Mongabay.co.id

Transparansi Kunci Tata Kelola Kelautan dan Perikanan

 

 

 

 

Sektor kelautan dan perikanan di Indonesia masih menghadapi banyak tekanan. Tata Kelola sektor ini perlu pembenahan.  Transparansi jadi kunci memperbaiki karut marut tata kelola ini.

Terlebih, Indonesia, termasuk dalam daftar 10 negara di dunia dengan ekspor perikanan terbesar.  Pun demikian, pertumbuhan penduduk yang diperkirakan mencapai 0,2% bakal terus menambah beban sektor kelautan dan perikanan karena eksploitasi masif. Untuk itu, perlu ada upaya serius menjaga daya kelautan dan perikanan.

“Kemajuan teknologi saat ini seharusnya bisa untuk meningkatkan pengawasan agar prinsip sustaibility sumber daya kelautan dan perikanan tetap terjaga,” kata Zulfikar Mukhtar, CEO Ocean Solution Indonesia (OSI) dalam webinar Januari lalu.

Pengawasan, katanya,  merupakan pilar penting dalam tata kelola sumber daya kelautan dan perikanan (SDKP). Masalahnya, bagian ini acapkali terlupakan, lebih banyak fokus pada manajemen sumber daya. Padahal, lemahnya pengawasan membawa efek domino.

Contoh, konflik antar nelayan baik melibatkan tradisional versus nelayan industri karena pelanggaran batas. Atau sesama nelayan tradisional yang biasa dipicu pelanggaran pakai alat tangkap ikan (API), banyak terjadi.

Belum lagi economic loss, katanya, kerapkali tak terhitung oleh pemerintah. Padahal, kerugian ekonomi dari pengawasan lemah ini tak sedikit.

Sebuah laporan penelitian menyebutkan, potensi kerugian penangkapan ikan ilegal bahkan mencapai Rp30 triliun lebih per tahun.

Zulfikar menyebut, jumlah itu belum termasuk valuasi ekonomi atas kerusakan terumbu karang atau eksploitasi mangrove. “Jadi pengawasan ini punya dampak sistemik, sangat luas karena itu perlu ada perhatian.”

Berdasarkan catatan Zulfikar, ada beberapa alasan pengawasan SDKP tak berjalan maksimal, seperti infrastruktur dan anggaran melah. Karena tak dianggap hal penting, katanya, anggaran pengawasan seringkali nomor dua. Akibatnya, pengawasan berjalan ala kadarnya.

Lalu, sumber daya manusia. Tak terbatas pada kualifikasi, juga distribusi hingga sinergi. Peran koordinatif oleh pemerintah seringkali tidak berjalan baik. Sebaliknya, yang sering terjadi justru miskoordindasi antara pusat dan daerah.

 

Kapal nelayan dari luar NTT yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Tenau, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jadi, katanya, pun berjalan lambat. “Contoh, praktik bom ikan banyak terjadi di daerah. Selama ini belum ditemukan rumusan efektif menekannya,” kata Zulfikar.

Disinilah,  teknologi bisa berperan mengisi celah berbagai persoalan dalam tata kelola SDKP.

Zulfikar bilang, pemerintah perlu membangun ekosistem digital dalam meningkatkan monitoring, controlling, surveillance (MCS) sektor kelautan dan perikanan. Dengan begitu, katanya, setiap data dapat dianalisa guna menentukan kebijakan.

“Dunia terus bertranformasi, karena itu pola dan sistem harus beradaptasi. Data, informasi dan tools harus disiapkan dan nyambung dengan kebutuhan yang ada.”

Menurut dia, data yang memadai akan memudahkan otoritas memahami pola dan simpul pelanggaran yang terjadi.

Penuturan yang sama disampaikan Imam Prakoso, pemateri dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Menurut dia, pemerintah harus mampu mengadopsi teknologi untuk menghasilkan data guna meningkatkan performa pengawasan SDKP.

Dia katakan, ada banyak wilayah perairan Indonesia yang jadi titik penangkapan ikan ilegal. Bila data-data  bisa terkumpul dan dianalisa, katanya,  akan jadi data penting  dalam menekan penangkapan ikan ilegal.

“Data itu perlu di-digitasasi agar mudah dianalisas. Hasilnya,  bisa menjadi data driven untuk menentukan kebijakan yang dibuat pada konteks pengawasan,” kata Imam.

Namun, Imam bilang, sistem MCS membutuhkan biaya besar. Apalagi, harus didukung infratruktur dan fasilitas memadai. Namun, katanya, usaha menjaga keberlanjutan perikanan dan memerangi perikanan ilegal bisa lebih maksimal.

Dia bilang, dengan memahami rangkaian data, tugas aparat akan lebih mudah. Patrol juga lebih terarah. “Bisa jadi acuan aparat melakukan pengawasan, tidak blank,” katanya.

Karena itulah, tranformasi digital dinilai sangat penting.

