Mongabay.co.id

Kala Hutan Orang Tobelo Dalam Terus Tergerus Tambang Nikel

 

 

 

 

 

“Saya punya, saya pemiliknya. Coba perhatikan saja kalau bukan saya yang tanam, sedangkan di sana ada bekas tempat rumah saya. Saya tidak izinkan mereka mengambilnya.,” kata Hairani,  perempuan Tobelo Dalam,  mengeluhkan hutan yang jadi ruang hidupnya, perlahan hilang, belum lama ini.

Bersama Turaji, suaminya,  dia tinggal di belakang perkampungan Desa Loleba. Mereka terpaksa bergeser ke hutan itu, lantaran lokasi sebelumnya di Moleo Ma Bohuku (Tofu), tidak lagi nyaman karena air sungai dan hutan sudah rusak.

Hairani, dan Turaji, serta warga Tobelo Dalam yang lain terusik karena ruang hidup terganggu aktivitas sejumlah perusahaan tambang nikel.

Orang Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa seperti Hairani dan Turaji,  hidup bergantung hutan. Hutan rusak, mereka tak dapat berbuat banyak dan terpaksa menghindar, mencari lokasi baru yang dianggap nyaman.

Ngigoro Batawi, pria Tobelo Dalam yang lahir di Tofu mengatakan, Komunitas Tobelo Dalam terganggu dengan pembukaan hutan oleh perusahaan tambang seperti PT Weda Bay Nickel—sekarang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)—hingga bergeser ke timur Subaim.

“Saat ini [hutan Orang Tobelo Dalam] dibangun beberapa kamp perusahaan. Sub kontraktor dari IWIP, perusahaan megaproyek nikel dan smelter yang kini produksi di Halmahera Tengah,” katanya.

Novenia Ambeua, keturunan Tobelo di pesisir Wasile Selatan, sedih mendengar kondisi Hairani dan Toraji yang harus meninggalkan hutan mereka.

Dia bilang,  meski mereka nomaden atau berpindah, namun ada tempat dimana akan kembali.  Tempat Hairani ini adalah di Tofu. Mereka sudah ada di tempat itu turun menurun. Namun, mereka harus pergi karena  terganggu aktivitas perusahaan.

Dia kecewa kepada pemerintah, baik kabupaten sampai pusat yang seakan tak peduli dengan keberadaan masyarakat adat di Halmahera,   seperti di Wasilei Selatan ini.

 

Baca juga: Ketika Tambang Nikel ‘Kuasai ‘Hutan Halmahera Tengah

Aktivitas pertambangan terhenti karena aksi protes masyarakat adat Tobelo Dalam di Halmahera, September tahun lalu. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Mengenal Tobelo Dalam

Menurut Syaiful Madjid, Sosiolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMU), dalam penelitiannya mengklasifikasi Suku Tobelo jadi dua, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan) dan O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir).

Sedang kata Togutil, katanya, adalah penyebutan orang luar terhadap Orang Tobelo yang tinggal di hutan.

Sayangnya, penyebutan kata Togutil berkembang jadi stereotip—bermakna konotatif.  Ada juga sebutan Orang Tobelo Luar dan Orang Tobelo Dalam.

Untuk kata O’Tau Gutili,  sebenarnya  berarti rumah obat atau tempat Orang Tobelo melakukan proses pengobatan.

Dalam penelitian dia terlihat kalau O’ Hongana Manyawa membagi wilayah mereka antara lain ada produksi, konsumsi, bahkan hutan lindung.

Pembagian itu, katanya, sebelum Pemerintah Indonesia memetakan status hutan sesuai versi mereka seperti hutan lindung, hutan produksi, maupun hutan konservasi seperti taman nasional.

Dalam klasifikasi Orang Tobelo Dalam,  punya tiga bagian: Fongana, Hongana, Raima Hamoko.

Fongana itu tempat leluhur. Kalau Hongana, tempat tinggal dan tempat meramu, berburu, dan lain-lain. “Jadi, kalau Fongana adalah hutan lindung. Hongana itu disebut hutan kehidupan mewarisi kehidupan turun temurun di sekitar situ,” katanya.

Untuk Raima Hamoko,  sama dengan hutan produksi merupakan sumber kehidupan. “Itu sama dengan negara membagi hutan ada hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi.”

