Mongabay.co.id

Kasus Ranca Upas: Menumbuhkan Etika di Hutan Hujan Tropis Tersisa Jawa Barat

 

 

Langit mendung siang itu, selaras dengan pesan yang diterima di gawai milik Sigit Ibrahim (35). Kelabu. Apalagi pesan berantai itu membuatnya setengah mengerutkan dahi. Setengahnya lagi mengundang kecewa. Lantaran kegiatan event motocross berimbas pada kerusakan ekosistem rawa gunung di Ranca Upas, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Minggu 5 Maret 2023 lalu.

Kurang lebih 1.500 sampai 2.500 motor menjajal track di kawasan wisata alam milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan. Dokumentasi kegiatan viral di linimasa media sosial. Dari situ jelas betapa runyam kondisi waktu itu.

“Tidak pernah menduga bakal sebegitu kacau,” kata Sigit, Penggiat Konservasi Bandung Selatan.

Bekas ban motor semrawut menggerus tanah sekitar rawa. Tak sedikit pula motor peserta nyungsep di lumpur. Umpatan riuh dilontarkan. Mereka menghardik penyelenggara karena tak becus mengawal jalur. Puncaknya, mereka membakar motor hadiah sebagai bentuk kemarahan. “Event paling kacau, tak ada konsumsi, tak ada evakuasi, tak ada petunjuk jalur,” demikian kata yang sering terucap pada beberapa video yang beredar.

Kata Sigit, informasi rute menjadi biang persoalan. Sehingga banyak pemotor kalap hingga trabas ke jalur hutan lindung. Dan dari situ mulanya kerusakan.

“Informasi rute yang tertera itu adalah masuk dan keluar Ranca Upas,” ucap Sigit. “Ini mah malah keluarnya jauh dari rute yang kemudian masuk hutan lindung.”

baca : Hutan Jayagiri, Tangkuban Parahu, dan Cekungan Bandung

 

Para pemotor trail dalam event event motocross berimbas melewati dan merusak ekosistem rawa gunung di Ranca Upas, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Minggu 5 Maret 2023 lalu. Foto : istimewa

 

Kegaduhan lain juga terjadi. Dalam video yang banyak dibagikan di media sosial, seorang pria bernama Uprit terlihat marah dengan nada tinggi karena rusaknya kebun tanaman bunga rawa. Bahkan video itu sempat trending topic.

Diketahui, acara semacam itu bukan kali pertama digelar di Ranca Upas. Dalam video yang dibagikan warga pada Rabu (8/5/2023), Waka Administratur Wilayah Barat Trisna Mulyana (KPH) Bandung Selatan mengakui kekacauan tersebut akibat kelalaian panitia. Sehingga peserta tak mengetahui rute yang benar.

“Kegiatan seperti ini di sini sudah dilaksanakan kalau nggak salah 3 kali atau 2 kali dengan jumlah peserta dan rute yang sama. Cuma bedanya kalau dulu panitianya ada, panitianya hadir. (panitia yang sekarang tidak),” kata Trisna.

Kedepan, Trisna bilang bakal memperbaiki SOP penyelenggaraan kegiatan ekonomi di Ranca Upas. “Dari kejadian sebelum-sebelumnya, kita sebenarnya aman-aman saja. Dan (di rawa) memang tidak ada kerusakan tegakan, cuma kerusakan yang bunga rawa (yang dikeluhkan) sama Mang Uprit itu.”

 

Rawa Gunung

Kawasan Ranca Upas memang sudah dikenal sebagai salah satu objek wisata alam tertinggi di Jawa Barat. Rawa gunung ini merupakan salah satu dari ekosistem Gunung Patuha 2.434 mdpl. Adalah Franz Wilhelm Junghuhn, ahli botani perkebunan Belanda, menemukan keindahan Patuha pertama kali tahun 1837.

Catatan penjelajahan Junghuhn dituangkannya dalam buku Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart yang terbit di Belanda tahun 1853. Buku yang mencuatkan namanya hingga dikenal luas sekaligus mengenalkan keindahan danau gunung pada dunia.

Dikutip dari tulisan T. Bachtiar, Masyarakat Geologi Cekungan Bandung, Peta Topografi Lembar Tjiwidei (Ciwidey) yang dibuat oleh Topographisch Bureau Hindia Belanda tahun 1925, kemudian dicetak ulang oleh Army Map Service Washington D.C. tahun 1943, masih digambarkan adanya dua ranca, yaitu Ranca Upas dan Ranca Walini. Sedangkan Ranca Bali sudah tidak digambarkan lagi ranca-nya, demikian juga Ranca Cangkuang dan Ranca Suni. Dalam peta ini, luas Ranca Upas dan Ranca Walini tidak mengalami perubahan.

