Mongabay.co.id

Strategi Pengelolaan Berkelanjutan untuk Ekosistem Laut Besar di Indonesia

 

 

Indonesia menjadi satu dari 16 negara yang mendapatkan pendampingan dari Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FA) untuk menjalankan sejumlah proyek pada sektor kelautan dan perikanan. Kegiatan tersebut dipimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ada dua proyek besar yang sedang berjalan saat ini dan keduanya melibatkan FAO bersama KKP di dalamnya. Pertama, adalah Proyek regional untuk manajemen keberlanjutan pada ekosistem laut besar Indonesia (ISLME), dan kedua adalah Proyek Konservasi di Perikanan Darat (IFISH).

Kedua proyek besar itu dijalankan dengan dukungan dana penuh dari Global Environment Facility (GEF) dan sudah ada sejak empat tahun terakhir. Hal tersebut dipaparkan Spesialis Komunikasi FAO untuk FAO-ISLME untuk Stasiun Pembelajaran Maria Hulupi pada pekan lalu di Bali.

Bersama GEF, FAO tak hanya menggandeng KKP saja di Indonesia, namun juga ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Pertanian. Tujuan dua proyek tersebut, adalah untuk mengatasi krisis lingkungan global yang berdampak pada produktivitas.

“Dan keberlanjutan sistem pangan pertanian di lahan dan air di lima benua,” ucap dia.

baca : Pasokan Ikan Berlebih, Tapi Tak Ada yang Beli

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

GEF sendiri sudah berdiri sejak 1992 di Rio de Janeiro, Brazil dan didirikan dengan tujuan untuk mengatasi masalah lingkungan yang ada di dunia. Terhitung sudah lebih dari USD21,1 miliar disebarkan ke seluruh dunia dalam bentuk hibah.

Sementara, saat ini GEF juga tengah mendorong mobilisasi tambahan dana hibah senilai USD114 miliar untuk bisa digunakan sebagai pembiayaan bersama pada pelaksanaan 5.000 proyek di 170 negara, termasuk program ISLME dan IFISH di Indonesia.

Dalam menjalankan proyek ISLME, FAO fokus pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan di perairan laut Indonesia dan Timor Leste yang luasnya mencapai 2,3 juta hektare. Pembagiannya, sebanyak 98 persen untuk Indonesia dan dua persen untuk Timor Leste.

Detailnya, wilayah ISLME mencakup kawasan inti biogeografi samudra Indo Pasifik bagian barat yang diketahui sebagai kawasan perairan laut dengan spesies laut terkaya di dunia. Sedikitnya ada 500 jenis terumbu karang, 2500 jenis ikan laut, 47 jenis mangrove, dan 13 jenis lamun.

Maria Hulupi menerangkan, di Indonesia ISLME bekerja untuk membantu perikanan unggulan pada pendekatan ekosistem dan manajemen perikanan (EAFM), dan strategi panen. Utamanya, komoditas seperti lobster, kepiting, bakau, rajungan, kakap, kerapu, lemuru, rumput laut, dan teripang.

Komoditas yang disebutkan di atas, diyakini menjadi produk yang menawarkan potensi ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan ekonomi secara nasional. Semua itu ada di perairan Indonesia dan Timor Leste.

baca juga : Sukabumi Jadi Pelindung Pertama Sidat di Indonesia

 

Setelah 20 hari melaut, awak KM Bandar Nelayan sedang menurunkan ikan tuna beku di pelabuhan Benoa, Bali pada Februari 2017. Foto : shutterstock

 

Rincinya, di Indonesia ada di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 712 (meliputi perairan Laut Jawa), 713 (meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), dan 714 (meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda).

Selain Indonesia, ISLME juga bekerja di perairan utara Timor Leste. Juga, bekerja untuk membantu analisis diagnostik lintas batas dalam perairan kedua negara. Proyek ISLME tersebut kemudian dipilih menjadi stasiun pembelajaran GEF untuk mendukung keberlanjutan, perlindungan habitat perairan laut besar, dan produktivitas perikanan budi daya.