Dia ingatkan, investor yang beroperasi di Halmahera, harus mempertimbangkan keberadaan Komunitas Tobelo Dalam yang  hidup bergantung hutan.

“Investor yang masuk tanpa melalui daerah, namun langsung pemerintah pusat.  Apa yang didapatkan komunitas adat di hutan Halmahera? Saya anggap tak ada manfaat, malah merusak kearifan lokal.”

 

Baca juga: Nestapa Orang Tobelo Dalam di Tengah Ruang Hidup yang Terus Terancam

 

Yesaya R. Banari, peneliti juga penulis buku “Mencari yang Pernah Hilang”, mengatakan, istilah Tobelo Dalam adalah penyebutan atau nomenklatur dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),  dimana merujuk kepada komunitas atau suku yang tinggal di pedalaman Halmahera.

Mereka ini, katanya,  berbahasa Tobelo. Dalam konteks Bahasa Tobelo itu disebut O Hongana Manyawa yang berarti orang yang tinggal di hutan.

Ruang hidup Tobelo Dalam tersebar dari Halmahera Utara, Halmahera Timur sampai Halmahera Tengah. Ia sebagian besar di daerah antara Halmahera Tengah dan Halmahera Timur dan sekitar.

Ruang hidup mereka, katanya,  berada di hutan rimba. Selama ini, mereka tak terusik karena dari satu kelompok dan kelompok lain punya batas-batas. Mereka tidak saling intervensi. Artinya, satu kelompok dari Tobelo Dalam tidak bisa masuk ke kelompok Tobelo Dalam yang lain. Jadi, katanya, banyak sekali pemukiman dan ruangan hidup mereka di wilayah hutan itu berbeda antara satu dengan yang lain.

Nah, saat ini timbul banyak masalah karena masuknya kaveling-kaveling perusahaan.”

Ada juga  orang-orang yang mengkaveling lahan lalu menjual antara lain ke pertambangan.

Disinilah, katanya,  O Hongana Manyawa terdampak, yang awalnya berpindah-pindah, tetapi di ruang lingkup mereka sendiri. Sekarang, mereka harus berpindah ke tempat yang lain.

“Hingga tejadi semacam pergeseran, itu yang dalam bahasa AMAN, ‘kami tidak mau mereka mengalami kepunahan’,” katanya.

Ketika alam dan hutan dikuasai orang lain, kehidupan mereka jadi terbatas. Padahal, hutan itu adalah kehidupan mereka.

 

Aksi Masyarakat Adat Minamin dan Saolat di Hutan Tofu. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Protes Orang Tobelo Dalam

Ratusan Orang Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat aksi pemalangan aktivitas pertambangan IWIP di  Hutan Adat Tofu, Kabupaten Halmahera Timur, September tahun lalu. Mereka yang aksi ini dari Desa Saolat dan Minamin.

Aksi mulai dengan ritual adat oleh dari kedua desa di pesimpangan jalan pertambangan WBN/IWIP.

Tetua adat dari kedua desa ini mengikrarkan sumpah adat. Tanah-tanah di sekitar warga diambil segenggam barulah dibacakan doa oleh kedua tetua adat. Usai doa, tanah-tanah itu dikumpulkan oleh tetua adat dan dimasukkan kedalam “Harangata” yaitu pelepah pinang yang dianyam seperti bentuk mangkuk.

Tanah-tanah ini lalu dibungkus dengan kain berwarna merah yang akan ditanam di sekitar ruas jalan perusahaan.

Selain ritual adat, aksi ini juga diiringi tarian cakalele. Tarian perang masyarakat adat Maluku, khusus Halmahera.  Tarian ini menambah kemeriahan aksi ini yang diikuti irama music tradisional tifa dan hitadi, sejenis bambu.

Ritual ini berakhir dengan prosesi adat “Bugo”. Ritual Bugo ini merupakan puncak aksi ritual adat dari kedua desa ini.

Meski demikian, mereka mengancam terus menduduki jalan perusahaan sampai ada jawaban pasti atas tuntutan mereka.

Paulus Papua, Ketua adat Desa Minamin, menyampaikan tujuan upacara ritual adat ini untuk mempertahankan tanah adat. Juga mengembalikan kedaulatan pengelolaan hutan adat.

