Mongabay.co.id

Organisasi Masyarakat Sipil Protes Perppu Cipta Kerja: Ancam Lingkungan dan Masyarakat

 

 

 

 

Climate crisis over oligarchy .” Begitu spanduk panjang terpampang di atas jembatan penyebrangan yang membelah Jl Gatot Subroto, di depan Gedung DPR/MPR.

Pagar DPR maupun tembok pembatas jalan tol juga tak luput jadi arena bentangan spanduk dan poster.

“Perppu cipta kerja perburuk krisis iklim.”  “Perppu cilaka, rampas tanah petani dan masyarakat adat.” “Perppu Cipta Kerja, buka impor pangan. Petani anak negeri gigit jari.”

Begitu berbagai spanduk dan poster aksi massa sebagai bentuk penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2/2022 tentang Cipta Kerja.

Demo berbagai elemen masyarakat ini tergabung dalam Komite Aksi Bersama. Mereka terdiri dari berbagai elemen organisasi masyarakat sipil dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Komite Pembela Hak Konstitusi (Kepal) maupun Jaringan Ultimatum Rakyat.

 

Baca juga:  Menyoal Perppu Cipta Kerja [1]

Aksi massa protes Perppu Cipta Kerja di DPR/MPR, akhir Februari lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sambil bergandengan tangan mereka berjalan long march menuju gerbang utama gedung parlemen yang berdiri sejak 1965 itu. Peserta aksi juga ada yang membawa keranda dan tumpeng.

Dalam rilis Komite Aksi Bersama  menyatakan, penerbitan Perppu Cipta Kerja jelas menunjukkan konsistensi kesewenang-wenangan pemerintahan Jokowi dalam memfasilitasi kepentingan investor.

Komite bilang, Perppu Cipta Kerja mengancam berbagai sektor kehidupan rakyat, mulai dari buruh, mahasiswa dan masyarakat rentan di wilayah perkotaan hingga petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan di wilayah pedesaan dan pelosok negeri.  Mereka bikin analisis keterancaman di berbagai sector, seperti sektor agrarian dan pangan.

 

Baca juga: Menyoal Perppu Cipta Kerja [2]

Protes Perppu Cipta Kerja di depan DPR/ MPR. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dewi Kartika, Sekertaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam orasi mengatakan,  dampak semangat pengaturan Perppu Cipta Kerja untuk meliberalisasi dan memprivatisasi tanah, sepanjang 2020-2022,  terjadi 660 letusan konflik agraria seluas 2,16 juta hektar di Indonesia.

Konflik agraria itu mengakibatkan sedikitnya 14 petani tewas, dan 317 orang di penjara karena mempertahankan tanahnya.

“Ini bukti bahwa UU Cipta Kerja hanya memberikan kesengsaraan dan kemiskinan bagi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, juga kelompok rentan lain,” katanya, 28 Februari lalu.

Dewi menyoroti soal bank tanah dalam Pasal 125-135 Perppu Cipta Kerja. Bank tanah, katanya,  tak untuk tanah rakyat tetapi tidak ubah lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan penyelewengan reforma agraria.

 

Berbagai organisasi masyarakat sipsipil, akhi protes Perppu Cipta Kerja di depan DPR/MPR, akhir Februari lalu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Bank tanah, katanya, hanya untuk badan skala besar, baik itu perkebunan atau perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan dan pembangunan pariwisata premium bagi orang-orang kaya. Untuk itu, katanya, model dan cara kerja bank tanah ini bertentangan dengan konstitusi dan UU Pokok Agraria 1960.

Bahkan bank tanah bisa jadi cara untuk memutihkan konsesi korporasi yang dianggap bermasalah, seperti beroperasi tanpa izin atau hak atas tanah, kadaluarsa, ditelantarkan. “Atau menimbulkan konflik agraria maupun kerusakan lingkungan, juga melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara-cara koruptif,” katanya.

Perppu Cipta Kerja juga mendorong pembangunan pertanian yang dikuasai korporasi, seperti kebijakan food estate atau lumbung pangan skala besar. “Food estate yang dijalankan pemerintah saat ini bukti nyata reforma agraria sejati itu tidak dijalankan.”

Food estate, katanya, bukti nyata liberalisasi agraria dan kapitalisme agraria yang menguasai tanah air. Jutaan hektar tanah direkayasa jadi lokasi penghasil barang mentah industri makanan seperti kentang, bawang, singkong, dan banyak lagi.

 

Protes Perppu Cipta Kerja, 28 Februari lalu. Foto: falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pada kondisi perlindungan kawasan pesisir, Perppu Cipta Kerja juga menghapuskan syarat-syarat penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan.

Kemudian dampak di sektor lingkungan. Perubahan iklim merupakan poin yang menimbang kemendesakan perppu, komite nilai justru kontradiktif. Komite nyatakan, substansi Perppu Cipta Kerja jauh dari komitmen perlindungan lingkungan hidup.

Pertama, Perppu Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan jaring perlindungan lingkungan hidup. Ketentuan berkaitan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Juga mereduksi keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan dokumen amdal hingga mereduksi keterlibatan organisasi lingkungan hidup dan pakar.

Pada prinsipnya dokumen amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha atau kegiatan. Ketentuan ini, sebut komite, mereduksi pentingnya amdal sebagai landasan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan. Bahkan, ada terdapat ketentuan yang menghapus hak gugat warga negara terhadap izin lingkungan.

Kedua, Perppu Cipta Kerja hanya copy-paste UU Cipta Kerja–yang juga mengubah UU Penataan Ruang yang selama ini menjadi bagian dari jaring perlindungan lingkungan hidup. Beberapa ketentuan pasal dalam Penataan Ruang diubah dengan memberikan peluang untuk memutihkan pelanggaran atau kejahatan ruang.

 

Aksi massa tolak Perppu Cipta Kerja, 28 Februari lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Ketiga, persoalan perlindungan lingkungan hidup benar-benar terabaikan dengan mengobral sumber daya alam yang bertentangan dengan semangat perlindungan lingkungan. Dalam Perppu Cipta Kerja juga mengubah ketentuan Pasal 18 UU Kehutanan terkait ketentuan batas minimal luas kawasan hutan, semula harus dipertahankan minimal 30%.

Penghapusan soal batas minimal 30%, kata komite, akan makin mempercepat deforestasi hutan tersisa. Sebelumnya, perubahan fungsi kawasan hutan ditetapkan pemerintah didasari hasil penelitian terpadu, pada Perppu Cipta Kerja mengubah kata “didasari” dengan “mempertimbangkan.”

Kemudian di sektor kehutanan. Soal percepatan pengukuhan kawasan hutan negara secara sepihak pemerintah, tidak jauh berbeda dengan asas domein verklaring.

Kewenangan DPR memberikan persetujuan terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan juga dihapus. Kondisi ini, katanya,  akan menghilangkan mekanisme check and balances terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.

 

 

*****

Exit mobile version