Mongabay.co.id

Menyoal Perppu Cipta Kerja [2]

 

 

 

 

Tahun lalu ditutup dengan langkah kontroversial pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Regulasi yang keluar tiba-tiba ini pun menimbulkan beragam reaksi. Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil mengecam pemerintah dan menganggap perppu sebagai upaya lari dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVII/2020 yang menyatakan UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Pada 27 Januari 2023, Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) pun lakukan pengaduan konstitusional dengan keluarnya Perppu Cipta Kerja ini. Bagi Kepal,  Perppu Cipta Kerja itu sebagai bentuk pelanggaran atas putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara uji formil UU Cipta Kerja. Seharusnya, Mahkamah Konstitusi keluarkan fatwa.

Dalam laman resmi Sekretariat Kabinet, Menteri Koordintari Bidang Perekenomian Airlangga Hartanto menyebut, langkah ini untuk mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

Dia bilang, putusn Mahkamah Konstitusi sangat memengaruhi perliaku dunia usaha, baik dalam dan luar negeri. Padahal, pemerintah berupaya menjaring investasi sebagai kunci pertumbuhan ekonomi.

Airlangga berharap, keberadaan perppu dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.  “Keluarnya perppu diharapkan bisa mengisi kepastian hukum dan jadi implementasi dari putusan Mahkamah Konstitusi,” katanya.

“Pelanggaran yang berakibat fatal, karena putusan MK jelas menyatakan, UU Cipta Kerja harus perbaikan selama waktu dua tahun. Namun pemerintah mencari jalan pintas dengan mengeluarkan Perpu Cipta Kerja,” kata Janses E Sihaloho, Koordinator Tim Kuasa Hukum Kepal dalam rilis kepada media.

 

Baca juga:  Menyoal Perppu Cipta Kerja [1]

Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal)
kembali melakukan pengaduan konstitusional atas Perppu Cipta Kerja. Foto: Kepal

 

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut, penerbitan perppu bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap konstitusi.

Menurut YLBHI, perppu ini bentuk otoritarianisme pemerintah yang tak menghendaki pembahasan kebijakan yang berdampak pada kehidupan bangsa.

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dihubungi Mongabay mengatakan, perppu merusak upaya pemerintah dan DPR yang untuk menjalankan aturan Mahkamah Konstitusi. “Pemerintah inkonsisten dalam pahami dan jalankan putusan MK,” kata Dodo, sapaan akrabnya.

Pemerintah dan DPR, katanya,  sudah menjalankan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. Sisi lain, ada juga pelanggaran.

Inkonsistensi terlihat dari alasan pemerintah menelurkan perppu sebagai bagian mencegah kondisi ekonomi yang diprediksi makin sulit.

Selama ini,  pemerintah selalu membangun argumen kalau Indonesia baik-baik saja dari ancaman resesi ekonomi dan tidak akan menjadi pasien potensial International Monetary Fund (IMF).

“Sekarang semua dibalik oleh pemerintah,” kata Dodo.

Puncak dari respons masyarakat sipil muncul dalam bentuk ultimatum agar presiden mencabut dan DPR menolak perppu. Lebih 200 organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Kepal dan Jaringan Ultimatum Rakyat.

Ultimatum pada 10 Januari lalu tetapi tak ada respons pemerintah maupun DPR.

 

Baca juga: Kala Mahkamah Konstitusi Kabulkan Gugatan atas UU Cipta Kerja

Ribuan mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar, Kamis (8/10/2020) turun ke jalan menolak omnibus law cipta kerja. Dalam aksi demonstrasi di Makassar, sempat terjadi bentrok antara polisi dan demonstran di beberapa titik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI dalam konferensi pers mengatakan, pemerintah tak serius menanggapi kesalahan yang mereka buat lewat UU Cipta Kerja dan putusan Mahkamah Konstitusi. Seharusnya, ada refleksi terhadap kekecewaan yang timbul di masyarakat.

“Protes masyarakat diabaikan. Kita makin jauh dari prinsip konstitusi. Pemerintah jadi otoriter.”

Muhammad Arman,  Direktur Advokasi Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyuarakan hal sama. Perppu, katanya, membuat kepastian hukum masyarakat adat terbenam.

Sejak awal, katanya, AMAN sudah menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja. Ada Perppu, kata Arman, makin  menunjukkan perlawanan mereka terhadap rezim pemerintah ini.

 

Pelanggaran putusan Mahkamah Konstitusi

Gunawan, perwakilan Kepal, juga penasehat senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice mengatakan, pengaduan ini juga menindaklanjuti pengaduan konstitusional soal pelanggaran putusan Mahkamah Konstitusi.

Pada 15 Desember lalu, Kepal mengadukan segala penyimpangan pemerintah terkait UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Kepal bahkan menyerahkan bukti-bukti pelanggaran sebagai bentuk pengaduan konstitusional.

Mekanisme ini memang tidak pernah ada sebelumnya, tetapi Kepal berharap bisa ditanggapi serius dan M,ahkamah Konstitusi mengeluarkan sikap yang bisa jadi preseden.

“Kalau MK bisa mengeluarkan istilah inkonstitusional bersayarat yang sebelumnya tidak pernah ada, maka seharusnya ada pengecualian juga untuk kasus tidak biasa ini,” kata Jenses.

Dia juga meminta,  Mahkamah Konstitusi menerbitkan fatwa terhadap putusan mereka. Hal ini untuk mencegah multitafsir yang berujung pada kesewenangan pemerintah yang menganggap kalau UU Cipta Kerja masih bisa berjalan sambil revisi.

