Mongabay.co.id

Mengapa Penanganan Sampah Masih Karut Marut?

 

 

 

 

Sampah terus jadi persoalan di berbagai daerah di Indonesia. Tata kelola penanganan sampah masih karut marut. Prigi Arisandi,  Direktur Eksektutif Ecoton mengatakan, sampai hari ini pemerintah masih belum serius dalam penanganan sampah.

“Ketidakseriusan ini terlihat ada masalah sampah di sungai. Ini jelas berarti pemerintah tidak mampu menangani,” katanya ketika dihubungi Mongabay, belum lama ini.

Berdasarkan data Ecoton, hanya 60% sampah bisa tertangani dan terangkut. Seharusnya,  penanganan sampah harus selesai pada tingkat desa. Hingga yang terbawa hingga TPS dan TPA adalah sampah-sampah residu yang tidak bisa terkelola. “Sampah residu ini hanya sekitar 7% yang harusnya dikelola oleh industri.”

Penelitian Ecoton menunjukkan, regulasi tata kelola sampah di level daerah masih minim. Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia, tercatat 45% memiliki peraturan daerah persampahan dan retribusinya.

Dia bilang, perlu mendorong pemerintah daerah mengimplementasi konsep kota bebas sampah (zero waste city) dalam tata kelola sampah. Dukungan anggaran pun perlu ditingkatkan untuk infrastruktur pengelolaan sampah.

Mulai ada daerah-daerah melakukan upaya pembenahan, seperti di Kota Yogyakarta, Yogyakarta. Sejak 1 Januari 2023, Pemerintah Kota Yogyakarta,  mengimbau masyarakat memilah sampah dari rumah.

Depo Tempat Pembuangan Sampah (TPS) hanya menerima sampah organik. Sampah anorganik dikelola melalui bank sampah atau kelompok sejenis. Langkah ini guna mendukung program nol sampah anorganik di Kota Yogyakarta.

Budhi, warga Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, dalam lima tahun ini memilah sampah. Memilah barang-barang yang bisa dijual di bank sampah, seperti botol plastik, botol kaca dan kardus. Kantor plastik sekali pakai biasa disimpan dan digunakan berkali-kali.

Dia mendukung penuh upaya pemerintah kota. “Kami mendukung ini mengingat isu sampah kan sudah krisis ya di Jogja sampai mengalami TPA tutup karena kepenuhan,” katanya.

Meskipun begitu, katanya, program ini tak tersosialisasi dengan baik. Dia tahu hanya dari sosial media.

“Sosialisasi tidak ada sebulan, sesiap apa memang masyarakat yang harus mengelola. Masih banyak TPS yang sampahnya bercampur. Untuk memilah sampah kan selain butuh ‘terbiasa’ dan tempat penyimpanannya sebelum dijual.”

Selain itu, pemerintah juga perlu memberi informasi solusi terkait pengelolaan sampah anorganik yang tak diterima bank sampah, seperti kain. Juga mulai pembinaan pengelolaan sampah organik.

 

 

TPA Piyungan diprediksi tidak akan bisa menampung sampah di tahun 2023. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Pandemi sampah

“Sungai itu indikator jika pengelolaan sampah (di darat) itu buruk. Sampah itu menjadi silent pandemi,” kata Prigi.

Sampah-sampah yang masuk ke perairan, menyebabkan, sungai-sungai di Indonesia, banyak mengandung mikroplastik.

Data Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) 2022 Ecoton menemukan, sungai strategis di lima provinsi terdeteksi memiliki kandungan mikroplastik tinggi. Yakni, di  Jawa Timur (6,36 partikel/liter), Sumatera Utara (5,20 partikel/liter), Sumatera Barat (5,08 partikel/liter), Bangka Belitung (4,97 partikel/liter) dan Sulawesi Tengah (4,17 partikel/liter).

Dalam penelitiannya, Ecoton juga menguji kandungan mikroplastik di 68 sungai di berbagai provinsi. Adapun kontaminasi mikroplastik 49,2 % merupakan fiber (serat) bersumber dari degradasi kain sintetik akibat limbah rumah tangga seperti pencucian kain, laundry, dan industri tekstil.

Kandungan ini juga disebabkan sampah kain yang tercecer di lingkungan yang terdegradasi karena proses alam. Sebanyak 27,8% merupakan film (filamen) dari degradasi sampah plastik tipis dan lentur, seperti kemasan plastik sekali pakai dan botol plastik.

Sekitar 18,6% merupakan fragment dari degradasi sampah plastik seperti kemasan sachet banyak layer, tutup botol, botol sampo dan sabun. Sisanya, 4% merupakan pellet dan 0,4% foam.

