Mongabay.co.id

Menyoal Dominasi Sawit dalam Pengembangan Bahan Bakar Nabati

 

 

 

 

Kebijakan pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia merupakan respon terhadap ketergantungan bahan bakar fosil dan strategi mitigasi perubahan iklim. Dalam perjalanan, kebijakan BBN yang semula multikomoditas jadi dominasi sawit, karena dinilai melimpah. Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan BBN masih punya tantangan tata kelola dari aspek ekologis, ekonomi dan sosial.

“Jika dilihat siklus hidup hulu ke hilir, emisi yang dihasilkan cukup besar terutama karena fungsi hutan dan gambut yang beralih jadi perkebunan monokultur seperti sawit,” kata Kukuh Ughie Sembodho, peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan dalam diskusi beberapa waktu lalu di Jakarta.

Kukuh mengatakan, potensi alih fungsi hutan dan gambut makin besar dengan rendahnya produktivitas kebun sawit di Indonesia.  Kebutuhan sawit makin tinggi selain untuk energi, juga pangan dan ekspor.

Selain peningkatan emisi, alih fungsi hutan dan gambut menyebabkan keanekaragaman hayati berkurang serta bencana alam sepert banjir dan tanah longsor bertambah.

Dari segi ekonomi,  katanya, bergantungnya BBN pada subsidi dana sawit bisa membebani anggaran negara saat dana sawit kosong.

Meskipun program BBN ini terbukti menghemat anggaran impor solar, kebijakan BBN dinilai belum punya dampak signifikan pada kas pemerintah daerah dan petani.

Bagi Madani, hal yang perlu diperhatikan adalah harga BBN dipengaruhi minyak sawit dan solar. Dalam konteks sawit sebagai bahan baku utama BBN, tak ada skema dana bagi hasil (DBH) untuk pungutan ekspor sawit bikin pemasukan pemerintah daerah dari komoditas sawit jadi lebih kecil.

“Petani tak punya akses pada rantai pasok yang terhubung langsung dengan badan usaha BBN. Jadi, petani kembali menjual hasil kebun kepada tengkulak dengan harga lebih rendah,” katanya.

Dari aspek sosial, kajian ini juga menyebut, tak ada kebijakan yang memastikan penerapan prinsip hak asasi manusia (HAM). Akibatnya, ada celah krusial dalam ketelusuran rantai pasok.

Padahal, , katanya,  ini sangat penting dalam memastikan BBN benar-benar menerapkan prinsip keberlanjutan.

Operasi perkebunan sawit punya masalah pelanggaran HAM, seperti kondisi tempat kerja buruk, sistem kerja tidak adil dan diskriminasi gender. Juga ada konflik agraria terutama antara penduduk lokal dan perusahaan.

Tumpang tindih antara izin sawit dan lahan penduduk lokal serta wilayah adat membuat proses akuisisi lahan makin pelik. Apalagi,  kerap mengabaikan prinsip free prior inform consent (FPIC) hingga warga sekitar tak tahu informasi lengkap mengenai rencana pembangunan suatu perkebunan.

 

Tanaman jarak yang memiliki manfaat sebagai obat tradisional dan digunakan sebagai sumber energi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, Yayasan Madani menyarankan pemerintah perlu kembali merumuskan peta jalan implementasi kebijakan BBN yang belum diperbarui sejak pertama rilis pada 2006.

“Ini penting untuk memperjelas arah BBN di Indonesia, termasuk sebagai langkah strategis dalam menjawab tantangan terkait tata kelola BBN.”

Sebenarnya, kata Kukuh, ada beberapa agenda baik dalam peta jalan sebelumnya, tetapi realisasi masih minim. Jadi, agenda-agenda itu sebaiknya tetap dipertahankan dalam peta jalan terbaru antara lain rencana diversifikasi bahan baku BBN.

Pertama, penting meninggalkan dominasi satu bahan baku saja untuk meminimalkan potensi itu.

Kedua, perlu pengembangan bahan baku BBN nonpangan seperti minyak jelantah, jerami padi, brangkasan jagung, atau ampas tebu yang juga punya potensi berlimpah.

