Mongabay.co.id

Kasus Konflik Lahan Masih Sering Terjadi di Jawa Timur

 

 

Ancaman kerusakan lingkungan terus disuarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Jawa Timur. Terutama wilayah pesisir yang ada aktivitas tambang emas, tembaga, hingga pasir besi.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, mengatakan pemberian konsesi tidak memperhatikan kerawanan bencana bila kawasan itu ditambang. Ini terlihat mulai dari Tumpang Pitu, Silo, Selok Awar-awar, Jolosutro, Malang Selatan, hingga Pacitan.

“Wilayah Tumpang Pitu di Banyuwangi, sering terjadi banjir lumpur terutama saat hujan lebat. Padahal  pesisir selatan masuk kategori merah atau rawan bencana.”

Walhi juga menyoroti kebijakan rencana tata ruang wilayah [RTRW], yang disusun tanpa memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungan.

“Seharusnya ada banyak potensi lain yang bisa dikembangkan, selain tambang,” ujarnya.

Menurut Wahyu, Kota Batu dapat dijadikan contoh buruknya penataan ruang. Kawasan hulu yang seharusnya dilindungi menjadi lahan pertanian semusim. Sementara, lahan pertanian dan pangan berkelanjutan beralih fungsi menjadi penginapan dan wisata buatan.

“Faktor ekonomi sering dijadikan dalil pembenaran alih fungsi lahan, dengan alasan kebutuhan masyarakat. Tidak melindungi wilayah bawah, sama saja membuka potensi kehancuran bagian atas. Ekonomi masuk, bencana juga datang,” jelasnya.

Baca: Konflik Agraria Berlarut, Lebih 20 Ribuan Orang Desak Bebaskan Petani Pakel Banyuwangi

 

Pegunungan di Trenggalek ini merupakan sumber mata air yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan sektor pertanian. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kasus sengketa lahan

Tidak lepas dari masalah lahan, catatan kolaborasi Walhi Jawa Timur dan LBH Surabaya, menyebut kasus hukum yang menjerat warga masih banyak terjadi di Jawa Timur. Kasus paling banyak berkaitan dengan penolakan warga atas aktivitas tambang, perkebunan, dan sengketa lahan.

Kepala Divisi Riset, Pengembangan dan Kerja Sama, Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Surabaya, Mohammad Sholeh, menyoroti kasus hukum dan kriminalisasi terhadap warga di Pakel, Banyuwangi. Selama 2022, laporan kriminalisasi yang ditangani LBH Surabaya mencapai 20 kasus.

“Seringkali, instrumen hukum dijadikan alat untuk membuat gerakan warga tertekan, kemudian warga takut. Itu sering dilakukan dan terjadi tahun 2022,” paparnya.

Baca juga: Konflik Lahan, Petani Banyuwangi Lapor Mabes Polri

 

Warga, aktivis lingkungan dan mahasiswa melakukan aksi di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, menolak tambang emas Tumpang Pitu, Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Menurut Sholeh, instrumen hukum yang paling sering digunakan untuk merepresi warga adalah KUHP, UU Perkebunan, dan UU Minerba jo UU Cipta Kerja, yang di dalamnya diatur terkait pertambangan, termasuk pidana terhadap orang-orang yang menghalang-halangi tambang.

Bahkan, pada 3 Februari 2023, petani dan perangkat desa di Pakel, Banyuwangi, diculik dan ditahan pasca-konflik dengan perusahaan.

“LBH Surabaya berharap warga yang tidak bersalah dilepaskan. Penanganan konflik lahan harus dilakukan lebih baik dan profesional,” jelasnya.

 

Exit mobile version