Mongabay.co.id

Keanekaragaman Hayati Bisa Masuk Mekanisme Transfer Fiskal Berbasis Ekologi

 

 

 

 

Transfer fiskal berbasis ekologi (ecological fiscal transfer/EFT) bisa jadi jawaban dalam mendorong keberlanjutan keanekaragaman hayati (kehati) Indonesia. Sayangnya, masih perlu langkah panjang untuk implementasinya, mengapa?

Ocky Karna Rajasa,  Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, kehati bisa memberikan manfaat di bidang pangan dan farmasi, perlindungan lingkungan, dan jasa lingkungan.

“Pariwisata berkelanjutan, hingga adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” katanya dalam diskusi bertajuk “Mengukur Keanekaragaman Hayati untuk Transfer Fiskal Berbasis Ekologi,” Januari lalu.

EFT bukan barang baru di tanah air. Ada tiga skema transfer anggaran berbasis ekologi yaitu transfer anggaran nasional berbasis ekologi (Tane), transfer anggaran provinsi berbasis ekologi (Tape) dan transfer anggaran kabupaten berbasis ekologi (Take).

Kebanyakan skema EFT ini masih berfokus pada penanganan perubahan iklim dan pengelolaan sampah. Belum ada indikator keberhasilan yang bisa berbuah transfer anggaran berbasis keberhasilan dalam mengonservasi keanekaragaman hayati.

Padahal, memastikan keberlanjutan kehati merupakan hal penting.

 

Hutan Papua yang lebat memiliki kekayaan keragaman hayati tinggi. Foto: Nanang Sujana

 

Dalam paparan Ocky mengatakan, Indonesia kaya kehati. Antara lain, 515 spesies mamalia, 270 spesies amfibi, 1.531 unggas dan merupakan terbesar ke-5 dunia. Ada juga 511 spesies reptil yang merupakan terbesar keempat dunia, 240 spesies tumbuhan langka, 2.827 spesies avertebrata, 121 spesies kupu-kupu. Juga, 480 spesies hard coral meliputi 60% spesies di dunia hingga 1.400 spesies ikan air segar.

Untuk ekosistem laut, katanya, terumbu karang di Indonesia mencapai 2,5 juta hektar atau 14% dari keseluruhan ekosistem dunia dan 292.000 hektar rumput laut.

“Ekosistem mangrove kita pun mencapai 3,4 juta hektar atau 23% dari dunia,” katanya.

Untuk itu, perlu upaya lain supaya kekayaan Indonesia bisa terus berkelanjutan dan memberikan manfaat. EFT bisa jadi satu solusi supaya pemerintah provinsi, kabupaten/kota, sampai desa bisa melindungi kehati mereka masing-masing.

Penerapan EFT juga bisa jadi solusi mengatasi tipisnya anggaran pengelolaan kehati di daerah. Namun, Erik Armundito,  Koordinator Keanekaragaman Hayati Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut,  pendanaan kehati bukan hal populer.

“Pemerintah dan swasta akan berhitung dua kali untuk menyalurkan dana ke pengelolaan kehati,” katanya.

Tak heran. Kalau alokasi anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) untuk pengelolaan kehati di kementerian atau lembaga minim. APBN 2021, Erik sebut hanya mengalokasikan 0,81% dana untuk pengelolaan kehati.

Sementara tren global menunjukkan setidaknya perlu dana US$100 juta per tahun untuk mengelola kehati. Jumlah ini,  naik jadi US$800 juta per tahun pasca 2020.

“Karena itu perlu mekanisme innovative financing. Salah satunya melalui EFT.”

 

 

Sinar merupakan bayi orangutan kedua yang lahir di Gunung Tarak. Foto: Dok. IAR Indonesia

 

Cari contoh

Keberhasilan EFT mendorong perbaikan lingkungan sudah ditemukan di beberapa negara. Jatna Supriatna,  Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) mengatakan, India satu negara progresif dalam implementasi EFT.

Bahkan, setiap state di India berlomba menaikkan tutupan hutan supaya kerja keras berbuah aliran fiskal dari pemerintah pusat. “Karena fiskal di sana berbasis hutan.”