“Pemerintah sama sekali tidak serius tangani sampah. Ini yang akan dibayar mahal generasi selanjutnya, karena penelitian sudah menyebutkan mikroplastik sudah mencemari lambung manusia, darah hingga ASI [air susu ibu].”

 

Truk-truk pengangkut sampah di TPS Piyungan, Yogyakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Ecoton mendesak, pemerintah pusat dan daerah membuat kebijakan atau strategi untuk menyelesaikan masalah persampahan dan tata kelolanya. “Pemerintah juga perlu membuat baku mutu atau nilai ambang batas mikroplastik di perairan sungai Indonesia. Juga pemulihan lingkungan dan pembersihan sampah plastik sebagai sumber utama mikroplastik.”

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbulan sampah nasional mencapai 68,5 juta ton. “Sekitar 17,89% atau 12 juta ton sampah plastik dengan kondisi belum terpilah dan sampah kertas 8 juta ton,”  kata Rosa Vivien Ratnawati,  Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) dalam refleksi akhir tahun KLHK.

Bahkan timbulan sampah paling besar adalah dari rumah tangga dengan komposisi terbesar sisa makanan.

Dia mengatakan,  capaian pengurangan sampah sampai 2021 sebesar 15% dan penanganan sampah 48%. Untuk mencapai target kebijakan strategi nasional 100% sampah terkelola, —30% pengurangan sampah dan 70% pengelolaan sampah— pemerintah memperkuat kebijakan Adipura.  Caranya, dengan penguatan kebijakan strategi daerah dan pembangunan sistem informasi pengelolaan sampah nasional (SIPSN).

,Pemerintah pun mendorong ekonomi sirkular dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sampah pada tingkatan produsen atau badan usaha. Hingga kini, sudah ada 15 badan usaha menerapkan dan terbukti sampah bisa dikurangi 1.145,5 ton.

“Industrialisasi sampah juga perlu didorong, karena keuntungan bisa Rp1,44 Triliun. Apalagi sekarang banyak anak muda yang membangun usaha pengelolaan sampah,” katanya.

 

Tumpukan berbagai macam jenis sampah yang didaratakan di Pelabuhan Muara Angke. Sampah-sampah tersebut diangkut menggunakan kapal motor. Foto: Falahi Mubrok/Mongabay Indonesia

 

Dana iklim

Sejalan dengan itu, Presiden Joko Widodo menyatakan, dana Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) harus teralokasi pada kegiatan nyata terkait lingkungan hidup.

Dia mengamanatkan, fokus alokasi dana BPDLH, yakni,  penanganan sampah dan rehabilitasi mangrove serta hutan hujan tropis.

“Untuk awal urusan sampah jadi prioritas. Saya pengalaman sejak walikota sampai sekarang, urusan sampah belum pernah namanya beres, 20 tahun lalu sudah mulai, sampai sekarang belum [selesai],” katanya Desember lalu.

Pada tahap awal, presiden memberikan arahan agar urusan sampah jadi prioritas. Anggaran di BPDLH didorong untuk menyelesaikan persoalan sampah hingga tak mencemari laut, sungai, maupun kota.

“Menggunakan sistem apapun silakan. Ini harus segera selesai. Barangnya nyata, dana ada, tapi urusannya gak beres,” katanya.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengatakan, untuk sinergi pendanaan lingkungan, KLHK sedang evaluasi dan konsolidasi kegiatan dalam dukungan kerja sama lintas sektor.

“Peran pemda sangat penting dalam peningkatan peran dan kapasitas sebagai pemanfaat dan kolaborator pengelolaan dana lingkungan hidup,” katanya.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan mengatakan,  pemerintah menjamin dana investasi mitra kepada BPDLH akan dikelola efektif, transparan dan akuntabel.

Berdasarkan data BPDLH, lembaga ini kini mengelola dana US$968,6 juta atau sekitar Rp14,52 triliun melalui skema pengelolaan BLU. Dana ini,  katanya, bisa dimanfaatkan kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, masyarakat, maupun perorangan untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup.

Dana sebesar itu,  dari dana reboisasi, hibah Green Climate Fund untuk proyek REDD+ RBP, hibah Ford Foundation melalui program community based program dana Terra, pinjaman Bank Dunia, mangrove for coastal resilience, dan lain-lain.

“Pengelolaan dana lingkungan hidup secara akuntabel dengan tata kelola bersandar internasional, sebagai pembiayaan mitigasi krisis iklim,” kata Sri Mulyani.

 

Sampah-sampah plastik sekali pakai banyak menumpuk di TPS Piyungan, Yogyakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

*********

Exit mobile version