Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib Sang ‘Petani Hutan’ Kalau Perusahaan Tambang Emas Beroperasi di Bone Bolango?

 

 

 

 

Julang Sulawesi biasa mencari makanan di kebun Sumanti Dukalang, yang tak jauh dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Bagi perempuan paruh baya yang tinggal di Desa Moopiya, Kecamatan Bone Raya, Bone Bolango, Gorontalo ini, julang itu menandakan kesuburan.

“Kalau tempat itu sering digunakan julang untuk cari makan, pasti sangat subur. Dulu, kebun saya jadi tempat mereka cari makan,” katanya awal Januari lalu.

Di  wilayah ini, perusahaan emas PT Gorontalo Minerals (GM) sudah mendapatkan izin kontrak karya generasi VII dari presiden sejak 1998. Kalau sampai perusahaan beroperasi,  bisa ganggu habitat julang dan otomatis mengancam kehidupan satwa ini.

Izin konsesi seluas 24.995 hektar kepada anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk itu, mayoritas berada dalam kawasan hutan, yang merupakan rumah burung yang biasa disebut ‘petani hutan’ itu.

Dari luasan konsesi perusahaan, 17.798 hektar berada di hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Sisanya, atau 7.197 hektar dalam area penggunaan lain berupa lahan perkebunan dan pertanian masyarakat.

“Jika sudah ada tambang, baik berizin atau yang tidak berizin di dalam kawasan hutan, pasti akan mengganggu keanekaragaman hayati di dalamnya. Termasuk, julang Sulawesi, salah satu burung endemik Sulawesi,” kata Yoyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia.

Sebenarnya, perusahaan emas dengan saham 20% dimiliki PT Aneka Tambang (Antam) ini sudah mendapatkan surat persetujuan sejak 25 tahun lalu. Izin penambangan dan pengolahan tembaga serta mineral pengikutnya berlokasi di kompleks sungai Mak, Bone Bolango, Gorontalo.

Baca juga: Warga Bone Bolango Khawatir Gula Aren Andalan Terancam Tambang Emas

Pemandangan dari atas kawasan yang bakal jadi tambang emas di Bone Bolango. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya, 14.000 hektar dari 24.995 hektar luasan konsesi GM itu merupakan TNBNW. Pada 25 Mei 2010, kala itu Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan menerbitkan surat keputusan sekitar 14.000 hektar hutan konservasi, jadi hutan produksi terbatas.

Di tahun sama, katanya, Menteri Kehutanan kembali menerbitkan surat keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi emas dan mineral atas nama GM. Sejak itulah, GM melakukan eksplorasi di lokasi itu.

Pada 27 Februari 2019, izin operasi produksi keluar dengan kontrak sampai 1 Desember 2052 atau 33 tahun. GM menargetkan, produksi 5 juta ton bijih emas pertahun, dan produksi konsentrat 130.000 ton pertahun.

“Perusahaan emas di Bone Bolango itu bisa dipastikan akan mengganggu habitat dan populasi julang Sulawesi. Apalagi, pertambangan itu akan beroperasi dengan model pertambangan terbuka,” kata Yoki.

Dalam buku ‘Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi’ ditulis pada 2022 oleh Abdul Haris Mustari, dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB), menyebutkan, julang Sulawesi paruh besar berwarna kuning, dan ekor berwarna putih.

 

 

Untuk membedakan antara betina dan jantan hanya dari ukuran tubuh, warna bulu leher, dan terdapat tonjolan di atas kepala (casque) yang sangat mencolok dan membedakan dengan jenis burung lain.

Burung jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar, warna bulu leher kuning-keemasan, dan tonjolan di atas kepala berwarna lebih cerah atau merah. Untuk betina, ukuran tubuh lebih kecil, warna bulu kepala dan leher hitam dan tonjolan di atas kepala kuning dengan ukuran lebih kecil dari tanduk jantan.

Julang Sulawesi memanfaatkan hutan yang menyediakan pohon-pohon besar untuk berbiak dan bersarang. Mereka membuat sarang di lubang pohon yang besar dengan ketinggian 13-53 m. Biasanya, sarang berada di tengah hutan nan jauh dari aktivitas manusia. Lubang pohon dibuat kerap ditutup dengan lumpur untuk melindungi telur dari predator.