Tak pelak, India memiliki tutupan hutan tinggi. Hal itu, katanya, juga jadi daya tarik untuk skema carbon offset yang sekarang sedang dilirik sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim.

Sayangnya, skema sama tidak diterapkan untuk kehati. Padahal, sudah banyak literatur menyebut kalau implementasi ini bisa jalan.

Biodiversity offset ini challenging, lebih rumit dari karbon. Juga bisa berjalan beriringan dengan transfer fiskal berbasis ekologi,” kata Jatna.

 

Atasi penurunan

Harapannya, dengan EFT bisa jadi satu solusi atas penurunan kehati di dunia dan Indonesia. Budi Setiadi Daryono,  Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (Kobi) mengatakan, populasi kehati mengalami penurunan sampai 69% selama 1970-2018. Dia merujuk data Living Planet Report 2022 WWF.

Dalam laporan disebut juga ada penurunan di Asia Pasifik mencapai 55%. “Kita tahu heart of Southeast Asia adalah Indonesia. Di bidang apapun, baik populasi manusia hingga keanekaragaman hayati. Di sini, terjadi penurunan tajam kehati dan kerusakan itu terjadi di depan mata,” kata Budi.

Erik bilang, proyeksi Bappenas 2045 yang menyebut potensi penurunan tutupan hutan dan penyusutan habitat spesies kunci. “Itu jika kita masih menerapkan bussines as usual.”

Spesies kunci berpotensi turun itu seperti,  orangutan Sumatera 22%, orangutan Borneo dengan tiga subspesies 21%, gajah Sumatera 59%, Gajah Kalimantan 4%, harimau Sumatera 20%, badak Jawa 37%, owa Jawa 54%, anoa 24% sampai babirusa 35%.

Dia mengutip data Interngovernmental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) 2019 menyebut, sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan hadapi ancaman kepunahan. “Hilangnya kehati bisa mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem.”

Joko Tri Haryanto,  analis kebijakan ahli madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, berharap, EFT bisa jadi solusi membuat kehati jadi income generator daerah. Selama ini, katanya, sektor kehati dan konservasi selalu dipandang sebagai biaya.

“Kalau daerah berhasil mengelola keanekaragaman hayati, bisa jadi income generator dan transfer fiskal dari pusat. Yang lain pun bisa berlomba-lomba melindungi kehati di daerah masing-masing.”

 

Badak sumatera hidup di hutan tropis yang terpencil dan lebat, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan angka akurat jumlahnya. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Kerjasama para pihak

Untuk menerapkan EFT berbasis kehati, perlu kerja keras dari berbagai pihak. Joko menyebut, kementerian dan kembaga  terkait dan akademisi harus bersinergi mengatasi isu teknis terlebih dahulu.

“Kehati ini banyak dan luas. Kita harus artikan dulu apa itu kehati? Jangan sampai ada beda pandangan,” kata Joko.

Secara teknis,  katanya, akademisi sudah banyak kajian bahkan bikin biodiversity index. Selanjutnya, membuat indikator keanekaragaman hayati seperti apa yang perlu ditingkatkan buat jadi acuan keberhasilan daerah menerima manfaat EFT.

Indikator-indikator ini, katanya, perlu dikaitkan dengan instrumen kebijakan untuk implementasi EFT.

“Jadi, teori dan kebijakan itu harus connect. Tidak ada kebijakan yang muncul tiba-tiba tanpa dasar teori yang baik.”

Indikator-indikator terkait kehati ini juga perlu disinergikan dengan penanganan perubahan iklim di daerah. Karena, kata Joko, kedua hal ini saling memengaruhi.

“Lagipula EFT perubahan iklim sudah settle dan achievment-nya cepat. Jadi kehati ini juga harusnya bisa connect di sini.”

Dari sisi pemerintah, setidaknya ada empat hal secara umum harus dimatangkan untuk menerapkan EFT, yakni, komitmen regulasi, kelembagaan, model bisnis, serta insentif dan disinsentif.

Selain itu, perlu peta jalan perlindungan dan pengelolaan kehati di tiap daerah guna membuat indikator pencapaian EFT berbasis kehati jadi jelas.

“Ini adalah living document, ya. Jadi bisa dikembangkan dan dievaluasi,” kata Joko.

 

 

********

 

Exit mobile version