Mongabay.co.id

Cerita Perempuan Adat Tobelo Melawan Kala Hutan Rusak jadi Tambang

 

 

 

 

Novenia Ambeua,  perempuan adat keturunan Tobelo di pesisir Wasile Selatan ini lesu melihat hutan bak jadi lapangan. Pohon-pohon yang dulu rimbun dan berdiri kokoh, kini rata dengan tanah.

Batang pohon berserakan di sisi kiri dan kanan badan jalan di lokasi penggusuran untuk jalan tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP),  September tahun lalu.

“Hutan terancam semua, karena ruas jalan akan dibuka dari Halmahera Timur menuju Halmahera Tengah, lokasi pabrik nikel dan smelter di Lelilef, Weda,” kata perempuan adat Desa Minamin, Halmahera, Maluku Utara ini.

Sungai di sepanjang areal penggusuran tertutup batu dan tanah gusuran, juga tertimpa pohon-pohon yang tumbang, seperti Sungai Aruku Ma Ngairi di Tofu.

“Akibat sungai ini rusak.”

Orang Tobelo Dalam yang hidup di sana pun sudah bergeser mencari tempat baru karena ruang hidup mereka terganggu. Rutan rusak, sumber air pun berkurang. Area itu dinamakan Kao Rahai, yang berarti tempat indah.

Kedatangan Novenia bersama tetua dan Masyarakat Adat Minamin keturunan Togutil Sabeba berunjuk rasa baik di desa (hoana) maupun di hutan, ingin menunjukkan keberadaan mereka sebagai masyarakat yang hidup di wilayah itu. “Kami ada, kami berhak mengelola hutan adat kami.”

 

Hutan yang dibuka untuk jalan PT IWIP pada September 2022. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Hari itu, ratusan warga adat dua Desa di Kecamatan Wasile Selatan yakni Hoana Minamin dan Hoana Saolat,  memblokade aktivitas perusahaan tambang, IWIP, dulu, PT Weda Bay Nickel (WBN).

Mereka tergabung dengan nama Masyarakat Adat Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat. Masyarakat adat ini  protes kepada pemerintah dan perusahaan bersama sub kontraktor yang dianggap telah membongkar hutan ulayat kedua desa itu.

Masyarakat menolak ekspansi IWIP masuk Hutan Adat Akejira Mein  (Aruku Ma Ngairi). Mereka juga menuntut,  perusahaan menghentikan pembayaran ganti rugi atau tali asih kepada pihak lain yang diduga mengatasnamakan pemilik lahan.

“Perusahaan membayar tali asih kepada desa yang tidak sedikitpun memiliki hak atas tanah ulayat di lokasi yang mereka pakai,” kata Juliath Pihang,  perempuan adat Desa Saolat yang juga ikut aksi.

Menurut dia, keberpihakan negara dan pemerintah daerah atas masyarakat adat tak ada.

Beberapa spanduk bertuliskan Masyarakat Adat Tobelo Boeng Wasile Selatan, tolak ekspansi penambangan WBN/IWIP. “Selamatkan Tanah Adat di Tanah adat Wasile Selatan.”

“Kami pemilik tanah ulayat ini. Kami tidak mengizinkan mengambil apa yang menjadi milik kami,” kata Novenia.

Orang Tobelo Dalam  yang ikut aksi antara lain Hidete, istri Bokum, mertua, juga anak-anaknya.

Mereka sempat dilarang mendekati Akejira.

Aktivitas lumpuh. Terlihat alat-alat berat seperti traktor dan truk pengangkut material juga setop operasi.

 

Orang Tobelo pesisir maupun Tobelo Dalam, protes hutan rusak karena tambang, September 2022. Foto: Christ belseran/ Mongabay Indonesia

 

Novenia bukan kali ini saja ikut protes.. Pada September 2020, pertama kali dia unjuk rasa ke perusahaan di Akejira ini.

Kala itu, pembukaan jalan masuk di wilayah adat yang dikenal dengan Komunitas Bokumu. Saat itu, baru awal perusahaan IWIP membuka jalan untuk operasi tambang.

“Saat itu, jawaban dari perusahaan eksistensi kami dan pengakuan dari pemerintah untuk kami itu belum ada hingga itu alasan perusahaan makin gencar operasi di wilayah kami.”

Menurut perusahaan, kata Novenia,  secara administrasi hukum pemilik hak ulayat belum kuat. Namun, katanya, masyarakat adat lebih dulu ada berpuluh tahun sebelum perusahaan bahkan sebelum negara Indonesia.

