Mongabay.co.id

Masa Depan Energi Indonesia Bakal Tetap dalam Cengkeraman Batubara?

 

 

 

 

Batubara bakal masih mencengkeram dan mendominasi energi Indonesia hingga berpuluh tahun ke depan. Tak hanya lewat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), tetapi rencana transisi energi bersih dalam negeri pun masih disusupi energi fosil ini.

Upaya mengawetkan batubara terlihat jelas dari Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan–awalnya RUU Energi Terbarukan– yang masih dibahas di DPR. UU itu mengategorikan bahan bakar kotor ini sebagai energi ‘baru’ selama menggunakan teknologi likuifaksi dan gasifikasi.

Hal ini menjadi kontraproduktif terhadap rencana phase out 5,52 giga watt (GW) PLTU batubara oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sampai 2030.

Hadi Priyanti, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan, upaya transisi energi ini terlihat semu dan tetap dicengkeram batubara.

“Sepertinya ini memang sengaja dipakai untuk memperpanjang usia batubara. Walau memang dalam kemasan lebih green. Mungkin nanti akan ada istilah lain seperti green coal dan sebagainya,” kata Hadi Priyanti, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Gasifikasi dan likufaksi batubara ini, katanya,  sejatinya bukan energi baru. Hadi menyebut,  teknologi ini ada sejak 1970 dan sudah ditinggalkan.

“UK (United Kingdom) sudah melakukan itu. Malah sekarang sudah menutup teknologi ini,” katanya dalam jumpa media belum lama ini di Jakarta.

Karena itu, penggolongan hilirisasi batubara ini dalam RUU EBT merupakan hal jelas menunjukkan kalau regulasi ini hanya mencari jalan agar batubara tetap dipakai sekalipun PLTU batubara ditutup. Sementara konsep energi terbarukan justru tak dibahas dengan rinci.

“Jelas sekali kalau ini untuk kepentingan oligarki,” katanya.

Sementara itu, dua teknologi pemanfaatan batubara itu pun tidak murni lebih irit emisi. Hal ini dibuktikan Perkumpulan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) yang mengeluarkan kajian dengan tajuk Hilirisasi Batubara dalam Bentuk Dimethyl Ether (DME) akan Meningkatkan Emisi Gas Rumah Kaca pada 2020.

 

Aksi warga Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu, Jawa Barat (Jatayu) yang menolak dampak buruk operasional PLTU I Indramayu berupa asap batubara pada akhir Oktober 2022. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kajian AEER itu menyebut, proyek DME menimbulkan emisi yang lebih besar namun perolehan energi lebih sedikit dibanding menggunakan LPG sebagai penyedia energi bagi rumah tangga. Emisi dihitung dari proses ekstraksi batubara sebagai bahan baku dan proses produksi DME.

Dalam hitungan mereka, setidaknya proyek pembuatan DME dengan kapasitas sebesar 1,4 juta ton per tahun dengan kebutuhan 6 juta ton batubara akan menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,26 juta ton CO2 ekivalen per tahun.

Penggunaan DME sebagai bahan bakar substitusi LPG juga berpotensi menghasilkan emisi GRK lebih besar pada 2050, yaitu hingga 12 juta ton CO2 ekovalen per tahun.

Kajian ini menyatakan emisi yang dihasilkan dari produksi DME lima kali lebih besar dari produksi LPG dengan jumlah sama, yaitu 824.000 ton CO2 ekivalen per tahun. Sementara, energi yang dikandung LPG lebih besar 1,4 kali daripada DME.

 

Surya atap skala rumahan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Merugikan ekonomi

Tidak hanya RUU EBT, upaya pemerintah menganakemaskan batubara juga ada dalam regulasi konroversial Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Cipta Kerja. Hal ini termaktub dalam paragraf 5 Pasal 128A berkaitan dengan perubahan iuran produksi/royalti produk hilirisasi batubara menjadi 0%.

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melakukan kajian terhadap hal ini dan menemukan potensi kerugian cukup besar apabila insentif ini dilakukan. Negara berpotensi merugi hingga Rp33,8 triliun per tahun dari total produksi batubara 666,6 juta ton per tahun.

“Jika kebijakan in berlaku dalam 20 tahun ke depan, maka negara akan merugi hingga Rp676,4 triliun per tahun,” kata Bhima Yudhistira,  Direktur Eksekutif CELIOS, dalam webinar ‘bertajuk Perppu Cipta Kerja, Ganjalan Bagi Komitmen Transisi Energi?’ baru-baru ini.

Kerugian sebesar itu,  katanya, senilai pembangunan 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit. Angka ini bisa meningkat hingga 2-3 kali lipat jika mempertimbangkan risiko aset yang terus turun.

Dia menyebut,  keuangan negara akan terus terbebani oleh insentif pada perusahaan batubara yang makin besar. Akibatnya, negara akan menanggung beban utang yang makin besar di masa depan.

Kondisi ini pun akan menimbulkan efek domino. Salah satunya dana bagi hasil (DBH) yang akan berkurang pada daerah penghasil sumber daya alam.

“Tercatat, ada 12 provinsi dan puluhan kabupaten yang bergantung dari DBH batubara ini,” kata Bhima.

