Mongabay.co.id

Pemerintah Janji Selesaikan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Batubara, JETP Harus Transparan

 

 

 

 

Indonesia sudah menerima pendanaan internasional untuk transisi energi melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) sejumlah US$24,05 miliar. Pemerintah Indonesia pun berjanji menyelesaikan peta jalan pemensiunan PLTU batubara dalam  enam bulan ke depan.

Indonesia menerima pendanaan internasional melalui Just Energy Transition Partnership (JETP), Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) untuk transisi energi sejumlah US$24,05 miliar. Pemerintah Indonesia pun berjanji menyelesaikan pemensiunan PLTU batubara dalam  enam bulan ke depan.

Mekanisme ETM resmi pemerintah umumkan dalam perhelatan G20 di Bali, November tahun lalu. Salah satu skema pendanaan berupa JETP menggelontorkan uang US$20 miliar (US$10 miliar dari negara G7, sisanya swasta) dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun.

Perjanjian ini bisa memfasilitasi pemensiunan dini dan penghentian konstruksi pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU), juga mengurangi emisi sektor energi pada 2030, dan mencapai nol emisi pada 2050.

Pendanaan JETP ini berbentuk hibah, pinjaman lunak, pinjaman tarif pasar, guarantees, dan pendanaan swasta.

Sebagai tindak lanjut, pertengahan Februari lalu, pemerintah membentuk sekretariat tim kerja JETP di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) di Jakarta.

 

Baliho aksi warga Jatayu yang menolak dampak asap batubara dari operasional PLTU I Indramayu, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tim kerja

Arifin Tasrif, Menteri ESDM mengatakan,  enam bulan ke depan tim akan menyelesaikan peta jalan pensiun dini PLTU batubara.

Selain juga akan memobilisasi investasi dan mendukung mekanisme pembiayaan dalam Comprehensive Investment Plan (CIP).

“Ini akan jadi pusat informasi, perencanaan dan koordinasi serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan proyek JETP,” kata Arifin.

Tugas pertama tim gugus tugas, katanya, mengatur kelompok kerja untuk percepatan program transisi energi JETP. Ia terdiri dari sistem pembangkit, pembiayaan, dekarbonisasi sektor pembangkit, rantai pasokan, dan manufaktur.

Mengenai pensiun dini PLTU batubara, Arifin juga menjamin ini tidak akan merugikan pembangkit.

Novita Indri, Juru Kampanye Energy Policy and Cola Finance Trend Asia, mengatakan, dukungan pendanaan untuk akselerasi transisi energi kepada negara berkembang seharusnya bukan berupa pinjaman yang berpotensi menjerat Indonesia dalam lilitan utang.

“Sementara JETP memiliki risiko itu,” katanya.

Untuk itu, katanya, perlu digarisbawahi ternyata pemerintah masih kontradiktif dalam komitmen iklim karena masih membangun 13,5 giawatt PLTU batubara di luar PLTU captive, untuk industri.

Berkaca pada pendanaan JETP Afrika Selatan yang disepakati pada COP26 di Glasgow, katanya, ada dominasi utang atau pinjaman lunak dan komersial. Sedangkan porsi hibah kurang dari 3%. Porsi hibah kecil, kata Novita,  tak cukup untuk membantu Indonesia keluar dari ketergantungan batubara.

“Ancaman korupsi juga terus menghantui,” kata Novita.

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Bank Dunia dalam laporan Elite Capture of Foreign Aid, Evidence from Offshore Bank Account memperkirakan, 7,5% bantuan asing ke negara penerima bantuan diambil elit koruptor.

Trend Asia pun mendesak, pendanaan JETP harus transparan, akuntabel, dan partisipatif agar Indonesia mencapai transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan.

Senada  diungkapkan Suzanty Sitorus, Direktur Eksekutif Viriya ENB, sebuah perusahaan konsultan bidang energi. Dia menilai, dana JETP belum cukup membiayai proses transisi energi di Indonesia, meski peran cukup penting.

Selain fokus pada pensiun dini batubara, kata Suzanty, dana ini harus juga untuk percepatan pengembangan energi terbarukan.

“Harus barengan. Tidak bisa menunggu pensiun dini dulu baru mengembangkan energi terbarukan,” katanya.

Saat ini, katanya, pembahasan JETP baru seputar sektor kelistrikan. Menurut dia, perlu pembahasan bersama sektor lain termasuk industri dan transportasi.