“Tidak ada alasan kedudukan di mata hukum kami tidak kuat.  Nyata kami sudah ada di wilayah ini turun menurun.”

Perempuan adat Tobelo Boeng Heleworuru ini mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan izin operasi pertambangan di wilayah adat mereka.

“Kenapa dengan cara ini mereka perlahan-lahan menyingkirkan komunitas kami baik di pedalaman hutan maupun di pesisir.”

Hutan Akejira,  berada di dua kabupaten, yakni,  Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Hutan itu jadi rumah Orang Tobelo turun menurun.

“Saya termasuk turunan keempat Suku Tobelo Dalam, yang menempati hutan Akejira. Di atas buyut kami itu saya sudah tidak tahu,” kata Ngigoro Batawi, keturunan Orang Tobelo Dalam.

Buyutnya bernama, Kokawahi. Anaknya, Soldado. Soldado punya enam anak masing-masing Duladi, Jahamina, Mustika Papajalan, Rani dan Bailele,” tutur pria kelahiran Tofu ini.

Dia sudah tak tahu nama orang tua Kokawahi. Berarti, katanya, sudah ratusan tahun nenek moyang mereka menempati hutan Akejira. Kokawahi beranak pinak di hutan yang akan jadi tambang nikel ini.

Akejira, merupakan nama dari puluhan sungai yang mengalir ke sejumlah desa di Halmahera Timur, Halmahera Tengah maupun Kota Tidore Kepulauan. Anak Sungai Akejira,  mengalir ke Halteng dan Maba, seperti Sungai Soa sangaji, Waijoi, Kali Sot dan Kali Loleba di Wasile Selatan. Ada juga yang mengalir ke Oba, Kota Tidore Kepulauan.

Menurut Ngigoro, kawasan ini ada dua induk sungai besar yakni Akejira dan Mein. Induk Sungai Mein, banyak mengalir ke Halmahera Timur.

“Jangan rusak hutan kami. Di situ tempat hidup dan mencari makan. Kalau hutan Akejira rusak, keluarga kami susah cari makan dan berburu. Mereka bisa mati. Saat ini saja, mereka   sudah makin terjepit,” katanya.

 

Area ini dulu hutan bertutupan, kini rata dengan tanah….Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay beberapa kali mencoba menghubungi perusahaan melalui email maupun WhatsApp namun hingga berita ini terbit belum ada balasan.

“Siang juga, saya sudah kirim surat dari Mongabay lewat pak Amar Fabanyo di Jakarta, saya barusan hubungi dia. Nanti dia kirim ke abang,” jawab Bilal,  staf humas IWIP melalui WhatsApp, November lalu tetapi tak ada jawaban lagi.

PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP),  kawasan industri nikel di Weda, Halmahera Tengah, salah satu pengelola nikel di Halmahera.  Perusahaan punya wilayah tambang nikel, dulu WBN.

Perusahaan ini merupakan patungan dari tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan, Perlux Technology Co.Ltd. Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.

Kawasan industri Teluk Weda di Halmahera Tengah ini,  masuk dalam proyek strategis nasional. Industri ini mengelola bahan tambang feronikel dan turunan jadi baterai untuk kendaraan listrik, stainless steel, fasilitas pendukung, dan smelter.

Achmad Zakih, Sekertaris Dinas Kehutanan Maluku Utara, menampik ancaman hutan di Halmahera Tengah. Dia mengatakan, pada prinsipnya negara melindungi hutan berserta masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan seperti orang Togutil—sebutan lain Suku Tobelo Dalam–di Halmahera.

Untuk menguatkan keberadaan masyarakat adat yang turun-temurun tinggal dan hidup di dalam hutan, katanya, perlu penetapan melalui peraturan daerah.

Berbeda dengan ucapan Zakih, kenyataan di lapangan hutan orang Tobelo, terus terkikis.

Bagi orang Tobelo, kata Novenia, hutan adalah rumah dan sakral. Kalau hutan rusak, segala yang ada di dalamnya juga akan rusak.

Hutan penyedia segala, dari  sumber makanan seperti berburu, buah-buahan, sayur mayur,  obat-obatan maupun sumber mata pencarian, antara lain mencari damar.  Kebun masyarakat adat pun di hutan.

“Kehidupan kami tergantung hutan.”

 

Hutan bertutupan di Halmahera, perlahan hilang… Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Exit mobile version