“Selama ini,  korporasi pertambangan sudah mengambil alih kerja sama dengan birokrasi, tanpa izin bahkan tidak melibatkan proses tahapan ini dengan masyarakat adat, hingga kami datang ke tempat ini untuk ritual adat,” katanya.

Wilayah adat mereka, katanya, sudah dirampas.

Yustinus Papuling, Ketua Adat Desa Saolat (Para-para) mengatakan, Komunitas Hoana Wangaike Minamen Saolat, sudah berusaha agar tuntutan didengar pemerintah namun diabaikan.

Dia meminta, para petinggi negara,  Presiden Joko Widodo, bisa memperhatikan nasib dan kehidupan warga di Halmahera.

“Tanah ulayat Masyarakat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat sudah diambil pertambangan.”

Mongabay beberapa kali mencoba menghubungi perusahaan melalui alamat email, telepon maupun kanal pesan, sampai berita ini terbit belum ada balasan.

 

Pertemuan Masyarakat Adat Minamin Saolat bersama Forkopimda Halmahera Timur. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah Halmahera Timur adakan pertemuan  bersama masyarakat adat dua desa itu. Anjas Taher,  Wakil Bupati Halmahera Timur mengatakan,  pemerintah mengakomodir aspirasi masyarakat.

“Kita memediasi, yang jelas pemerintah daerah di tengah untuk menjembatani dua kepentingan ini. Kepentingan masyarakat juga harus kita lindungi dan kepentingan perusahaan juga harus kita jaga. Kedua-duanya akan kita pertemukan untuk memediasi,” kata Anjas Oktober 2022.

Pemerintah, katanya,  menampung aspirasi maupun tuntutan dari masyarakat dua desa. Aktivitas perusahaan pada Oktober lalu lumpuh total karena dipalang warga melalui tradisi adat.

“Dari tokoh adat sudah jelaskan itu kalau kalau tradisi Bugo tidak bisa dibuka. Secara kebetulan juga dari pekerja perusahaan sudah bersepakat dengan mereka. Pemerintah hanya mediasi saja.”

Anjas mengakui, hutan tempat aktivitas tambang ini dari dulu sudah ada penghuninya, yaitu,  Suku Togutil. Untuk data Orang Toguti di hutan, perlu pendataan.

“Pemerintah dalam pendataan. Ada juga warga yang belum keluar di sana. Misal, di Titipa, dan Tutuling itu beberapa komunitas ada memang.”

Begitu juga Orang Tobelo Dalam di belakang perkampungan Desa Minamen dan Saolat, dia bilang belum mendata karena keberadaan mereka jauh di hutan.

“Dinas Sosial nanti cek lagi. Ini kan soal data tapi bahwa ada masyarakat adat dari dulu sudah ada.”

Dia akui juga banyak lahan adat tumpeng tindih dengan wilayah pertambangan.

“Memang rata-rata suku-suku kita di dalam hutan itu berada dalam kawasan pertambangan. Ini menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus.”

Sebagai perpanjangan dari pemerintah pusat, kata  Anjas, Pemerintah Haltim berkewajiban meneruskan aspirasi masyarakat dan wajib menyampaikan ke pusat.

Samsudin Abdul Kadir,  Sekretaris Daerah Maluku Utara, kepada Mongabay berjanji memediasi persoalan lahan masyarakat adat Tobelo Dalam ini.

“Saya kira, nanti ada yang bisa kita jembatani. Karena tidak selesai persoalannya, kalau tidak ada koordinasi untuk menjembatani itu.”

Terkait tuntutan pengembalian hutan adat yang kena kaveling perusahaan, pemerintah daerah akan tinjau kembali. Begitu juga peraturan daerah soal masyarakat adat. “Kalau mengatur sifatnya lokalitas kabupaten maka tentu saja peraturan dari kabupaten.”

Antar satu suku dengan suku lain, katanya,  punya hukum adat berbeda dan tak mungkin dicampur dalam satu peraturan.

“Kalau itu harus berbeda maka itu domainnya harus kabupaten. Tapi saya harus mengecek ke bagian hukum agar jelas.”

 

Aksi Masyarakat Tobelo Dalam menolak pertambangan nikel. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

********

 

 

Exit mobile version