Mongabay.co.id

Teratai yang Mulai Hilang di Lahan Basah Sriwijaya

 

 

Teratai [Nymphaea] adalah tumbuhan yang akrab bagi masyarakat Sumatera Selatan. Flora yang biasa tumbuh di rawa dan sungai ini, mulai sulit ditemukan. Mengapa?

Sejak masa Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, bunga teratai memiliki arti penting bagi masyarakat Sumatera Selatan. Bunga teratai menjadi simbol kehidupan manusia. Baik sebagai simbol kesucian, kebahagiaan, ketenangan, keberanian, keikhlasan, kelahiran, dan kematian.

Pada masa itu, bunga teratai banyak ditemukan di lanskap Kedatuan Sriwijaya. Sebab Palembang dan sekitarnya, yang menjadi pusat pemerintahan Kedatuan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang, sebagian besar merupakan lahan basah, yang menjadi habitat bunga teratai.

Bunga teratai menjadi simbol yang terukir di dinding rumah limas [rumah adat], masjid, lemari, ranjang, serta menjadi motif kain songket Palembang.

Bahkan, bunga teratai berkelopak lima menjadi bagian lambang Provinsi Sumatera Selatan. Disebutkan, bunga teratai berkelopak lima melambangkan keberanian dan keadilan [Pancasila].

Popularitas bunga teratai masih terjaga hingga saat ini. Ketika musim perburuan batu akik beberapa waktu lalu, ditemukan batu akik yang motifnya seperti bunga teratai di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Batu akik itu kemudian disebut sebagai “batu sriwijaya”.

Disebut batu sriwijaya karena bunga teratai bagi masyarakat Sumatera Selatan identik dengan Kedatuan Sriwijaya.

Baca: Bagaimana Nasib Situs Sriwijaya di Lahan Gambut?

 

Bunga teratai banyak digunakan dalam ukiran kayu dan motif kain songket Palembang. Bunga teratai melambangkan kehidupan manusia. Foto: Humaidy Kenedy

 

Namun, berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia di sejumlah wilayah lahan basah di Sumatera Selatan, selama tujuh tahun terakhir, sudah sulit menemukan bunga teratai. Yang sering dijumpai adalah seroja [lotus].

“Kalau teratai, bunganya mengambang di atas air. Kalau seroja, bunganya tumbuh meninggi ke permukaan air. Kelopak bunga teratai di sini lebih sedikit dibandingkan seroja. Tapi bagi masyarakat di sini keduanya sering disebut teratai,” kata Maulina, warga Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI].

“Dulu hampir semua lebak [rawa gambut] terdapat teratai dan seroja. Tapi seiring hilangnya lebak, sebagian dimanfaatkan menjadi sawah atau ladang, teratai dan seroja mulai sulit ditemukan. Yang banyak itu eceng gondok [Eichhornia crassipes],” ujarnya.

Lahan basah di Sumatera Selatan luasnya sekitar tiga juta hektar [luas daratan Sumatera Selatan sekitar 8,7 juta hektar]. Lahan basah tersebut berupa rawa, gambut dan mangrove. Tapi, sebagian besar lahan basah tersebut berubah atau rusak, menjadi perkebunan skala besar, lahan infrastruktur, tambak udang dan ikan, dan permukiman.

Perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] dan perkebunan sawit menguasai sekitar 738.137,84 hektar lahan basah. 17 perusahaan HTI menguasai lahan basah sekitar 478.969,20 hektar, dan 70 perusahaan sawit menguasai 259.168,64 hektar lahan basah.

Sejumlah pabrik pengelolaan minyak sawit dan bubur kertas juga menggunakan lahan basah. Misalnya, PT. OKI Pulp and Paper yang menguasai sekitar 2.500 hektar.

Terakhir, pembangunan jalan tol juga membelah lahan basah. Misalnya, Jalan Tol Kayuagung-Palembang-Betung yang membentang sepanjang 111,6 kilometer.

Baca: Pernah Jadi Andalan Sumatera Selatan, Tanaman Gambir Kini Ditinggalkan

 

Biji bunga dan tangkai muda teratai dan seroja dikonsumsi masyarakat di Sumatera Selatan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Sriwijaya

Retno Purwanti, arkeolog sejarah yang banyak meneliti peninggalan Kedatuan Sriwijaya, menyatakan belum ada penelitian khusus tentang bunga teratai terkait Kedatuan Sriwijaya.

“Arca-arca dari masa Sriwijaya yang ditemukan, tidak ditemukan bantalan [asana]-nya. Jadi, tidak diketahui apakah menggunakan padmasana [bantalan arca dari teratai merah] atau setidaknya. Di Candi Bumiayu, yang digambarkan juga bukan teratai, tapi bunga yang sampai sekarang pohonnya tumbuh di lingkungan percandian,” kata Retno.

Tapi, lanjut Retno, hadirnya simbol bunga teratai dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan mungkin dipengaruhi ajaran agama Budha. Budha adalah agama utama di Kedatuan Sriwijaya.

Dalam ajaran Budha dan Hindu, bunga teratai memiliki arti penting. Bunga teratai menjadi simbol spiritualisme.

