Mongabay.co.id

Benarkah Perppu Cipta Kerja Akan Abaikan Nelayan Kecil?

 

Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinilai sebagai preseden buruk bagi bangsa Indonesia. Penerbitan Perppu tersebut menjadi kado terburuk sepanjang sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara hukum demokratis.

Pernyataan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Dia menyebutkan, pengesahan Perppu tersebut dilakukan menjelang pergantian tahun dari 2022 ke 2023, tepatnya pada 30 Desember 2022.

Perppu tersebut menjadi alarm tanda bahaya bagi masyarakat bahari saat ini hingga yang akan datang. Kedatangan peraturan tersebut dinilai berbahaya, karena sebelumnya sudah ada putusan dari Mahkamah Agung dan menyimpulkan ada cacat formal dan inkonstitusional pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Dengan adanya Perppu tersebut, maka putusan MK bisa diabaikan dengan membentuk Perppu baru,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.

Dengan kata lain, kehadiran Perppu Cipta Kerja tak lebih dari pengulangan episode yang sama pada UUCK yang mendapatkan penilaian buruk dari publik. Bahkan, UUCK yang dikenal luas sebagai Omnibus Law itu sudah dinilai cacat karena ada sejumlah proses yang dilanggar atau tidak dijalankan.

Susan Herawati mengatakan, dengan diterbitkannya Perppu Cipta Kerja oleh Presiden RI Joko Widodo, maka itu sudah menjadi langkah yang salah karena bertentangan dengan amanat konstitusi UU Dasar (UUD) 1945.

baca : Tantangan UU Cipta Kerja dalam Menguji Kepatuhan Pelaku Usaha Perikanan

 

Sebagian nelayan di Pelabuhan Perikanan Muara Angke, Jakarta, memilih memperbaiki alat tangkap berupa jaring disaat cuaca buruk. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kata dia, Perppu Cipta Kerja hanya akan menciptakan ketimpangan semakin nyata karena mengutamakan investasi dari pada menyejahterakan dan melindungi hak-hak masyarakat Indonesia. Khususnya, masyarakat bahari yang salah satunya adalah nelayan tradisional.

Cukup menyertakan putusan MK saja, sebenarnya penerbitan Perppu Cipta Kerja sudah bisa dipahami banyak orang sebagai sesuatu yang salah. Dari putusan MK tersebut, sudah jelas bahwa Pemerintah melakukan kesalahan fatal, mengingat UUCK dinilai inskonstitusional bersyarat.

“UUCK diciptakan tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat bahari. Akan tetapi, hari ini ancaman tersebut kembali dihidupkan Presiden dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja,” ucap dia tegas.

Semakin terancam posisi dan peran dari masyarakat bahari, karena Perppu Cipta Kerja di dalamnya mengatur penggusuran ruang produksi masyarakat bahari atas nama investasi, menghancurkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Juga, meningkatkan kerentanan kriminalisasi terhadap nelayan dan perempuan nelayan yang melakukan pengolahan hasil perikanan.

 

Alasan Cacat

Lebih detail, KIARA mencatat ada tujuh kecacatan Perppu Cipta Kerja yang justru penerbitannya diklaim oleh Pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk menjalankan UUCK dengan solutif. Kecacatan tersebut ada sejak dari prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (perppu), dan bentuk substansial mencakup kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat bahari.

Pertama, KIARA menilai kalau Perppu Cipta Kerja tidak menjawab perbaikan putusan MK yang menyatakan UUCL inkonstitusional bersyarat; Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak mengutamakan perlindungan kepada hak-hak masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010.

baca juga : Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Perahu nelayan secara beriring-iringan menyusuri sungai yang ditumbuhi pohon mangrove untuk mengikuti kegiatan sedekah laut di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Demak, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ketiga, Perppu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil sesuai terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima kelompok marginal itu.

Merujuk pada UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan maksimal berukuran 5 gros ton (GT).

