Mongabay.co.id

Menjaga Sumber Pengendali Dampak Perubahan Iklim di Pesisir

 

Dampak perubahan iklim yang semakin sulit dikendalikan, memaksa semua negara di dunia untuk bergerak ekstra cepat mengatasi melalui beragam cara. Tanpa ada penanganan yang solid dan berkelanjutan, perubahan iklim diyakini akan menghancurkan alam raya.

Hal itu menjadi ketakutan Indonesia dalam menghadapi dampak dari fenomena alam tersebut. Salah satu dampak yang diperkirakan sangat besar terjadi, adalah pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Banyak ancaman yang kini mengintai wilayah di sekitar perairan laut itu.

Namun, dibalik ancaman yang sedang mengintai itu, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya justru menyimpan potensi besar sebagai pengendali dampak perubahan iklim. Tak hanya di Indonesia saja, namun juga berlaku di seluruh dunia.

Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) secara khusus bahkan merilis laporan tentang ekosistem karbon biru (EKB) yang diyakini bisa menjadi solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim. IOJI mengungkapkan keyakinan tersebut, karena Indonesia memiliki 17 persen cadangan karbon biru dunia.

Laporan yang diterbitkan pada akhir Januari 2023 itu, menyebutkan kalau EKB menyimpan potensi yang signifikan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. EKB berpotensi besar menyerap dan menyimpan karbon yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

baca : Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional 

 

Peluncuran laporan terbaru bertajuk “Blue Carbon Ecosystem as Critical Natural Capital: Tata Kelola Ekosistem Karbon Biru di Indonesia” dari IOJI. Foto : IOJI

 

EKB sendiri tidak hanya meliputi ekosistem hutan mangrove saja, namun juga padang lamun (seagrass), dan rawa air payau/rawa air asin (salt marshes). Semua ekosistem tersebut berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage).

IOJI menyebutkan bahwa luasan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3.364.076 hektare dan padang lamun mencapai 293.464 ha. Khusus mangrove, nilai jasa ekosistem per kabupaten di seluruh Indonesia sudah mencapai valuasi USD2 juta hingga USD50 juta dalam jangka waktu 30 tahun.

Namun demikian, walau potensi EKB sangat besar di Indonesia, dalam laporannya IOJI menyebut kalau kondisinya saat ini sudah lama terancam oleh tekanan antropogenik atau diakibatkan kegiatan yang dilakukan oleh manusia.

Sebut saja, kegiatan budi daya perikanan, pembabatan pohon mangrove, pertanian, pembangunan pesisir, polusi, dan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan/merusak. Semua itu bisa menekan dan mengancam kesehatan EKB.

Lebih rinci, IOJI kemudian menukil data yang dirilis Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) tentang penyebab kerusakan EKB. Pertama, faktor kepentingan pembangunan wilayah atau pengembangan infrastruktur ekonomi seperti pelabuhan, kawasan industri.

Kedua, pemanfaatan area mangrove untuk kawasan pemukiman baru, area budidaya tambak ikan dan udang; Ketiga, kerusakan mangrove akibat aliran limbah kimiawi; keempat, pembalakan liar (illegal logging);

Kelima, over-cutting, seperti pada pemanfaatan untuk bahan baku produksi arang; Keenam, sebab alamiah: kenaikan tinggi muka air laut, gelombang, kejadian tsunami. Khusus di Indonesia, budi daya perikanan, produksi kelapa sawit, dan pembangunan di pesisir menjadi pendorong utama terjadinya degradasi mangrove.

Jika EKB mengalami degradasi, maka perannya sebagai penyerap karbon akan berubah menjadi sumber pelepasan emisi yang signifikan. Selain itu, degradasi juga akan merusak perlindungan ekosistem pesisir, sekaligus mengancam penghidupan masyarakat yang bergantung pada EKB.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Seorang Pemuda dari Dusun Tanah Merah tengah mencari kepiting di hutan mangrove sekitar Pesisir Timur Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan Pesisir

Ancaman yang sudah mengintai EKB, juga dipahami dengan baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Lembaga Negara itu kini fokus untuk mengembalikan EKB yang rusak dan melakukan perluasan di seluruh Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, selain perluasan kawasan konservasi laut, pihaknya juga fokus untuk melaksanakan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian, diharapkan ekosistem mangrove dan lamun bisa sehat dan luas.

Kemudian, bisa meningkatkan simpanan dan serapan karbon dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap mempertahankan praktik ekonomi masyarakat pesisir yang berkelanjutan. Juga, bisa mengimbangi emisi dari kegiatan antropogenik.

“Tentu saja, mendorong masyarakat pesisir yang sejahtera dan tangguh,” ucap dia.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Victor Gustaaf Manoppo pada momen yang sama juga menyampaikan bahwa KKP fokus untuk membantu capaian Nationally Determine Contribution (NDC) Indonesia pada 2030 nanti.

Agar bisa mencapai NDC, maka pengelolaan EKB harus dilakukan dengan sangat baik oleh Indonesia. Jika itu berhasil, maka dampak lain juga akan terasa, yaitu penurunan emisi, dan peningkatan ekonomi pada masyarakat.

Untuk mengendalikan perubahan iklim, KKP mendapatkan dua mandat penting yang harus dijalankan. Pertama, menjadi penanggung jawab isu laut dan iklim untuk konvensi perubahan iklim. Kedua, menjadi pelaksana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada sektor kelautan.

baca juga : Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Upaya lain agar EKB bisa dikelola dengan baik, adalah dengan berupaya memasukkannya ke dalam dokumen NDC ke-2 pada 2025 nanti, dan Implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK), khususnya padang lamun.

Tak hanya itu, melalui kerja sama dengan UNDP Indonesia, KKP juga telah merancang aksi mitigasi perubahan iklim sektor kelautan untuk mendukung pencapaian target NDC Indonesia, salah satunya adalah ekosistem karbon biru.

Victor Gustaaf Manoppo menyebutkan, potensi penyerapan karbon di ekosistem pesisir Indonesia diperkirakan total mencapai 3,4 gigaton (GT). Jumlah yang sangat besar ini kira-kira sebesar 17 persen dari total karbon biru dunia.

Dengan total 3.364.076 ha hutan mangrove, karbon yang bisa diserap diperkirakan mencapai 11 miliar ton dengan nilai perkiraan moneter sebesar USD66 miliar. Sementara, dengan luas padang lamun sekarang, diperkirakan bisa menyerap karbon hingga 790 juta ton, dan nilai moneter sebesar USD35 miliar.

Saat mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil, KKP melakukan penguatan regulasi perlindungan kawasan cadangan karbon biru, pengalokasian ruang untuk mempertahankan atau meningkatkan cadangan karbon biru, dan peningkatan kualitas kawasan cadangan karbon biru.

“Serta penguatan sinergi pengelolaan karbon biru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tambah dia.

Di luar itu, peningkatan kontribusi karbon biru juga kini tengah menghadapi tantangan yang cukup pelik. Misalnya, ketersediaan data yang valid, metodologi yang diakui, serta perlunya dukungan berbagai pihak dalam penyusunan kerangka ekonomi, pembiayaan dan tata kelola karbon biru.

 

Exit mobile version