CELIOS memandang keijakan royalti 0% hilirisasi batubara bertentangan dengan upaya memberikan kompensasi sumber daya alam adil bagi daerah. Kehilangan potensi dana bagi hasil di tengah melonjaknya harga batubara akan memberikan dampak signifikan terhadap upaya pengurangan kemiskinan, stimulus pelaku usaha mikro, dan belanja mitigasi dampak kerusakan lingkungan di daerah penghasil sumber daya alam.

CELIOS juga menilai,  royalti 0% pada pelaku usaha sektor batubara yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batubara akan mendorong hilirisasi komoditas batubara. Langkah ini, katanya,  akan memperpanjang kecanduan Indonesia pada sumber energi fosil yang tidak ramah lingkungan itu.

“Kalau insentif ini diarahkan pada renewable energy, tentu akan mempercepat transisinya dalam negeri,” ucap Bhima.

Potensi Indonesia merugi karena hilirisasi batubara sebelumnya juga pernah disuarakan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). Keinginan Indonesia menggunakan DME sebagai substitusi impor LPG menurut IEEFA hanya bisa terjadi jika harga LPG mencapai lebih dari US$858 per ton. Sementara kondisi ini hanya terjadi selama 15 bulan dalam 20 tahun terakhir.

Ghee Peh, Energy FInance Analyst dalam laman IEEFA menyebut,  harga DME yang ditetapkan Pemerintah Indonesia US$378 per ton selama 20 tahun tidak akan menghasilkan keuntungan. Dalam kalkulasinya, seharusnya harga DME yang realistis US$601 per ton.

Dalam laporan lain yang terbit pada 2020, Ghee Peh menyebut kerugian karena proyek DME bisa mencapai US$377 juta per tahun. Jumlah ini lebih besar daripada proyeksi penghematan impor LPG yang hanya mencapai US$19 juta per tahun.

 

Baliho aksi warga Jatayu yang menolak dampak asap batubara dari operasional PLTU I Indramayu, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Transisi semu energi

Masih kuatnya cengkeraman batubara terhadap energi di Indonesia menimbulkan tanda tanya arah transisi energi. Apalagi, kategorisasi energi ‘baru’ dalam RUU Energi Terbarukan justru berpotensi menghasilkan fokus salah terhadap transisi energi.

Grita Anindyarini, Deputy Director Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, RUU EBT tidak memberikan sinyal pasti pengembangan energi terbarukan. Padahal, niat regulasi ini untuk mempercepat transisi energi ke arah lebih bersih.

“Ada energi baru membuat prioritas tidak jelas, mau energi baru atau terbarukan?”

Menurut dia, adanya disinsentif terhadap energi fosil dalam RUU EBT tidak akan berdampak signifikan. Pasalnya, dana yang dihasilkan dari disinsentif bisa lari ke gasifikasi atau likuifaksi batubara.

Untuk itu, katanya, perlu ada pendefinisian transisi energi yang jelas dari pemerintah. “Sumber energi yang seperti apa yang kita mau? Apakah rendah emisi dan aman? Itu bisa diwujudkan dengan energi terbarukan yang memang kita miliki,” katanya.

Deon Arinaldo, Energy Transition Program Manager Institute for Essential Services Reform (IESR), menyebut,  pemisahan antara energi baru dan terbarukan sangat penting. Pasalnya, dia menyebut energi baru memiliki teknologi yang kompleks dan berbiaya tinggi.

“Di pasal RUU EBT ada hal yang bahaya. Pemerintah bisa tugaskan pembangunan sumber energi baru dan ada kompensasi yang diberikan kalau ada ketidakcocokan bisnis,” katanya.

Padahal, kalau pemerintah berfokus pada pembangunan energi terbarukan skala bisa mulai dari terkecil di rumah tangga. “Dengan demikian, yang bisa bermain di sini tak hanya pemain besar, juga masyarakat bisa ikut,” kata Deon.

Tidak hanya gasifikasi dan likuifaksi, pemberian jalan terhadap energi fosil di energi baru dalam transisi energi juga dilakukan pemerintah lewat teknologi rendah karbon seperti carbon capture storage. Teknologi ini juga disebut Deon tidak baru dan sudah ditinggalkan sejak 1970.

PLTU jenis ini,  katanya, sudah dicoba di Amerika dan Kanada dan berujung kegagalan. “Tidak ekonomis dan operasi banyak kendala.”

Sisi lain, katanya, energi terbarukan di Indonesia masih belum banyak tereksplorasi. Masih ada potensi lebih dari 3.500 giga watt energi terbarukan yang belum terpakai.

 

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi hutan energi untuk jadi biomassa. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

 

Picu deforestasi

Beyrra Triasdian,  Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, mengatakan, energi baru tak bersih emisi. Dia soroti teknologi co-firing—pencampuran batubara dengan biomassa dalam PLTU bisa berujung pada deforestasi.

“Untuk memastikan co-firing ini tetap terlaksana kan butuh suplai besar dan terus menerus. Tanpa disadari ini akan dorong deforestasi,” katanya.

Setidaknya,  ada 107 PLTU akan menggunakan teknologi co-firing batubara dengan biomassa. Berdasarkan kajian Trend Asia sebelumnya, setidaknya perlu 10,23 juta ton biomassa per tahun untuk memenuhi kebutuhan energi 107 PLTU itu.

 

 

******

 

Exit mobile version