“Burung julang sulawesi sering dijumpai mencari makan di pohon beringin yang sedang berbuah, karena burung ini sangat menyukai buah beringin,” tulis Abdul Haris Mustari dalam bukunya.

 

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Percepat kepunahan ‘petani hutan’

Ivan Taslim, Dosen Geografi di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) menilai, pertambangan emas GM berpotensi mempercepat kepunahan julang Sulawesi. Mahasiswa Doktoral Program Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam di IPB University ini mengatakan, dari proses awal pembukaan lahan hingga produksi akan menciptakan polusi air, udara dan suara yang akan mengganggu habitat satwa.

Operasi pertambangan emas GM akan menyumbang gangguan ekosistem, habitat dan keanekaragam hayati kawasan. Eksploitasi bahan tambang baik emas ataupun mineral lain sudah tentu berpotensi merusak lingkungan.

Apalagi metode produksi pertambangan model terbuka atau open pit dengan menggali mineral deposit pada satuan batuan, yang sama dilakukan oleh perusahaan tambang emas PT. Freeport Indonesia.

“Penambangan emas dapat menyebabkan penebangan hutan dan pengurangan luas hutan yang merupakan habitat burung julang Sulawesi. Ini dapat meningkatkan risiko kepunahan spesies,” kata Ivan kepada Mongabay, 19 Januari lalu.

 

Hutan di Desa Moopiya, Kecamatan Bone Raya, Bone Bolango, Gorontalo ini juga jadi rumah julang Sulawesi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, katanya, penambangan emas juga mendorong perubahan iklim, seperti peningkatan suhu dan perubahan curah hujan. Kondisi itu, katanya, bakal terdampak bagi julang. Belum lagi, tambang emas juga bisa menyebabkan polusi air dan udara,juga dapat mempengaruhi kesehatan julang dan menurunkan kualitas makanan mereka.

“Bisa jadi pencemaran air dan udara dapat diminimalisir, tetapi kebisingan dari suara alat operasional dan mesin pengolah yang setiap saat beroperasi pastinya tidak dapat dikurangi. Itu tentu akan mempengaruhi habitat julang Sulawesi dan satwa lain,” katanya.

Yoki menekankan, saat ini saja julang sudah menghadapi persoalan perburuan dan pertambangan emas ilegal apalagi ditambah tambang skala besar. Julang, katanya,  sangat bergantung hutan sebagai tempat hidup, mencari makan dan berkembang biak. Kalau hutan rusak, katanya, akan mengganggu populasi julang Sulawesi.

Kerhadiran tambang emas, kata Yoki, akan membuka akses bagi orang untuk berburu. Apalagi, ada kepercayaan beberapa warga kalau kepala julang memiliki nilai magis, seperti penolak bala dan sebagai simbol kemapanan.

Padahal, katanya, julang sangat penting bagi ekosistem. Satwa ini sering disebut ‘petani hutan’ karena mampu menyebarkan biji-biji dari sisa buah yang mereka makan dalam cakupan terbang hingga rentang 100 kilometer persegi.

 

 

 

Saat biji-biji dari sisa buah jatuh di tanah, akan menjadi bibit pohon-pohon besar. Julang berandil besar dalam regenerasi hutan.

“Pertambangan ilegal yang sudah merambat kawasan Panua sudah mengganggu habitat dan populasi julang Sulawesi. Apalagi, pertambangan itu menggunakan alat berat.”

Ivan dan Yoyok berharap, ada pengawasan rutin pemerintah terhadap aktivitas perusahaan tambang emas yang akan beroperasi selama 30 tahun ke depan itu.

Pemerintah, katanya harus melakukan pencegahan terlebih dahulu, sebelum terjadi kerusakan jangka panjang.

Supriyanto, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) Gorontalo tak merespon apa-apa saat dihubungi Mongabay soal pengawasan terhadap burung endemik Sulawesi ini.

Sejak 18 Januari, Mongabay menghubungi Didik Budi Hatmoko, Kepala Kantor GM di Gorontalo. Hingga berita ini terbit,  belum ada jawaban.

 

*Liputan merupakan hasil Kolaborasi Mongabay Indonesia, Barta1 dan Internews

 

*****

Exit mobile version