“Atau tanaman lain seperti nyamplung, malapari, kemiri sunan kaliandra dan gamal juga berpotensi dikembangkan di lahan yang terdegradasi.”

Ketiga, agenda lain yang perlu dipertahankan adalah penyediaan area khusus untuk bahan baku BBN. Indonesia, katanya,  punya lahan clean and clear 2,27 juta hektar untuk dimanfaatkan. Lahan ini bisa untuk menanam jarak, tebu, aren, pinang, kelapa, jagung, ubi jalar dan ubi kayu.

Potensi lahan ini, katanya, bisa diperkuat dengan keterlibatan petani langsung dalam pengelolaan perkebunan tanaman bahan baku BBN.

Keempat, skema insentif perlu diberikan tak hanya untuk BBN berbasis sawit agar pengembangan BBN non sawit tak tertinggal, terutama BBN generasi lanjut yang tidak menggunakan tanaman pangan.

“Perlu agenda peningkatan produktivitas lahan tanaman bahan baku BBN untuk menekan potensi pembukaan lahan yang berimplikasi pada deforestasi dan degradasi lahan.”

Terakhir, kewajiban memenuhi sertifikasi keberlanjutan juga perlu dimasukkan dalam peta jalan terbaru.

“Ini penting untuk memastikan rantai produksi BBN dari hulu ke hilir sudah menerapkan prinsip keberlanjutan. Dengan begitu aspek ketelusuran BBN dapat lebih terjamin baik dari aspek ekologis, ekonomi maupun sosial,” katanya.

Anggalia Putri, Knowledge Manager Yayasan Madani Berkelanjutan mengingatkan dokumen enhanced nationally determined contributions (ENDC) menargetkan BBN berkontribusi 46% dari total energi transportasi pada 2050.

Indonesia, katanya,  akan gunakan 18 juta kiloliter fame untuk B40 sampai 2030. Namun, katanya,  sejumlah riset dari berbagai lembaga belakangan juga menyoroti kebijakan BBN yang didominasi sawit berpotensi perlu lahan tambahan.

“Berbagai riset ini menyuarakan agar ini dipertimbangkan. Energi dan lahan harus ngobrol bareng,” kata Anggi lagi.

 

Sawit jadi sumber energi nabati utama di Indonesia. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Anggi menyarankan pengembangan BBN mesti beragam sesuai lokalitas dan perlu ada rambu-rambu agar tak berkompetisi dengan pangan.

Herbert Hasudungan, sub koordinator pengawasan usaha bioenergy Dirjen EBTKE KESDM menjelaskan latar belakang pengembangan BBN dari minyak sawit atau biodiesel memang karena potensi sawit Indonesia yang besar.

Tahun 2021, produksi sawit Indonesia mencapai 52,3 juta ton yang menjadikan Indonesia  penghasil CPO terbesar di dunia.  Selain itu, kata Herbert, program biodiesel yang saat ini sudah mencapai B30 (30% campuran minyak sawit dan solar), juga meningkatkan ketahanan energi nasional agar tak terus menerus mengandalkan impor.

“Perang Rusia dan Ukraina juga berdampak pada harga BBM. Harga CPO (minyak sawit mentah) lebih murah dari harga solar murni. Kalau tidak ada biodiesel, 10-13 juta kilo liter sudah mengandalkan impor, karena kemampuan domestik untuk BBM tidak cukup,” kata Herbert.

Dalam rencana umum energi nasional (RUEN) volume penyerapan biodiesel melebihi target.

Pada 2020 target 8 juta KL, realisasi 8,4 juta KL. Tahun 2021, target 8,9 juta KL, realisasi 9,3 juta KL.  Sedangkan pada 2022, dari target 10,6 juta Kl tercapai 11,2 juta KL. Tahun 2023,  target 11 juta KL.

Melihat penyerapan biodiesel selalu melebihi target sejak 2020, kata Herbert, kebijakan mandatori biodiesel akan terus jalan.

“Tidak ada regulasi yang akan menurunkan misal menjadi B5,” katanya.

