirmasi kepada Kallista Alam melalui telepon, pada 30 Desember lalu, namun semua telepon yang dihubungi tidak bisa terhubung.  Mongabay juga mencoba menghubungi perwakilan perusahaan yang melakukan kegiatan ke masyarakat, namun pesan yang dikirim belum mendapat tanggapan. (Bersambung)

 

 

 

******

Exit mobile version