Mongabay.co.id

Sudah 2023, Penangkapan Ikan Terukur Belum Juga Diterapkan

 

Tanda-tanda penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota kini mulai terlihat jelas. Walau terus mengalami kemunduran rencana penerapan, namun Pemerintah Indonesia berani mengklaim kalau kebijakan tersebut sudah berada di jalur yang tepat.

Sebelum menerapkan kebijakan yang sudah digaungkan dari 2021 itu, Pemerintah fokus untuk mengawal penerapan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi yang dimulai pada April mendatang di tujuh pelabuhan perikanan (PP) utama.

Ketujuh pelabuhan itu adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Merauke di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan; Pelabuhan Perikanan (PP) Poumako, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah; dan PPN Tual, Kota Tual, Provinsi Maluku.

Kemudian, ada juga PPN Ambon, Kota Ambon, Provinsi Maluku; Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara; PP Tual, Tual, Maluku; dan PP Benjina, Kab Kepulauan Aru, Maluku.

Dua pelabuhan yang disebutkan terakhir, oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trengono disebutkan sebagai pelabuhan yang dimiliki dan dikelola oleh swasta. Sementara, lima pelabuhan lain dimiliki dan dikelola langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

baca : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual

 

Presiden Joko Widodo (kanan) mendapat penjelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono (tengah) saat meninjau unit pengolahan ikan di PT Samudera Indo Sejahtera, Kota Tual, Provinsi Maluku, Rabu, 14 September 2022. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

 

Selain tujuh pelabuhan utama, ada juga 11 pelabuhan penyangga yang ditunjuk untuk menerapkan kebijakan PNBP pascaproduksi. Menurut dia, pelabuhan penyangga akan berperan sangat penting untuk mempermudah kapal perikanan melaksanakan kegiatan penangkapan ikan.

Pelabuhan penunjang yang ditunjuk itu, adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku; PP Ukurlalan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku; dan PPP Sorong, Kota Sorong, Prov Papua Barat Daya.

Kemudian, ada juga PP Dufa-dufa dan PPN Ternate, Kota Ternate, Prov Maluku Utara; PP Goto, Kota Tidore, Maluku Utara; PPP Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Prov Maluku Utara; dan PPP Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Prov Maluku Utara.

Selanjutnya, ada juga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Tenda, Kabupaten /Prov Gorontalo; PPI Tilamuta, Kabupaten Boalemo, Prov Gorontalo; dan PPS Kendari, Kota Kendari, Prov Sulawesi Tenggara. Semua pelabuhan utama dan penyangga tersebut masuk dalam zona 3 dan terbagi ke dalam tiga wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Detail tiga WPPNRI itu adalah WPPNRI 714 yang meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; WPPNRI 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; dan WPPNRI 718 yang mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur.

baca juga : Begini Kesiapan Nelayan Kecil Malut dalam Penerapan Penangkapan Terukur

 

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, Maluku Utara. Foto : DJPT KKP

 

Dengan berlakunya PNBP pascaproduksi, Menteri Trenggono menjelaskan kalau pelaksanaan pungutan PNBP akan dilakukan dengan mempertimbangkan hasil produksi berupa tangkapan ikan yang dikumpulkan oleh kapal perikanan yang sudah mendapatkan perizinan khusus.

“Ini juga diharapkan bisa menghilangkan perilaku tidak terpuji yang sebelumnya dilakukan para pemilik kapal perikanan,” ucapnya awal pekan ini di Jakarta.

Perilaku tidak terpuji yang dimaksud, adalah kebiasaan perilaku para pemilik kapal yang tidak mengungkap secara jujur tentang hasil tangkapan produk perikanan mereka. Hal itu bisa terjadi, karena sistem PNBP masih memberlakukan praproduksi.

Itu berarti, para pelaku usaha membayar PNBP sebelum kapal perikanan pergi menangkap ikan. Jadi, walaupun jumlah tangkapannya sangat besar, PNBP yang dibayarkan tetap kecil. Sementara, jika mengacu pada pascaproduksi, penghitungan PNBP akan menyesuaikan dengan hasil tangkapan.

 

Harga Acuan Ikan

Selain untuk kepentingan Negara, Trenggono mengatakan kalau penerapan PNBP pascaproduksi juga dilakukan untuk kepentingan nelayan. Itu kenapa, KKP kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Harga Acuan Ikan.

Aturan yang terbit pada 20 Januari 2023 itu, hadir untuk mengakomodir semua kepentingan masyarakat nelayan dan pelaku usaha perikanan. Dia berharap, harga acuan ikan yang baru bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan.

“Sekarang regulasi harga acuan ikan yang menjadi komponen dalam menetapkan pungutan PNBP pascaproduksi sudah terbit,” terang dia.

baca juga :  Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan

 

Ilustrasi. Seorang pedagang melintas diantara tumpukan ikan bandeng (Chanos chanos) di Pasar Ikan, Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Adapun, dalam menetapkan harga acuan ikan, selain mempertimbangkan masukan para pelaku usaha perikanan, juga mempertimbangkan harga pokok produksi atau biaya operasional. Karenanya, penyesuaian tersebut bisa dipatuhi, sehingga produktivitas perikanan tangkap berjalan baik.

Adapun, penetapan PNBP Pascaproduksi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk melaksanakan pungutan, sejumlah peraturan turunan diterbitkan, salah satunya Kepmen KP No.21/2023.

Penerapan PNBP Pascaproduksi didukung oleh infrastruktur teknologi, salah satunya aplikasi e-PIT yang akan dipakai pelaku usaha untuk memasukkan data jumlah hasil tangkapan. Sistem ini akan memberi tahu pelaku usaha besaran PNBP Pascaproduksi yang harus dibayarkan ke negara.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menambahkan, dengan fokus menerapkan PNBP pascaproduksi, maka diharapkan persiapan untuk penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota juga bisa semakin matang.

Saat ini, sebanyak 77 pelabuhan perikanan sudah disiapkan untuk melaksanakan PNPB Pascaproduksi. Selain itu, kapal perikanan yang sudah mengantongi izin PNBP Pascaproduksi per Februari jumlahnya sudah mencapai 576 unit.

baca juga : Tak Ada Sistem Kontrak dalam Penangkapan Ikan Terukur

 

Ilustrasi. Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dia menyebutkan, penerapan PNBP pascaproduksi menjadi elemen sangat penting untuk mengukur kesuksesan penerapan PIT di waktu berikutnya. Jika pascaproduksi berhasil, maka dia sangat yakin penerapan PIT akan mencapai kesuksesan serupa.

Namun, agar kesuksesan pascaproduksi bisa berhasil dicapai, dia meminta kepada para pelaku usaha untuk bisa jujur saat menyampaikan jumlah hasil tangkapan. Tanpa kejujuran mereka, pascaproduksi hanya akan menjadi program kebijakan yang biasa.

“Ini akan berkaitan dengan PNBP pascaproduksi yang dibayarkan,” tegasnya.

Sementara, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Adin Nur Awaludin menyampaikan, untuk menjamin kesuksesan penerapan PNBP pascaproduksi, pihaknya akan melaksanakan pengawasan dengan memanfaatkan teknologi.

Teknologi digunakan, karena sebelumnya para pelaku usaha menjalankan modus dengan memanipulasi jumlah hasil tangkapan. Hal tersebut menjadi tantangan yang harus bisa dihadapi, namun tidak memicu masalah yang baru.

 

 

Exit mobile version