“Apakah betul Ranca Upas itu ranca, rawa, atau lahan basah? Saya membuka peta-peta topografi, diantaranya peta topografi Lembar Tjangkoewang (Cangkuang), peta topografi Lembar Tjisaroewa (Cisarua), yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau di Batavia pada tahun 1886.” tulisnya.

baca juga : Curug Dago, Jejak Keindahan Bandung Tempo Dulu

 

Warga melintas di area kawasan Ranca Upas, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Istimewa

 

Dalam peta topografi Lembar Tjangkoewang, jelas digambarkan, di kawasan itu terdapat setidaknya tiga ranca, yaitu: Ranca Upas, Ranca Walini, Ranca Bali, dan di sebelah barat Ranca Walini dan Ranca Bali, terdapat Ranca Cangkuang, Ranca Suni, namun tidak terlacak lokasi rawanya.

Kemerosotan moral diduga mendorong munculnya perilaku yang menjurus pada kerusakan hutan. Perilaku itu ditandai dengan degradasi lingkungan pada bentang alam antara Gunung Patuha hingga Gunung Masigit.

Dosen Ekologi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB), Dian Roseline, mengamini kerusakan yang perlahan terjadi pada lanskap Bandung Padahal penemuan habitat Eriocaulon brownianum sudah cukup membuktikan jika Ranca Upas merupakan rawa gunung yang tersisa.

Masyarakat lokal mengenalinya sebagai edelweiss rawa. Tapi sebenarnya secara taksonomi keduanya berbeda. Habitatnya juga berbeda. Namun, tanaman rawa ini punya kepala bunga berwarna campuran kuning pucat. Mungkin karena itu dinilai mirip dengan bunga abadi. Di Jawa secara spesifik persebaran tanaman yang tingginya bisa mencapai 1 meter ini hanya diketahui berada di rawa-rawa air tawar di Patahu, Pangalengan dan Dieng.

Tanaman tersebut masuk genus Eriocaulon terdiri dari 400 spesies umumnya dikenal sebagai tanaman berbunga monokotil. Genus ini tersebar luas, dengan pusat keanekaragaman terdapat di daerah tropis.

“Berdasarkan klasifikasi lansekapnya memang hutan sekitar rawa air tawar ini adalah hutan hujan tropis atau hutan pegunungan kami menyebutnya. Isinya unik sekali, jarang menemukan ekosistem selengkap ini dimana kita bisa masih menemukan karakter tumbuhan endemik Jawa. Mungkin ini satu-satu yang masih ada,” papar Dian kepada Mongabay-Indonesia.

Karakteristik tanah hutan rawa air tawar pada umumnya didominasi oleh tanah aluvial. Sehingga menjadikan ekosistem tersebut kaya akan unsur hara dan mineral. Dan Eriocaulon brownianum maupun jenis lain dari Pteridophyta atau paku-pakuan banyaknya ditemukan di hutan berjarak 46 kilometer arah selatan Kota Bandung ini. Dian menyebutnya sebagai hutan tanaman bawah.

baca juga : Burung-burung yang Mulai Tergusur dari Bandung

 

Panorama kawasan Ranca Upas, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Zuki/flckr/CC 2.0

 

Tumbuhan seperti oenanthe javanica dan sedalah air tipikal khas di daerah basah. Oleh awam, tanaman bawah ini dianggap biasa. Padahal tanaman itu dijadikan indikator alami: dia hanya mau tumbuh di air yang kualitas terbaik. Maka biasanya tumbuh di aliran air yang tidak jauh dari sumber mata air.

Berdasarkan hasil studi mahasiswa ITB, kata Dian, ekosistem di sana menyimpan keanekaragaman luar biasa. Terlebih keberadaan rawa air tawar ini tidak banyak jumlahnya di Indonesia.

“Studi ekologi, keanekaragaman hingga taksonomi tumbuhan sering dilakukan di Ranca Upas. Maka bagi kami dari sisi akademisi kawasan itu sangat berharga untuk ilmu pengetahuan,” kata Dian.

 

Rumah Endemik

Ekosistem hutan rawa air tawar berperan penting dalam menjaga keberadaan flora endemik. Sedikitnya ada dua tipe vegetasi yang mudah dijumpai yaitu vegetasi terna dan savana. Vegetasi yang juga menunjang sumber pakan bagi keanekaragaman fauna.

Kawasan ini menjadi tumpuan bagi jenis fauna endemik terancam punah seperti mamalia, primata dan burung yang masuk daftar merah IUCN. Selain mamalia besar, keanekaragaman jenis reptil, amfibi, dan fauna perairan di hutan rawa air tawar juga cukup tinggi, namun belum terdokumentasi dengan baik.

Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaid, membenarkan anggap itu. Jika tak banyak penelitian yang dilakukan di sana.

