Mongabay.co.id

Sumatera Selatan Banjir Bandang, Audit Lingkungan Perusahaan Perlu Dilakukan?

 

 

Sepekan terakhir berbagai wilayah hulu di Sumatera Selatan, yakni di Kabupaten Lahat, Kabupaten Muaraenim, Kabupaten OKU Selatan, dan Kabupaten Musi Rawas, dilanda banjir. Penyebabnya, diduga dampak aktivitas ekonomi ekstraktif yang mengubah atau merusak kawasan tutupan hutan. Pemerintah diharapkan melakukan audit lingkungan terhadap berbagai perusahaan ekstraktif.

Pada Kamis [09/03/2023] lalu, Sungai Lematang yang melintasi Kabupaten Lahat, Kabupaten Muaraenim, Kabupaten PALI, dan Kabupaten Musi Banyuasin, meluap, yang menyebabkan banjir bandang. Puluhan rumah hanyut dan rusak, serta seorang warga Merapi Timur, Kabupaten Lahat, meninggalkan terbawa arus.

Banjir juga terjadi di Sungai Rawas, Kabupaten Rawas, yang menyebabkan ratusan rumah dan fasilitas umum di tiga kecamatan terendam. Bahkan dua jembatan gantung putus.

Ratusan rumah dan fasilitas umum yang terendam itu berada di Desa Pangkalan Tarum, Desa Pelawe, Desa Mulyoharjo, Desa Sadu, dan Desa Lubuk Pauh di Kecamatan BTS [Bulang Tengah Suku] Ulu. Kemudian Kelurahan Muara Kelingi, Desa Mandi Aur, Desa Pulau Panggung, dan Desa Binjai [Kecamatan Muara Kelingi], serta Desa Ciptodadi dan Desa Rantau Alih [Kecamatan Sukakarya].

Baca: Tiga Besar Persoalan Lingkungan Hidup yang Harus Diselesaikan Negara

 

Kondisi setelah banjir bandang akibat meluapnya Sungai Lematang, Sumatera Selatan. Foto: Istimewa

 

Banjir bandang juga terjadi di Desa Sidorahayu, Buay Pemaca, Kabupaten OKU [Ogan Komering Ulu] Selatan. Desa ini berada di dataran tinggi dekat SM Gunung Raya, merusak kebun dan sejumlah bangunan.

Banjir bandang akibat meluapnya Sungai Lematang, diduga sebagai dampak rusaknya kawasan DAS [Daerah Aliran Sungai] Lematang yang luasnya sekitar 738.000 hektar, yang diakibatkan kehadiran perkebunan sawit skala besar dan penambangan. Baik penambangan batubara maupun penambangan pasir dan batu andesit ditambah penebangan liar.

“Rusaknya kawasan hutan tersebut menyebabkan Sungai Lematang tidak mampu menampung air ketika hujan lebat [frekuensi tinggi],” kata Yulion Zalpa, pengamat lingkungan dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang, Sabtu [11/03/2023].

“Kerusakan DAS Lematang terjadi di Kabupaten Lahat, Muaraenim, PALI, dan Musi Banyuasin. Sementara wilayah yang terendam merupakan daerah rendah atau lembah. Bencana ini muncul setelah banyak hutan terbuka serta batuan dan pasir di Sungai Lematang digali.”

Baca: Melihat Ekosida yang Terjadi di Sumatera Selatan

 

Sebuah desa di Kabupaten Lahat yang terendam akibat banjir bandang dikarenakan meluapnya Sungai Lematang. Foto: Istimewa

 

Syafrul Yunardi, Ketua Forum DAS [Daerah Aliran Sungai] Sumatera Selatan, memperkirakan bencana banjir bandang disebabkan tutupan lahan di hulu Sungai Lematang rusak atau terganggu.

“Akibatnya, aliran air dari hulu ke hilir yang menjadi sangat cepat, mengakibatkan banjir dan tanah longsor,” katanya, Sabtu [11/3/2023].

Penurunan daya dukung dan daya tampung Sungai Lematang terlihat dari sedimentasi yang sangat tinggi, membuat sungai menjadi dangkal dan airnya keruh.

“Sebagian besar daerah hulu sebagai wilayah tangkapan air rusak, akibat perambahan, juga perkebunan sawit,” kata Hendra Setyawan dari Jejak Bumi Indonesia [JBI], sebuah organisasi peduli lingkungan di Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, awal Januari 2023.

“Kebun sawit itu bukan hanya melahap lahan basah, juga sudah naik gunung,” ujarnya.

Syafrul menyarankan, perlu dilakukan upaya perbaikan tutupan lahan yang rusak, terutama di hulu Sungai Lematang yang merupakan kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon.

“Tapi percuma ditanam, jika aktivitas perkebunan skala besar dan penambangan terus berjalan,” katanya.

Baca juga: Tahun 2023, Sumatera Selatan Waspada Kebakaran Rawa Gambut

 

Rumah ibadah yang rusak akibat banjir bandang di Desa Sidorahayu, Buay Pemaca, Kabupaten OKU [Ogan Komering Ulu], Sumatera Selatan. Foto: Istimewa

 

Audit lingkungan perusahaan

Yulius Usman, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan, menyatakan bencana banjir di berbagai wilayah hulu Sumatera Selatan diduga akibat rusak atau terbukanya kawasan hutan atau DAS [Daerah Aliran Sungai] oleh aktivitas berbagai perusahaan ekstraktif.

“KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan] dan Pemerintah Sumatera Selatan harus melakukan audit lingkungan terhadap berbagai perusahaan tersebut, baik di Kabupaten Empat Lawang, Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, Kabupaten Muaraenim, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten OKU Selatan.”

Selanjutnya dilakukan moratorium terhadap aktivitas penambangan. Baik batubara maupun pasir dan batu andesit.

Dijelaskannya dari 130 IUP [Izin Usaha Penambangan] Batubara di Sumatera Selatan yang luasannya sekitar luas 674.000 hektar, kabupaten yang dilintasi Sungai Lematang hampir semuanya ada perusahaan penambangan batubara.

Sebanyak 28 IUP [Kabupaten Lahat], 16 IUP [Kabupaten Muaraenim], 3 IUP [Kabupaten PALI], sementara usaha batubara di kabupaten yang dilintasi Sungai Rawas adalah 6 IUP [Kabupaten Musi Rawas Utara], dan 4 IUP [Kabupaten Musi Rawas]. Untuk IUP Batuan dan Mineral Non Logam di Sumatera Selatan sebanyak delapan unit, tersebar di Kabupaten OKU Timur, OKU Selatan, Banyuasin, dan Muba.

 

Banjir bandang di berbagai wilayah di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muaraenim diduga akibat terbukanya kawasan hutan. Foto: Istimewa

 

Hendra Setyawan menjelaskan, ada 29 perusahaan di Sumatera Selatan mendapat proper merah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ini tertuang dalam  Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.1299/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2022 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2021-2022.

“Proper merah itu membuktikan banyak perusahaan di Sumatera Selatan, baik penambangan batubara maupun perkebunan sawit tidak ramah lingkungan. Ini modal audit lingkungan perusahaan, sehingga dapat dicari pihak yang bertanggung jawab secara hukum atas bencana banjir bandang tersebut,” tegasnya.

 

Exit mobile version