Mongabay.co.id

Cerita Sukses Budi Daya Sidat Berkelanjutan dari Cilacap 

 

Hampir 15 tahun terakhir, Ruddy Sutomo membudidayakan sidat yang kini berpusat di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng). Karena sudah belasan tahun berkecimpung dalam budi daya sidat, Ruddy sudah cukup tahu bagaimana membudidayakan sidat dengan baik. Sekaligus dia menyadari pentingnya pelestarian sidat untuk keberlanjutannya.

“Kita tahu bahwa sidat tidak seperti belut, ikan gurame, nila, lele dan lainnya. Kalau itu bisa dikembangbiakkan sendiri. Namun, untuk sidat tidak mungkin. Karena sidat memijah di laut dalam. Inilah yang membedakan antara sidat dengan ikan budi daya lainnya. Karena itulah, maka dibutuhkan komitmen untuk menjaga keberlanjutan budi daya sidat,” katanya.

Sidat (Anguilla spp.)  merupakan salah satu sumber daya perairan Indonesia dengan karakteristik khusus dengan pola hidup katadromus. Yakni hidup mendiami beberapa kondisi perairan termasuk perairan tawar, payau dan laut.

Selama hidupnya sidat melewati beberapa siklus hidup. Pada fase larva di daerah laut terbuka, fase anakan di daerah paparan benua hingga payau, fase sidat berada di daerah hilir sungai, fase dewasa berada di daerah hulu sungai termasuk danau dan sumber mata air.

Sebagai pelaku budi daya sidat, Ruddy harus mengutamakan perlindungan ekosistem dan pengelolaan komoditas sidat secara berkelanjutan. “Bagaimana membudidayakan sidat secara berkelanjutan, itu yang penting. Sebab, sidat tidak bisa dipijahkan. Pemijahan harus berlangsung di alam. Kalau tidak berkelanjutan, maka bisa terjadi kelangkaan, bahkan kepunahan. Jika terjadi kepunahan, yang rugi juga pembudidaya,”ujarnya.

baca : Sukabumi Jadi Pelindung Pertama Sidat di Indonesia

 

Saat sidat dipanen di lokasi pembudidayaan di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sehingga dia berkomitmen untuk mengembalikan indukan ke habitatnya supaya siklus kehidupan sidat dapat terus berlangsung. Komitmen tersebut diwujudkan dengan mengalokasikan 2,5% indukan ikan sidat untuk dilepasliarkan. Misalnya, jika ada 1.000 ekor indukan yang dipanen, maka 25 ekor yang dirilis ke alam.

“Jadi, 2,5% dari sidat yang telah dibudidayakan dilepaskan. Tujuannya untuk restocking di sungai-sungai, agar bisa melakukan pemijahan secara alami. Sebelum dilepas ke sungai, diberikan tanda khusus. Sehingga bila ditemukan nelayan dapat diketahui pergerakannya ke mana,” paparnya.

Sementara Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan Cilacap Indarto mengatakan apa yang dilakukan oleh para pembudidaya sidat di Cilacap menjadi kewajiban dan kini telah menjadi kearifan lokal.

“Mereka menyadari bahwa tidak memungkinkan bagi pembudidaya untuk memijahkan. Maka dari itu, maka indukan harus dilepas supaya biota tersebut dapat memijah. Kalau memijah, maka keuntungannya juga diperoleh oleh para pembudidaya kembali. Karena mereka bisa menangkap anakan sidat untuk dibesarkan,”kata Indarto.

Menurutnya, pihaknya juga terus memberikan pengarahan sesuai dengan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Misalnya saja soal pelarangan ekspor benih. Maka diperlukan kesadaran bersama sekaligus melaksanakan pemantauan. Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga melarang penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti memakai stroom listrik dan racun.

“Langkah lainnya adalah menjaga habitat sidat. Lingkungan tempat hidup sidat itu tidak hanya laut, tetapi alur sungai yang bermuara ke laut. Inilah pentingnya menjaga lingkungan yang menjadi alur sidat dari muara hingga hulu sungai,”katanya.

Pasalnya, sesudah memijah di lautan dalam, lalu beruaya atau berpindah ke arah muara. Jadi, insting sidat akan mengarah ke hulu sungai. “Sehingga memang kalau sidat yang besar-besar berada di sungai, baru nanti berpindah ke laut dalam untuk memijah. Kami terus mendorong supaya kekayaan biota tetap terjaga dengan melaksanakan konservasi,” tandasnya.

baca juga : Semakin Populer, Sidat Semakin Terancam

 

Pelepasan indukan sidat ke habitatnya di DAS Cibereum, Kedungreja, Cilacap, supaya tetap terjaga keberlanjutannya. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia.