Dalam pengaduan kepada Mahkamah Konstitusi itu, bidang agraria, kengototan pemerintah membentuk bank tanah menimbulkan pelanggaran konstitusional setelah putusan MK.

Ide bank tanah ini, sebetulnya sudah salah kaprah sejak awal. “Karena prinsipnya tanah adalah barang komoditas. Ini pelanggaran konstitusional,” kata Dewi Kartika, Sekjen KPA dalam diskusi publik rilis Laporan Pemantauan Pelanggaran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Pengujian Formil UU Cipta Kerja, di Jakarta, baru-baru ini.

Argumen pemerintah untuk pembentukan bank tanah pun perlu dikritik. Penyediaan tanah sulit kerap disebut sebagai hal yang menghambat pembangunan dan menghambat investasi.

Padahal, realita di lapangan jutstru sebaliknya. Pemerintah memberikan keistimewaan berlimpah pada investor. Monopoli tanah oleh swasta dan klaim sepihak oleh negara menjadi dasar ketimpangan kepemilikan lahan.

Catatan KPA, 42.000-an hektar lahan di Jabodetabek dikuasai hanya 13 pengembang. “Situasi kontras di tengah masih banyak masyarakat miskin di perkotaan yang tidak memiliki tempat layak huni atau tunawisma, digusur akibar kuatnya arus pembangunan dan pengembangan kota-kota,” kata Dewi.

 

Aksi berbagai elemen masyarakat menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di berbagai wilayah di Indonesia. Foto : KPA screenshoot KPA

 

Belum lagi dengan ketimpangan penguasaan lahan untuk pertanian dan hutan tanaman industri. Pemerintah, katanya, sudah menunjukkan keberpihakan pada perusahaan. Data KPA 2021 menyebut,  kalau 68% tanah di daratan Indonesia dikuasai 1% kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar.

“Monopoli tanah di tengah ketimpangan dan konflik agraria ini menggugurkan argumentasi para promotor bank tanah. Argumen ini sudah ngawur,” kata Dewi.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebagai bagian dari Kepal mencatat tiga pelanggaran pemerintah dalam hal ini.

Pertama, terbit Peraturan Presiden Nomor 113/2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah. Kedua, penerbitan Peraturan Pemerintah tahun 2021 tentang Modal Badan Bank Tanah.

Ketiga,  Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Reforma Agraria di Kemenko Perekenomian yang tidak mengacu UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Rancangan kebijakan ini pun mengacu pada UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan tak memiliki kekuatan hukum tetap.

Pelanggaran lain, bisa dilihat dari kebijakan impor pangan. Aliansi Petani Indonesia mencatat,  langkah impor beras tahun lalu masih mengacu pada UU Cipta Kerja.

“Dalam UUCK tidak jelas indikator mana sebagai acuan untuk impor bisa dilakukan,” kata Muhammad Nur Uddin, Sekjen API.

Sementara dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, katanya, menjelaskan indikator kalau impor bisa dilakukan jika produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan, atau tidak ada produksi di dalam negeri. Prasyarat  impor juga dihilangkan dalam UU Cipta Kerja.

Dengan begitu, katanya, bisa bermakna sumber pangan bisa dari impor asal mencukupi kebutuhan dalam negeri. “Tidak jelas siapa yang memiliki kewenangan dan otoritas ini. Apakah Menteri Pertanian atau Menteri Perdagangan,” kata Uddin.

Impor pun, katanya, dilakukan serampangan. Tahun lalu, misal, pemerintah impor berdasarkan kondisi Hari Raya Natal dan tahun baru serta faktor musim yang diprediksi mengakibatkan kemampuan negara kurang dalam menyediakan beras.

 

UU Cipta Kerja mendapat protes sejak penyusunan. Setelah disahkan pun dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah belum jalankan perintah MK, malah keluarkan perppu, yang memicu protes dari berbagai kalangan. Foto: Koalisi

 

Saat sama, harga beras di luar negeri lebih murah dari dalam negeri. Uddin bilang, harga beras kualitas medium di Thailand dan Vietnam Rp9.000 per kilogram. Kualitas sama di dalam negeri sudah menyentuh Rp10.000-Rp11.000.

Pemerintah, katanya,  harus menggelontorkan dana sampai Rp4,4 triliun untuk mengimpor 500.000 ton beras tahun lalu. “Mau tidak mau ini jadi alasan politik supaya cadangan beras bisa disediakan melalui impor,” kata Uddin.

Padahal, katanya,  80% petani kecil di Indonesia mampu penuhi pangan bagi rakyat. Kemampuan petani tak boleh dianggap remeh, karena mereka bisa hasilkan 55 juta ton gabah yang bisa diolah jadi 30 juta ton beras.

Dengan Jadi, katanya, daripada gelontorkan dana besar untuk impor, lebih baik mensubsidi konsumen beras.  Sayangnya, pemerintah lebih memilih opsi impor.

Fajar Laksono, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, mengatakan, mekanisme pengaduan konstitusional bisa saja Mahkamah Konstitusi proses, meskipun belum pernah ada. Mekanismenya,  akan disamakan dengan proses pengujian gugatan yang masuk.

“Semua sama. Kami akan periksa dokumen dan nanti majelis hakim konstitusi yang akan memutuskan seperti apa putusan mereka terhadap pengaduan ini.” (Selesai)

 

 

*****

Exit mobile version