“Apalagi bunga teratai yang banyak ditemukan dalam sejumlah ukiran kayu pada dinding rumah, makam, ranjang, yakni bunga teratai dengan delapan kelopak. Sementara bunga teratai dengan delapan kelopak melambangkan proses kehidupan manusia dalam ajaran agama Budha,” kata Retno.

Jelasnya, padma atau teratai dianggap penting karena dihubungkan dengan tempat Budha. Dalam naskah Anandakandapadma dijelaskan padma berdaun delapan melambangkan delapan nayika, yaitu delapan Bhairawa. Tokoh-tokoh ini memegang peranan penting  dalam agama Budha Tantris. Padma sering pula dihubungkan dengan yantra dan pada daun padma tersebut terdapat tulisan-tulisan mantra. Padma berkelopak delapan juga melambangkan delapan peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gautama.

Dalam perkembangannya, pemaknaan simbol bunga teratai tidak melulu terkait ajaran agama Budha. “Misalnya delapan kelopak bunga teratai, memiliki makna baru yakni penunjuk delapan penjuru mata angin. Begitu pun bunga teratai ditampilkan dengan lima kelopak yang melambangkan ajaran Islam atau Pancasila seperti yang terlihat dalam lambang Provinsi Sumatera Selatan.”

 

Seroja [Lotus] juga sudah sulit didapatkan di rawa dan sungai di Sumatera Selatan. Foto: Mahesa Putra

 

Hingga saat ini, simbol bunga teratai dalam ukiran kayu terus terlihat di Sumatera Selatan. Misalnya pada sejumlah lemari, meja kursi dan ranjang yang diproduksi para perajin  kayu.

“Tapi, saya belum pernah melihat kain songket yang diproduksi saat ini yang menampilkan motif bunga teratai. Sepengetahuan saya, bunga teratai memang disebutkan sebagai salah satu motif songket Palembang.”

Berdasarkan sejumlah sumber, bunga teratai merupakan tanaman air yang selamat dari masa Ice Age [Zaman Es] sekitar 1,8 juta dan 10 ribu tahun lalu, yang menyebabkan banyak tanaman di Bumi punah.

Bunga teratai menjadi bagian dari berbagai kebudayaan di dunia. Mulai dari Mesir, India, Tiongkok, Jepang, dan Indonesia.

Dalam berbagai kebudayaan tersebut, bunga teratai menjadi simbol kehidupan manusia sempurna. Manusia yang menjadi terbaik di kehidupan, meskipun hidupnya sementara di dunia ini.

Teratai juga sebagai simbol kebahagiaan. Bunga teratai pada kain songket Palembang menyimbolkan kebahagiaan. Kain ini biasanya digunakan pengantin perempuan saat pernikahan.

 

Tumbuhan seroja [lotus] yang tersisa di sebuah lebak di Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Dikonsumsi

Bagi masyarakat di Sirah Pulau Padang, teratai dan seroja dikonsumsi. “Biji bunga seroja dan teratai dimakan mentah-mentah. Rasanya enak, seperti kacang, sementara tangkai mudanya sering dijadikan lalap atau dimasak menjadi lauk,” jelas Dian.

“Terkait kegunaan atau manfaat teratai bagi kesehatan atau obat untuk penyakit tertentu, saya belum pernah mendengarnya. Mungkin pengetahuan itu ada, tapi saya tidak mengetahuinya. Yang jelas, dulu masyarakat di sini melihat teratai dan seroja bukan gulma air. Justru dibiarkan hidup. Dipercaya sebagai tempat ikan bertelur atau berkumpul,” kata dosen salah satu perguruan tinggi di Palembang ini.

Sementara daun teratai dan seroja sering digunakan sebagai wadah atau bungkus. “Seperti menjadi wadah nasi, lauk, atau wadah makan di sawah dan ladang. Terkadang dijadikan bungkus untuk ikan panggang atau pepes ikan.”

Bagi masyarakat di Desa Muara Penimbung, teratai juga dikonsumsi. “Kalau ada perempuan yang haidnya terganggu biasanya disuruh makan biji bunga teratai atau makan tangkai muda teratai sebagai lalapan,” kata Hermalia [63], warga Dusun IV, Desa Muara Penimbung Ulu, Kabupaten Ogan Ilir.

“Tapi, yang paling sering dimanfaatkan daunnya untuk pepes ikan. Rasa pepesnya lebih enak dibandingkan menggunakan daun pisang,” kata Hermalia.

Sama seperti di Sirah Pulau Padang, teratai dan seroja mulai menghilang atau sulit didapatkan lagi. “Entah kenapa, mungkin sudah banyak rawa hilang. Tidak seperti dulu teratai selalu terlihat pada setiap rawa atau genangan air,” katanya.

“Biji bunga teratai itu sering kami sangrai [menggoreng tanpa minyak]. Dimakan. Rasanya seperti kacang, bahkan lebih enak dari kacang tanah,” kata Fatimah [58], warga Desa Sukorejo, Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu [STL] Terawas, Kabupaten Musi Rawas.

Tangkai muda bunga teratai juga dikonsumsi sebagai lalap. “Tapi sudah sangat sulit mendapatkan teratai di sini. Biasanya tumbuh di sungai-sungai kecil yang airnya tenang dan danau kecil,” terang Fatimah.

 

Exit mobile version