 

Jadi Usaha Menggiurkan

Perjalanan Ruddy Sutomo sebagai pembudidaya sidat sudah cukup panjang. Bahkan, dia mengalami jatuh bangun dalam membudidayakan sidat. Dia mulai tertarik budi daya pembesaran sidat setelah ada orang Jepang yang mencari dirinya.

“Waktu itu, orang Jepang mencari unagi. Ternyata setelah berkeliling di Kaliwungu, Kedungreja sini, yang dimaksud unagi adalah sidat. Awalnya saya benar-benar tidak tahu. Karena sudah ketemu dengan yang dicari, maka kami diminta untuk mengirimkan ke Jepang,”jelasnya.

Singkat cerita, lanjut Ruddy, pihaknya mengirimkan ke Jepang. Volumenya tidak banyak hanya 500 kilogram. Tetapi, pengiriman hanya dua kali, setelah itu berhenti. Ternyata, alasan orang Jepang tidak lagi mau menerima, karena unagi atau sidat yang dikirimkan berasal dari tangkapan alam.

“Orang Jepang ternyata tidak suka sidat yang langsung diambil dari alam. Mereka lebih memilih sidat hasil budi daya.  Masalahnya kalau sidat dari alam itu dagingnya terlalu tebal, tidak empuk, amis dan bau lumpur. Oleh karenanya, saya memulai untuk mencoba budi daya. Karena sesungguhnya, potensi pasar sidat begitu besar,”katanya.

Ruddy mengawali budi daya pada tahun 2010, dengan suplai sidat berukuran glass eel. Pakan dengan seadanya saja. Ternyata, hasilnya tidak sesuai perkiraan. Malah bisa dibilang gagal total.

“Hingga akhirnya, ada orang Jepang lagi yang datang ke Cilacap pada akhir 2012. Ia datang bersama orang dari pemerintahan Jepang yang mengurusi perikanan. Saya mendapat pelatihan khusus, bagaimana budi daya sidat sekaligus cara membuat pakan sidat dengan nilai protein tinggi,”jelasnya.

baca juga : Mencegah Ikan Sidat Punah di Perairan Indonesia

 

Pembesaran sidat di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2013, mulailah Ruddy mengimplementasikan ilmunya yang diperoleh dari orang Jepang tersebut. “Saya mencoba membuat pakan sidat di Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasilnya bagus. Bahkan, saya dapat mengekspor pakan sidat ke Vietnam hingga empat kontainer. Saya berpikir, inilah modal saya untuk meneruskan budi daya sidat yang sempat gagal. Hingga akhirnya, saya pulang kampung memanfaatkan sawah milik keluarga untuk kolam. Lokasinya strategis, karena berada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Cibereum. Hasilnya ternyata bagus, dan saya putuskan untuk makin serius di tahun berikutnya,”katanya.

Selama tiga tahun 2014-2017, Ruddy membudidayakan sendiri dibantu oleh warga. Pada tahun 2017, dia kemudian membentuk kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan). Kini Pokdakan telah menjelma menjadi Koperasi Sidat Bersatu sampai sekarang. Ruddy kemudian menjadi manajer koperasi.

Bahkan, kini Kaliwungu ditetapkan sebagai kampung sidat. Namanya Kampung Sidat Kaliwungu dan ditetapkan pada 2018 silam. Lokasi setempat menjadi percontohan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tak hanya itu, Kaliwungu dijadikan lokasi demonstrasi pertama IFish yang merupakan proyek kerja sama antara FAO dan KKP dengan dukungan dari Global Environment Facility (GEF).

baca juga : Ikan Sidat, Primadona Kuliner Jepang dari Indonesia

 

Ikan Sidat yang mirip ikan belut ini disukai oleh masyarakat Jepang sebagai unagi. Foto : DKP Pemprov Jatim

 

Dengan Koperasi Sidat Bersatu, usaha pembudidayaan sidat terus berkembang. Dengan jumlah anggota sebanyak 27 orang, produksi sidat setiap bulannya dapat mencapai 1 ton. Pendapatan yang diperoleh berkisar antara Rp360 juta hingga Rp400 juta. “Pendapatan cukup lumayan dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat,”ujarnya.

Pangsa pasar memang masih sangat besar, karena koperasi diminta untuk mencukupi kebutuhan hingga 50 ton setiap bulannya. Meski terus menggenjot produksi, tetapi koperasi tetap memegang komitmen untuk konservasi. Yakni tetap merilis sebagian indukan, supaya terus terjada ketersediaan benih sidat. (***)

 

Exit mobile version