Azizah Hapsari, dari Environmental Justice Foundation (EJF) mengatakan, ada tiga hal yang jadi fokus pengawasan, sebagaimana UU Perikanan. Ketiganya saling terkait yakni, transparansi, inspeksi tengah laut dan inspeksi pelabuhan.

Transparansi, katanya,  jadi sangat penting karena mengindikasikan pemerintah serius mewujudkan tata kelopla yang baik (good governance) sektor perikanan.

“Bagaimana sustaibility, ketelusuran, itu bisa dilihat dari transparan tidaknya pemerintah.”

Begitu juga dengan inspeksi tengah laut. Hapsari bilang, kegiatan itu sangat penting dalam memastikan kedaulatan laut Indonesia. Apalagi, perairan Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara lain sangat rentan terjadi infiltrasi kapal asing.

Karena itu, inspeksi tengah laut sekaligus sebagai upaya melindungi sumber daya laut dan nelayan lokal.

Dia menyadari, inspeksi tengah laut memerlukan waktu dan biaya tak sedikit. Namun, katanya, teknologi integrated surveillance system (ISS) bisa memudahkan dan membantu aparat agar inspeksi berjalan efektif.

Dalam inspeksi, katanya, petugas atau inspektur harus turun langsung ke kapal. Bukan hanya memeriksa surat izin dan nomor registrasi kapal, juga memastikan kebenaran data kru atau awak kapal guna mencegah kejahatan, seperti perbudakan dan lain-lain.

“Juga memastikan,  apakah para awak kapal ini mendapat perlakuan, makanan layak atau tidak,”  katanya.

Selain itu, kesesuaian alat penangkap ikan (API) dengan izin yang diberikan juga harus diperiksa. Termasuk, pengecekan silang antara ikan hasil tangkapan dengan data yang dilaporkan pada logbook.

 

Salah satu dari dua kapal ikan asing berbendera Malaysia yang ditangkap oleh petugas dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  di Selat Malaka pada Rabu (8/6/2022). Foto : KKP

 

Selain inspeksi tengah laut, pemeriksaan pelabuhan juga tak kalah penting. Menurut Hapsari, dengan inspeksi pelabuhan, pengawasan kapal akan lebih komprehensif guna melengkapi pemeriksaan tengah laut.

Dalam praktiknya, pemeriksaan pada setiap kapal yang hendak keluar-masuk pelabuhan.

Thailand, katanya, satu contoh baik dari inspeksi ini. Di negara Gajah Putih itu, pemeriksaan tak hanya pada kelengkapan dokumen dan hasil tangkapan juga awak kapal. Secara acak, mereka menjalani wawancara guna memastikan ada perlakuan layak.

Menurut dia, inspeksi ini akan berjalan efektif bila kapal ikan keluar dan masuk melalui pelabuhan pemerintah bukan swasta karena justru berpotensi terjadi pelanggaran lain.

Setidaknya,  ada 10 variabel untuk membangun tata kelola kelautan perikanan yang transparan. Beberapa, katanya, sudah dijalankan otoritas terkait tetapi sebagian belum terlihat.

Variabel itu, yakni, pemberian nomor unik pada kapal. Nomor ini, kata Hapsari,  sekaligus jadi penanda kapal. “Walaupun berubah nama, tempat, maupun pemilik, kapal ini masih bisa diidentifikasi sampai akhirnya kapal itu benar-benar tak lagi dipakai atau hancur.”

Variable lain, membuka data kapal sebagai data publik, termasuk data tangkapan, para kru, kepemilikan dan juga izin operasi, hingga pelabuhan pangkalan.

Berikutnya, publish punishment. Menurut Hapsari, selama ini, publikasi pelanggar hanya terbatas pada nama kapal, tak mencakup pemilik.

Padahal, mengumumkan sanksi bagi kapal pelanggar kepada publik sangat penting untuk memberi efek jera. Lalu, ada larangan alih muatan dari kapal satu ke kapal lain di tengah laut.

Hapsari bilang, saat ini, praktik alih muatan tengah laut boleh lagi, meski sempat dilarang.

Dia meragukan,  beberapa persyaratan meyangkut itu berjalan sesuai ketentuan atau tidak. Yang pasti, katanya, kapal yang terlihat alih muatan ak boleh dari dua perusahaan berbeda.

Variabel lain, setup diigiital database. Mulai dari registrasi kapal, hasil tangkapan, hingga nama kru kapal. Selain itu, ada kejelasan pihak yang paling diuntungkan dari beroperasinya kapal (beneficial ownership).

“Semua ini harus terintegrasi dalam database yang nantinya publik juga bisa monitoring,” kata Hapsari.

Pemerintah, katanya,  perlu ungkapkan pemilik dari kapal yang sedang beroperasi. Sebab, dalam banyak kasus, beberapa perusahaan memiliki perusahaan alihan yang terdaftar dalam register kapal. Terakhir, komitmen penegakan hukum bagi kapal yang melanggar.

 

Seorang nelayan membawa ikan tuna sirip kuning. Foto : WWF/ Jurgen Freund

 

******

Exit mobile version