Sementara, merujuk pada UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam, kategori nelayan kecil disebutkan sebagai nelayan yang menggunakan kapal perikanan maksimal berukuran 10 GT.

Kecacatan keempat versi KIARA, adalah Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No 1 Tahun 2014 jo UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penambahan tersebut memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang di setiap provinsi.

KIARA menilai, kewenangan penuh tersebut bisa mengubah peruntukan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia, atas nama kebijakan strategis nasional.

Kelima, saat diterbitkan pada akhir 2022 lalu, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU 1/2014 jo. UU 27/2007. Perubahan tersebut memberikan kemudahan sebanyak-banyaknya kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya.

Jika perubahan tersebut tetap dibiarkan atas nama kebijakan strategis nasional, maka itu tentu akan mengembalikan keberpihakan pada PMA untuk melaksanakan privatisasi pulau-pulau kecil dengan dalih investasi PMA.

Keenam, Perppu Cipta Kerja juga mengubah Pasal 51 dalam UU 1/2014 jo. UU 27/2007 yang memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti dalam kawasan konservasi.

Dengan kewenangan tersebut, kawasan konservasi akan dibayangi ancaman pengubahan status zona untuk berbagai kepentingan eksploitatif. Itu tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan kawasan konservasi yang terjaganya keanekaragaman biodiversitas yang terdapat di dalamnya.

baca juga : Perlindungan Laut dan Pengelolaan Perikanan Bisa Berjalan Beriringan?

 

Aktivitas pekerja lepas perempuan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tasikagung Kabupaten Rembang, Jateng. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Ketujuh, dengan terbitnya Perppu Cipta Kerja maka setiap orang yang melakukan usaha perikanan dipaksa untuk wajib memiliki perizinan berusaha, dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU 7/2016.

Ketetapan tersebut dinilai akan berdampak pada aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan yang semakin sulit, meskipun dilakukan secara swadaya dan tradisional. Namun, jika tetap melaksanakan aktivitas tersebut, nelayan dan perempuan akan rentan terhadap kriminalisasi dengan pidana paling lama delapan tahun dan denda sebesar Rp1,5 miliar.

Alasan kedelapan kenapa Perppu Cipta Kerja disebut cacat, adalah karena aturan tersebut kembali memberikan akses yang sangat lebar dan mudah untuk masuknya investasi perikanan asing sampai bisa beroperasi di wilayah perairan Indonesia.

Dengan delapan penilaian tersebut, KIARA mengajak seluruh lapisan elemen masyarakat untuk terus melakukan perlawanan dan penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja. Aturan tersebut secara jelas dan terang-terangan akan memberikan kepastian hukum kepada investor, baik domestik maupun asing.

Sementara, penyelamatan bagi ekologi pesisir, kelautan perikanan, dan pulau-pulau kecil, serta perlindungan kepada masyarakat bahari hanya akan terjadi jika korporasi sudah mendapat kepastian.

baca juga : Agenda Biru dalam Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Keberpihakan Nelayan

Di lain pihak, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus melaksanakan sosialisasi Perppu Cipta Kerja, walau sudah ada penolakan dari publik. Kampanye itu dilakukan pada subsektor perikanan tangkap.

Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M Zaini Hanafi, tidak ada perubahan substansi pada Perppu Cipta Kerja. Justru, kehadiran aturan tersebut menunjukkan keberpihakan kepada nelayan, dan memberikan kepastian berusaha.

Dia mengklaim, Perppu Cipta Kerja memberikan keseragaman terminologi dokumen terkait perizinan usaha perikanan tangkap. Perizinan dalam subsektor perikanan tangkap tidak lagi menggunakan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), melainkan menggunakan terminologi perizinan berusaha.

Dalam peraturan pelaksanaannya, SIPI menjadi perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan, sementara SIKPI menjadi perizinan berusaha subsektor pengangkutan ikan.

 

 

Exit mobile version