Kajian teranyar dilakukan antara 2019-2022 di sekitar Tambakruyung. Hasilnya, diidentifikasi ada sekitar 157 spesies burung. Dan, 38 spesies merupakan endemik khas Jawa seperti, elang jawa (Nisaetus bartelsi), luntur jawa (Apalharpactes reinwardtii), cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), ciung (Myophonus caeruleus) batu kecil hingga burung madu jawa.

“Kajian ini belum secara keseluruhan. Hanya bagian kecil dari lanskap ekosistem Patuha hingga Masigit, segitu pun keragaman biodiversitas nya sudah tinggi,” tutur Ridha.

Menurut Ridha, hasil asesmen sementara menjadi modal penting bagi pengelolaan kawasan. Sebab, secara aturan, Ranca Upas dengan luas 215 hektar masuk dalam kawasan hutan lindung Bandung Selatan sekaligus wisata alam.

Sigit Ibrahim, yang juga mantan Kepala Perawat Primata di The Aspinall Foundation Indonesia, menemukan kecocokan hutan sekitar Ranca Upas dengan habitat primata jawa seperti owa jawa (Hylobates moloch). Kerapatan kanopi hutan, ketersedian pakan dan kesaksian warga generasi tua cukup menguatkan dugaan itu.

“Hasil asesmen kami di lapangan menemukan juga predator utamanya yakni macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Terakhir, kawasan ini juga dipilih KLHK untuk lepas liar elang jawa,” kata Sigit menceritakan pengalaman 12 tahun mengkaji kawasan di sekitar Gunung Tilu. “Jika dilihat kawasan ini satu hamparan.Meskipun sekarang sudah terjadi fragmentasi di titik-titik tertentu sehingga terkesan terpisah.”

 

Suasana matahari terbit di kawasan Ranca Upas, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Nursa Sherli Yoanita/Wikimedia Commons/CC 4.0

 

Berdasarkan data KPH Bandung Selatan mengelola sekitar 55 ribu hektar. Hampir 80 persen merupakan kawasan lindung atau setara 44 hektar. Sisanya merupakan hutan produksi dan hutan produksi terbatas.

Ridha bilang, meskipun hutan tidak masuk jaringan kawasan konservasi di Indonesia. Tapi,mesti  tetap dilindungi untuk menjaga fungsinya. Ekosistem ini berperan penting bagi manusia, baik sebagai pengatur tata air maupun cadangan karbon yang tinggi.

Uniknya spesies flora fauna endemik yang sudah jarang ditemukan ditempat lain, ada di sekitar Ranca Upas. Tapi pengelolaannya dibawah Perhutani, katanya. “Maka tak elok juga jika hanya dibebankan kepada satu institusi. Ada fungsi kontrol yang bisa dikerjakan bersama sebetulnya. Dan kasus ini mungkin bisa menjadi momentum itu.”

 

Pelanggar Kebal Hukum

Pepep Didin Wahyudin, Ketua Yayasan Masyarakat Gunung Indonesia, punya kepedulian yang diberikan secara cuma-cuma demi melindungi kawasan konservasi. Minimal batas wilayah.

Bagi Pepep, kasus Ranca Upas tak ubahnya polemik di kawasan Ciharus. Sebuah danau gunung di Cagar Alam Kamojang.

Namun, aktivitas motor trail kerap masuk cagar alam. Padahal posisi dengan label tersebut teratas dalam struktur konservasi. Paling dilindungi karena ada keragaman hayati paling berharga di dalamnya.

Aktivitas itu sudah berjalan lama. Tapi mereka yang melanggar menganggap itu bukan masalah. Hal itu terjadi akibat pembiaran, kata Pepep.

Sebagai masyarakat yang punya fungsi kontrol , Pepep dan rekanannya mengagas gerakan masyarakat Save Ciharus pada tahun 2016. Sepanjang itu, mereka selalu kalah kuasa menghentikan pelanggar itu.

Diliputi rasa prihatin di satu sisi, dan geram di sisi lain. Pepep mengutarakan kegiatan penghobi itu kerap memakai logo Kodam III Siliwangi atau Kepolisian Jawa Barat. Embel-embel indentitas yang kerap mereka pakai.

“Itu kadang membuat kami dilema. Seolah kami yang melakukan pelanggaran,” kata Pepep. Padahal simbol keduanya justru penting menjaga hutan dan gunung-gunungnya. Apalagi simbol keduanya hidup di dalam kawasan.

Kombes Pol Kusworo Wibowo saat dikonfirmasi perihal perkembangan kasus di Ranca Upas, mengatakan, akan dalami pencantuman logo beberapa instansi di dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan informasi bahwa pencantuman logo dilakukan tanpa izin.

 

 

Exit mobile version