Mongabay.co.id

Hutan Adat Talun Sakti, Rumah bagi Kura-Kura Hutan yang Langka

 

Daun-daun Selaginella intermediai (daun cakar alam) tumbuh bertumpuk di sisi jalan setapak punggung bukit penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tumbuhan jenis paku-pakuan ini, secara turun-temurun dijadikan salah satu obat-obatan tradisional.

“Ini juga obat untuk datuk (red: sebutan untuk harimau) mengobati luka. Kura-kura hutan juga makan daun ini. Hati-hati jangan sampai terinjak,” seru Sapar, ketua Kelompok Tani Hutan Adat Talun Sakti. Saat itu kami menelusuri sisi terjal jalan setapak yang mengarah sungai Seluro.

Hutan Adat Talun Sakti adalah sebuah hutan yang menjadi penyangga kawasan TNKS. Kawasan ini penting sebagai habitat spesies hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Luas hutan adat ini 641 hektar dan sangat penting bagi masyarakat Desa Raden Anom, Sarolangun, Jambi.

“Ini jalur baning (kura-kura hutan), beberapa hari lalu lewat sini. Ukurannya badannya besar dan tempurungnya berwarna cokelat,” lanjut Sapar.

 

Hutan Adat Talun Sakti. Sungai yang masih jernih dan terjaga. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Baning coklat (Manouria emys) jelas Sapar, dulu sering dijumpai masyarakat hingga ke kebun-kebun dan ladang masyarakat. Beberapa masyarakat malah pernah menangkap dan mengandangkannya. Namun setahun terakhir, tutur Sapar, baning tidak pernah turun lagi ke dusun.

Kura-kura hutan (Asian forest tortoise) adalah spesies asli tortoise wilayah Asia Tenggara, yang masuk ke suku Testudinidae. Mereka membutuhkan lingkungan hutan yang sehat dan terjaga untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Kura-kura ini adalah jenis kura-kura yang terbesar di Asia, dengan panjang karapas (cangkang) hingga 48cm, dan berat hingga 40kg.

Dikarenakan jumlahnya yang semakin menurun, termasuk di Indonesia, kura-kura hutan oleh IUCN, spesies ini dimasukkan  Appendiks 2 dan dinyatakan berstatus terancam kepunahan (Endangered, EN).

Dosen Pasca Sarjana Universitas Bung Hatta, Harfiandri Damanhuri, menyebut kura-kura dapat bertahan terhadap perubahan-suhu ekstrim, tetapi suhu tinggi yang berlebihan dapat mematikan mereka. Pertambahan suhu juga mempengaruhi metabolisme tubuh mereka, sehingga kemampuan makan, reproduksi, dan seksual mereka akan menurun.

Untuk kura-kura hutan, biasanya hidup di daerah rawa-rawa, dan lumpur berpasir. “Mereka makan keong kecil di sungai, moluska, ikan-ikan kecil, jenis udang-udangan, teratai, enceng gondok, keladi, dan tumbuhan yang mengandung air,” jelas Harfiandri.

Hutan Adat Talun Sakti menyediakan habitat yang sesuai bagi kura-kura hutan dan memainkan peran penting sebagai penyangga populasi mereka. Kualitas sungai dan rantai makanan yang baik juga sangat penting bagi kesehatan kura-kura. Dengan demikian ia menjadi indikator kualitas lingkungan.

 

Kura-kura hutan (Manouria emys), kura-kura darat terbesar di Asia. Masih dijumpai di Hutan Adat Talun Sakti. Foto: Muh. Sapar

Baca juga: Muhamad Sapar: Menjaga Hutan Adat Talun Sakti dengan Hati

 

Potensi Tanaman Obat dan Ancaman Keberadaan

Selain habitat satwa langka, Hutan Adat Talun Sakti pun memiliki potensi besar dalam menghasilkan tanaman obat yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Sarbuki, seorang dukun di Desa Raden Anom bercerita, beberapa tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat antara lain kayu penghujung bulat, akar tali kiding, buluh bulat, daun surian jantan, dan daun pinang.

Kayu penghujung bulat memiliki khasiat untuk mengobati bengkak dan bisul. Sedangkan akar tali kiding dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati sakit kepala. Tanaman buluh bulat memiliki manfaat sebagai obat untuk mengobati bengkak dan bisul.

“Daun surian jantan yang sudah gugur dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati sakit kepala. Bunga macam tujuh yang tumbuh pada tanaman rambutan juga memiliki khasiat untuk mengobati bengkak dan bisul,” katanya.

Daun pinang, puah, dan batang kapung dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk mengobati malaria. Adapun daun cupu, dapat digunakan untuk mengobati sariawan dan batuk. Untuk berbagai jenis penyakit, Sarbukti biasanya mencara akar ampela kijang.

 

Daun cakar alam (Selaginella intermediai) tanaman obat dan makanan kura-kura hutan. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Baca juga: Kepayang, Peredam Tambang Emas Ilegal di Desa Raden Anom

 

Namun, bukan berarti tak ada ancaman yang dihadapi oleh Hutan Adat Talun Sakti dan spesies yang hidup di dalamnya. Deforestasi dan penambangan emas ilegal adalah ancaman utama yang dirasakan. Tanpa perlindungan yang memadai, kawasan ini dapat dengan cepat menjadi tidak layak huni bagi spesies hewan dan tumbuhan, termasuk kura-kura hutan.

Inisiatif seperti pengelolaan hutan yang bertanggung jawab, pemantauan terus-menerus, dan edukasi masyarakat lokal mengenai pentingnya konservasi sangat penting untuk mewujudkan hal ini.

Pada tahun 2021, Balai Besar TNKS melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan/ penyangga TNKS di 23 desa dengan jumlah kelompok sebanyak 33 dan melibatkan 727 orang. Untuk tahun 2022 program ini meningkat dengan melibatkan 28 desa dan 28 kelompok.

Program yang didorong adalah kemitraan konservasi dengan skema pemulihan ekosistem maupun akses pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Selanjutnya, memberdayakan masyarakat daerah penyangga dengan memberikan bantuan usaha ekonomi produktif melalui kelompok masyarakat.

Saat ini pertambangan ilegal (PETI) marak menjadi penyebab kerusakan di wilayah hutan di Kabupaten Kerinci, dengan akses masuk dari Kabupaten Merangin. Meski demikian, tingkat perburuan satwa liar di wilayah ini sudah jauh berkurang karena intensifnya kegiatan patroli.

 

***

Foto utama: Kura-kura hutan, baning coklat (Manouria emys), kura-kura ini populasinya semakin menurun dan statusnya terancam kepunahan. Foto: Wibowo A. Djatmiko/Wikikpedia lisensi CC BY-SA 3.0

 

 

Exit mobile version