Belajar dari Afrika Selatan, katanya, perlu ada klausul pelibatan partisipasi publik dalam perencanaan proyek JETP.

“Saya berharap ada ruang untuk masyarakat sipil, lembaga think tank untuk terlibat karena energi sektor yang melibatkan masyarakat,” katanya.

Dia contohkan, saat merencanakan proyek green hydrogen, tak hanya suplai juga perlu demand.

“Perlu perubahan mendasar melihat sektor energi. Apakah akan memberikan manfaat ekonomi. Jika tidak ada komitmen politik untuk ini, Indonesia akan ditinggalkan.”

 

Energi surya atap yang dikembangkan masyarakat. Minat masyarakat tinggi terhadap surya atap, Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Mengenai komitmen politik, Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi  Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan,  komitmen pemerintah mengurangi PLTU batubara sebelum 2030 kontra dengan target produksi batubara yang naik menjadi 695 juta ton tahun ini.

Kenaikan produksi ini berasal dari peningkatan kebutuhan domestik naik menjadi 177 juta ton. Salah satu faktor yang mendorong kenaikan ini adalah permintaan domestik dari pembangkitan listrik, termasuk PLTU captive dan yang terintegrasi dengan kawasan industri (PPU) di luar sistem PLN.

“Kenaikan permintaan ini menjadi jalan terjal bagi pemerintah untuk mencapai target emisi puncak sektor kelistrikan 290 juta ton CO2 di 2030, seperti yang disepakati di JETP,” kata Deon.

Sebelumnya kajian IESR, ada potensi 4,5 gigawatt kapasitas PLTU yang bisa dipensiunkan sebelum 2025, dan tambahan tiga gigawatt dari daftar proyek PLTU di RUPTL 2021-2030 yang punya kemungkinan dibatalkan.

Pengakhiran operasi PLTU tua dan tidak efisien sebelum 2025 memungkinkan masuknya energi terbarukan lebih besar.

Firdaus Cahyadi,  Team Lead 350 Indonesia juga meminta, pemerintah lebih terbuka dan transparan mengenai proyek-proyek transisi energi yang dibiayai oleh skema JETP.

“Sebagian pendanaan transisi energi dalam skema JETP ini gunakan pembiayaan dari utang luar negeri. Itu artinya, publik sebagai pembayar pajak perlu mengetahui proyek transisi energi apa saja yang dibiayai dengan utang luar negeri,” katanya.

Pemerintah yang kurang transparan,  katanya, akan berujung keterlibatan publik minim dalam pengambilan keputusan terkait JETP.

“Persoalan energi adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ironis bila persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru ditentukan segelintir elite.  Keterbukaan informasi dan keterlibatan publik adalah titik lemah JETP.”

Suriadi Darmoko, Juru Kampanye 350 Indonesia, mengatakan, implementasi JETP harus punya payung hukum di bawah Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).

Sayangnya, RUU EBT malah mencampur aduk antara energi fosil dan energi terbarukan dengan istilah energi baru berupa produk turunan batubara.

Selain itu, kata Suriadi, RUU EBT harus memberikan perlindungan bagi pembangkit energi terbarukan di tingkat komunitas yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di berbagai daerah.

“RUU ini harusnya juga bisa memastikan pembangkit energi terbarukan yang dikelola masyarakat bisa diperkuat, skala diperbesar dan ditularkan ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan dasar energinya.”

Dia juga nilai, setelah dapat komitmen pendanaan JETP, pemerintah juga masih tak serius mendukung pengembangan energi terbarukan. Misal, dengan menerbitkan Peraturan Menteri No 26/2021 tentang PLTS Atap yang berpotensi merugikan pengembangan energi surya.

Pasca peluncuran JETP, regulasi PLTS atap on grid ini mestinya dilihat sebagai potensi pengembangan energi terbarukan yang bisa diorganisir agar masyarakat terlibat dan memanfaatkan potensi atap rumah sebagai pembangkitan energi surya.

Alih-alih mendukung perluasan PLTS atap, pemerintah justru membatasi penggunaan dengan sistem kuota yang ditentukan PLN.

“Bukan mempermudah, revisi ini justru menghambat partisipasi publik untuk akselerasi pencapaian target bauran energi terbarukan nasional.”

 

 

Exit mobile version