Pada pelaksanaannya, proyek dijalankan dengan melibatkan banyak aspek seperti bukti di lapangan, kemitraan erat dengan akademisi, dan berbagai kepentingan kelompok seperti nelayan, kelompok perempuan, dan sektor swasta.

 

Ekonomi Biru

Saat berada di Bali, Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal mengatakan bahwa GEF sudah menyetujui pengucuran dana hibah senilai USD7,8 juta untuk 13 proyek yang dipimpin FAO di 16 negara, salah satunya adalah Indonesia.

Dia mengatakan, prinsip ekonomi biru harus bisa dijalankan dengan pengelolaan yang berkelanjutan. Mengingat, kegiatan tersebut mencakup pangan biru yang berperan penting dalam mengawal ketahanan pangan, mengakhiri kekurangan gizi, dan membangun sistem pangan yang sehat, positif, alami, dan tangguh.

Adapun, pangan biru yang dimaksud tidak lain adalah pangan yang dihasilkan dari laut, danau, dan sungai. Untuk bisa menghasilkan pangan biru, setidaknya ada 3.000 spesies hewan dan tumbuhan air yang ditangkap atau dibudidayakan.

baca juga : Klaim Terbaik dari Kampung Perikanan Cerdas

 

Dua orang perempuan gembira menunjukkan ikan cakalang segar di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Foto : shutterstock

 

Proses produksi untuk menghasilkan pangan biru itu dilakukan melalui beragam sistem yang tersedia dan dilaksanakan dari hulu ke hilir. Mereka yang berperan besar, bisa berasal dari kapal pukat yang menangkap ikan di laut, tambak ikan yang menjadi tempat budi daya ikan laut dan payau, atau pembudi daya ikan air tawar yang melaksanakan budi daya ikan dari sungai atau danau.

Menurut Rajendra Aryal, pangan biru sudah menjadi landasan bagi sistem pangan global yang ada di seluruh dunia, menyediakan sumber nutrisi penting bagi lebih dari tiga miliar orang di seluruh dunia, dan menjadi mata pencaharian bagi ratusan juta orang.

Selain ISLME yang sudah berjalan saat ini, FAO juga menjalankan proyek IFISH di Indonesia bersama KKP. Kegiatan tersebut fokus pada nilai konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan ke dalam praktik perikanan darat.

Seperti halnya ISLME, IFISH juga menjadi proyek perikanan darat terbesar yang pernah ada di Indonesia dan sedang berlangsung kegiatannya sekarang. Disebut terbesar, karena sebelumnya perikanan darat pada umumnya selalu dikelola oleh industri skala kecil dan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai.

“Pada tahun 2018, sedikitnya 965.756 keluarga nelayan menggarap perikanan darat di seluruh Indonesia,” terang dia.

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Salah satu terobosan proyek yang ditampilkan dalam pameran tersebut adalah kerja sama pembangunan fishway di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ikan berperan sangat penting untuk siklus hidup jalur migrasi ikan seperti Sidat (Anguilla sp.), belut, dan ikan bernilai ekonomi tinggi lainnya.

Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Yayan Hikmayani menjelaskan, sejak IFISH memulai kegiatan pada 2018, pendataan secara berkala mulai dilakukan dan menghasilkan data bahwa sebanyak 40 persen hasil tangkapan ikan sungai sudah menjadi konsumsi keluarga di sana.

“Itu pendataan secara resmi dilakukan sejak 2021. Dari data tersebut, diketahui sebelas persen lainnya ikan dijual sebagai mata pencaharian tambahan masyarakat di sekitar sungai,” terang dia.

Agar sumber daya ikan (SDI) di perairan darat Sukabumi bisa dikelola dengan baik, maka diperlukan kerja sama semua pihak untuk saling memahami tentang potensi yang ada. Juga, diperlukan peraturan yang kuat berdasarkan hasil penelitian, dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai basis utama dalam menentukan sebuah kebijakan.

 

Exit mobile version