Kondisi ini, katanya, juga dipengaruhi besarnya populasi, permintaan produksi dan suplai kebutuhan domestik.  Untuk memastikan biodiesel berkelanjutan, kata Herbert, pemerintah menetapkan volume yang harus dipenuhi bahan bakunya (feedstock).

Untuk diversifikasi bahan baku, katanya, pemerintah harus memastikan feedstock selalu terpenuhi. Untuk itu, pemerintah sedang mengupayakan Indonesia Bioenergy Sustainable Indicators (IBSI) yang memungkikan keberagaman bahan baku BBN seperti minyak jelantah, kemiri sunan, malapari atau pongamia.

 

Bambu, sumber energi biomassa. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

***

Julius Christian, peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, kajian IESR tahun lalu, menunjukkan  pada 2030 penggunaan biofuel stagnan karena ada keterbatasan dari sisi ketersediaan bahan baku dan tren penggunaan kendaraan listrik.

“Seberapa besar perlu bangun infrastrukturnya? Kilang itu dibangun untuk operasional lama, 30 tahun. Jangan sampai berlebihan kapasitas produksinya,” kata Julius.

Perkembangan teknologi lain seperti hydrogen cukup pesat juga berpotensi masuk ke transportasi darat.

“Ini berisiko jika kita terus mengembangkan biodiesel berbasis fame. Ia berbeda dengan green diesel yang bisa dikonversi menjadi bio avtur,” kata Julius.

Untuk itu, katanya, pemerintah perlu jeli memilih teknologi yang paling tepat untuk BBN, guna meminimalisir kerugian di masa depan.

Sementara untuk pengurangan emisi, belum ada kajian yang menghitung emisi yang dikurangi dengan analisis menyeluruh (life cycle).

 

Program sedekah minyak jelantah yang dijalankan Rumah Sosial Kutub. Hasil pengumpulan minyak jelantah itu dijual ke perusahaan energi di Eropa yang diolah menjadi biodiesel. Foto : Qonita Azzahra/Mongabay Indonesia

 

Lantas, instrumen ekonomi apa yang bisa diberikan untuk mendukung diversifikasi BBN?

Rafika Farah Maulia, peneliti LPEM FEB Universitas Indonesia mengatakan, instrumen agar punya sumber bahan baku BBN beragam tak melulu harus subsidi langsung. Bisa juga, katanya,  dengan pajak BBM, kredit pajak, insentif feedstock, hibah atau bantuan pembiayaan.

“Pajak BBM agak sulit karena akan menaikkan harga. Ini butuh pertimbangan politik juga,” katanya.

Untuk kredit pajak bisa berupa pengurangan pajak bagi perusahaan yang memproduksi BBN.  Insentif feedstock, misal penyedia bonggol jagung diberi insentif produsen bahan baku.

Juga hibah pembiayaan untuk berbagai kegiatan terkait pengembangan BBN seperti riset dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan.

Selain itu, katanya, bantuan pembiayaan bisa dengan membentuk skema pembiayaan khusus bagi produsen BBN seperti kredit suku bunga rendah.

Saat ini,  Indonesia gunakan kebijakan subsidi lewat BPDP KS dengan insentif lebih banyak dari pendapatan badan ini. Sedang pungutan biodiesel sementara tiada karena harga rendah.

“Rp110 triliun atau 76% dana BPDP KS mengalir ke biodiesel. Namun, tidak memberikan dampak siginifkan kepada kesejahteraan petani. Ini mungkin perlu evaluasi,” katanya.

Subsidi BBN, kata Rafika, cukup efektif mempromosikan bahan bakar alternatif, meningkatkan daya saing, dan menjaga keterjangkauan harga dibanding BBM.

Meski begitu, katanya, ia bisa berisiko terhadap peningkatan beban fiskal negara, mendorong peningkatan harga pangan dan berisiko terhadap lingkungan karena ekspansi lahan.

“Perlu instrumen kebijakan tak hanya langsung mempengaruhi harga output juga mendukung proses pengembangan BBN secara lebih luas seperti keberlanjutan, input bahan baku, efisiensi teknologi, infrastruktur, sumber daya manusia serta aksesnya.”

 

******

 

 

Exit mobile version