Mongabay.co.id

Kala Hutan Mangrove Ngurah Rai Dominan Blok Pemanfaatan

 

 

 

Pada perhelatan KTT G20 November tahun lalu, para pemimpin negara-negara delegasi berkunjung ke kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Mangrove Ngurah Rai. Kawasan ini baru ‘revitalisasi’. Hingga kini, area itu masih tertutup untuk publik.

Ketut Subandi,  Kepala UPTD Tahura Mangrove saat dikonfirmasi Februari lalu mengatakan,  masih masa pemeliharaan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, belum diserahterimakan ke Pemerintah Bali.

“Rencana dibuka 2024, harus serah terima baru bisa dimanfaatkan. Kita khwatir rusak jika dibuka sebelum serah terima,” katanya tanpa menyebutkan detail waktu.

Pada 2015,  Tahura Mangrove Ngurah Rai ini seluas lebih 1.200 hektar. Ia terbagi dalam kawasan perlindungan 546 hektar, pemanfaatan 298 hektar, rehabilitasi 150 hektar, religi-budaya-sejarah hampir empat hektar, keperluan khusus 204 hektar , dan tradisional hanya 0,002 hektar.

Dalam rancangan penataan blok pengelolaan yang baru, areal ini mengalami perubahan luasan. Melalui keputusan Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) pada 2021, luas turun jadi 1.158 hektar lebih dengan lebih banyak blok pemanfaatan.  Blok perlindungan turun, dari 546 hektar jadi 334 hektar. Blok khusus malah bertambah, dari 204 hektar jadi 233 hektar.

Blok khusus inilah yang jadi pemanfaatan komunikasi, transportasi, listrik, energi, yang disebut strategis, seperti kerjasama TPA Sarbagita, estuari DAM, Badan Jalan Nasional, sampai rencana pembangunan energi listrik LNG untuk terminal dan pembangkitnya. Ada juga sarana umum eksisting dalam kawasan hutan yakni SMA 2 Kuta Selatan, jalan raya menuju Seragan, jalan raya menuju Sanur Kauh, dan lain-lain.

 

Baca juga: Menguji Keseriusan Wacana ‘Showcase’ Mangrove Bali di G20

Bangunan wantilan dan jalan raya proyek penataan mangrove G20. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Banyak proyek

Proyek ‘revitalisasi’ Tahura Mangrove Ngurah Rai cenderung fokus ke pembangunan fisik. Saat Gubernur Bali Wayan Koster mengecek kesiapan sebelum dikunjungi delegasi G20, disebutkan, ada banyak fasilitas baru dibangun. Fasilitas ini terlihat menyesuaikan kebutuhan pejabat negara-negara G20 yang diminta melihat etalase “proyek hijau” tuan rumah Indonesia di Bali.

Mulai dari pintu masuk, ada semacam monumen G20 di pinggir jalan raya utama Bypass Ngurah Rai. Kemudian,  ada parkir kepala negara mencapai 2,6 hektar dengan kapasitas hampir 500 kendaraan. Parkir sangat luas ini juga ditutup dan lengang. Sebelumnya, ada lokasi pembibitan atau persemaian permanen sejumlah jenis pohon di area ini, yang harus dipindah ke area lain di sekitar mangrove.

Berikutnya, ada dek kayu di dekat kerapatan mangrove untuk mempermudah delegasi melihat pohon dari ketinggian. Kemudian paling besar adalah wantilan dan segala fasilitasnya. Ada area plaza, jalur tracking mangrove, area persemaian, area penerima/lobby, menara pandang, dan lainnya terlihat megah.

Kawasan ini juga ditutup dengan peringatan tidak boleh memotret. Area yang bisa dilihat dari luar adalah landmark mengapung di Teluk Benoa bertuliskan G20 dan papan photovoltaic panel surya yang diklaim sebagai PLTS terapung dengan daya 100 kWp.

Proyek fisik ini dilakukan Adhi Karya termasuk gate Candi Bentar, penataan pura, pos jaga, gazebo dan fasilitas pakir limousine berkapasitas 256 unit, kantin, water tank, dan parkir kendaraan darurat.  Ada juga penguatan struktur jalan untuk mengantisipasi berat kendaraan dari para pemimpin negara yang diperkirakan bisa mencapai 20 ton per unit.

Hutan mangrove ini di awal penetapan oleh Menteri Kehutanan pada 1993, seluas 1.373 hektar lebih. Kemudian, terus menurun dengan sejumlah pelepasan jadi beragam fasilitas, terakhir ditetapkan luas lebih 1.158 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021, berkurang lebih 200 hektar.

Pelepasan ini antara lain, diberikan ke investor Bali Turtle Island Development (BTID) untuk reklamasi Pulau Serangan 62 hektar lebih.

