Mongabay.co.id

Was-was Ancam Ruang Hidup, Para Perempuan Pejuang Agraria Serukan Cabut Perppu Cipta Kerja

 

 

 

 

“Pejuang agraria perlu bersatu, baik petani, aktivis, masyarakat adat, nelayan, di desa dan kota perlu memperjuangkan hak atas agraria.”

Begitu kalimat diucapkan Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria,  dalam Konsolidasi Nasional Perempuan Pejuang Agraria 8 Maret lalu bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.

Sekitar 700 perempuan dari 86 organisasi rakyat yang berjuang untuk kedaulatan agraria dari 21 provinsi hadir dalam konsolidasi nasional secara daring itu. Mereka satu suara menolak Perppu Cipta Kerja dan menyerukan kepada pemerintah untuk segera mencabutnya.

Kendati Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat formil dan inkonstitusional bersyarat seperti keputusan Mahkamah Konstitusi tetapi Presiden, Joko Widodo, menandatangani Peraturan Presiden Pengganti UU (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja pada penghujung tahun lalu.

Perppu ini, katanya,  khawatir makin memperburuk ruang hidup masyarakat, diskriminasi, intimidasi, eksklusi terhadap warga makin marak, terutama ketika masyarakat berhadapan dengan korporasi atau negara.  Dalam kondisi konflik agrarian, perempuan berada dalam kondisi rentan terdampak ganda.

“Dalam konteks reforma agraria, perempuan jadi elemen penting memperjuangkan hak atas tanah, untuk memperjuangkan perombakan struktur agraria,” kata Dewi.

Para perempuan, katanya, perlu dilibatkan dalam berbagai pembicaraan atau pengambilan kebijakan supaya ada pemerataan hak. Hingga merata bagi semua kelompok, terlebih perempuan yang begitu dekat dengan alam maupun pangan.

Bagi Kartika, yang perlu dilakukan pemerintah adalah pemberdayaan petani dan nelayan dalam negeri, bukan memperkuat keran impor pangan seperti dalam Perppu Cipta Kerja.

 

Baca juga:  Menyoal Perppu Cipta Kerja [1]

Perempuan, bisa menjadi buruh ketika ruang hidup mereka hilang maupun rusak. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Perempuan, katanya,  merupakan kelompok rentan di tengah konflik agraria. Sayangnya, yang dilakukan DPR dan pemerintah malah menghadirkan UU Cipta Kerja—belakangan Perppu Cipta Kerja– yang berisiko mendorong liberalisasi tanah.

Perempuan, katanya,  terdepan dalam memperjuangkan hak atas tanah, kedaulatan pangan keluarga, maupun ruang hidup mereka.

Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) juga anggota Dewan Nasional KPA, menceritakan bagaimana proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) di Sumatera Utara.

Dia bilang, dalam dua tahun food estate berjalan, proyek itu hanya merusak sistem pertanian dan pangan lokal. Delima mempertanyakan, proyek food estate itu untuk kebutuhan pangan siapa.

Food estate itu merupakan cara pandang monolitik … dan cara pandang otoriter mengenai makna pembangunan dan kemajuan, termasuk pangan dari pemerintah,” katanya.

Dalam perencanaan, warga tidak diajak rembuk seperti soal jenis tanaman, cara penanaman, penggunaan teknologi, dan lain-lain. Alhasil, dalam pelaksanaan hanya memperluas konflik agraria dan menghancurkan sistem pertanian lokal.

“Mau menanam apa? Cara tanam bagaimana? Teknologinya bagaimana? Tidak dirembukkan bersama warga dengan baik.”

Bahkan, katanya, jenis tanaman dalam food estate tak sesuai yang biasa ditanam di daerah itu hingga asing bagi petani.

“Petani itu terasing dengan produksinya. Dulu dia menanam singkong, padi, sekarang menanam kentang, itu bukan yang dia tahu. Hingga dia tergantung teknisi, teknologi.”

Sistem pertanian keluarga yang biasa bersolidaritas bisa rusak dengan food estate, dari yang biasa berbasis keluarga dengan mengedepankan gotong royong makin hilang karena beralih ke sistem buruh atau jual jasa. Lebih-lebih, katanya,  tenaga kerja dari luar.

“Tanaman lokal hilang misal, kemenyan dan andaliman,” kata Delima.

 

Baca juga: Organisasi Masyarakat Sipil Protes Perppu Cipta Kerja Ancam Lingkungan dan Masyarakat

Kara benguk. Pangan lokal seperti ini berpotensi hilang kala penyediaan pangan dengan proyek skala besar. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Rizki Anggriana Arimbi, Kordinator KPA Sulawesi Selatan, bilang, kondisi perempuan memprihatinkan di tengah konflik agraria, ada efek multidimensi didapat para perempuan.

Konflik agraria banyak terjadi di Sulawesi Selatan, seperti antara petani dengan perkebunan negara, PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Para perempuan desa kehilangan tanah, sumber-sumber daya alam sebagai hingga harus jadi buruh. Mereka tidak lagi berdaulat atas tanah, katanya, tetapi bergantung perusahaan.

“Akhirnya,  juga berefek terhadap pernikahan dini, karena situasi sudah tidak bisa lagi dihidupi secara ekonomi,” kata Kiki, sapaan akrabnya.

Perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam sering membuat kerusakan alam, pencemaran, dan pengganggu berbagai ritual kebudayaan.

“Tidak ada lagi pesta-pesta panen yang puluhan tahun lalu masih dilakukan, dirasakan oleh petani.”

 

Baca juga: Menyoal Perppu Cipta Kerja [2]

Nyai Jusma dan petani perempuan Lubuk Mandarsah, Tebo berjuang lahannya yang berkonflik dengan HTI WKS. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version