Kemudian, ada istilah kerja sama yang tidak bisa terelakkan dengan luas skema kerja sama tidak ada kuota. Subandi mengelak kemungkinan celah alih fungsi lahan dengan mengatakan kerja sama ini harus berdasar kajian dan pertimbangan pemerintah daerah dan pusat. Batasannya, proyek strategis, hal yang dinilai penting, misal, jaringan listrik, bahan bakar, dan lain-lain.

“Sekarang, Tahura Mangrove tidak boleh ada pelepasan,” kata Subandi.

Proyek terakhir yang sedang sengketa informasi untuk mengakses dokumen publik di Komisi Informasi Bali diajukan Walhi Bali adalah rencana pembangunan terminal LNG atau gas cair di salah satu blok Tahura.

Dokumen yang diakses Walhi Bali adalah hasil studi kelayakan pembangunan terminal LNG dan perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah daerah yakni DLHK dengan PT. DEB, badan usaha yang mengelola proyek ini. Rencana pembangunan terminal ini termasuk dalam skema kerja sama yang tidak terelakkan.

Terakhir, pada sidang sengketa 25 Januari 2023, dalam siaran pers, Walhi Bali menyebut, dokumen yang diminta belum diberikan. Kuasa hukum Walhi Bali sekaligus Ketua Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali I Wayan Adi Sumiarta dan I Made Juli Untung Pratama kecewa.

Walhi Bali meminta informasi studi kelayakan khusus studi pemipaan pembangunan terminal LNG di mangrove Tahura Ngurah Rai dan dokumen perjanjian kerja sama strategis antara DKLH dan PT. DEB terkait penggunaan kawasan tahura.

Subandi mengatakan,  sudah memberikan dokumen blok pengelolaan dan studi kelayakan dikecualikan karena milik pemrakarsa, DEB dan KLHK. Dia membantah,  DEB sebagai badan publik dengan alas an tidak menggunakan dana APBD. “Dokumen PKS (perjanjian kerja sama) ada keterikatan DLHK dan DEB, jadi harus persetujuan DEB.”

Terkait alih fungsi mangrove untuk rencana pembangunan terminal LNG, Subandi menyebut rencana awal delapan hektar. “Gubernur minta perlu ditinjau kembali agar jangan pakai mangrove. Ada kajian ulang,” katanya.

Dia sebutkan, pengurangan penggunaan area mangrove itu misal Gudang LNG ada di laut, yang lewat mangrove hanya pipa 10 meter di bawah permukaan tanah tembus jalan raya. Dia meyakini pemipaan tidak merusak kawasan.

 

Baca juga : Warga Intaran Paparkan Dampak Pembangunan Terminal LNG pada Tahura Mangrove

Patung penyambut kawasan showcase mangrove G20 Bali. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Berisiko

Hanggar Prasetio, pegiat konservasi mangrove mengingatkan, perubahan kawasan mangrove akan berdampak besar.

Dia bilang, blok pemanfaatan, perlindungan, dan lain-lain biasa dibuat di atas kertas, baru dicari tahu ada apa di dalamnya. Perubahan pun terjadi, katanya, karena ada permintaan penggunaan area oleh pemerintah pusat, atau rusak karena aktivitas masyarakat maupun pihak lain.

Dalam ekosistem, katanya, kalau ada pemotongan mangrove bisa muncul berbagai hal, seperti daya ikat tanah lebih rendah dan sedimentasi lebih banyak terjadi di laut. “Seandainya,  mangrove dipotong, akan rilis karbon, karbon tertinggi termasuk dalam sedimentasi,” katanya.

Ketika alih fungsi, karbon akan hilang, berganti kapasitas sedikit penyimpanan. Kondisi ini, kata Hanggar, berlawanan dengan wacana pelesatarian mangrove. Walau jumlah sedikit, jika dikumpulkan jadi banyak.

Biodiversitas mangrove tahura, katanya, sangat tinggi. Kalau biasa di tempat lain ada 3-4 spesies tetapi di tahura sekitar 9-10 spesies dominan. “Bahkan ada spesies langka, jenis Hybrid hizophora x lamarckii. Jenis tidak bisa berkembang biak, tapi tumbuh besar. Harus ada aksi pelestariannya,” katanya.

Hal yang mengkhwatirkan kalau alih fungsi meluas, sebut Hanggar, berpotensi likuifaksi  apabila tanah tidak dicengkeram baik dalam kedalaman tertentu. “Jika mangrove dipotong, bisa jadi bencana dan bom waktu saja,” ingatnya.

Dari pengalaman kematian massal dampak perluasan PT Pelindo beberapa tahun lalu, mangrove mati karena sedimentasi dan bisa menyebar ke lokasi lain.

 

Salah satu sudut  showcase Tahura Mangrove Ngurah Rai. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version