Mongabay.co.id

Penangkapan Ikan Terukur, untuk Nelayan Kecil atau Pelaku Usaha?

 

 

Pekan lalu, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur secara resmi mulai berlaku setelah disahkan oleh Pemerintah Indonesia. Aturan tersebut menjadi penanda bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota akan segera berlaku.

Tetapi, pengesahan PP No.11/2023 itu mendapat kritikan tajam dari banyak pihak karena masukan yang terus disuarakan sejak dua tahun terakhir itu tidak didengar oleh Pemerintah. Akibatnya, harapan untuk melihat adanya perbaikan regulasi sebelum diberlakukan PIT, tidak terwujud.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bahkan berani menilai kalau pengesahan aturan tersebut menegaskan bahwa Pemerintah yang sekarang lebih fokus untuk mendorong para pemilik modal untuk berkembang dan mendulang banyak keuntungan.

Dengan demikian, aturan tersebut sudah resmi menjadi pintu masuk untuk pelaku usaha melakukan eksploitasi sumber daya ikan (SDI) yang disamarkan atas nama investasi. Semua itu ditetapkan tanpa melalui kajian berlatar belakang sains ilmiah.

Selain berlatar sains ilmiah, penyusunan PP 11/2023 juga dilakukan tanpa merujuk pada aturan yang sudah berlaku sebelumnya. Hal itu ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati saat memberi tanggapan lebih lanjut tentang pemberlakuan aturan tersebut.

Regulasi yang dimaksud, adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

“Kepmen ini seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan, karena status potensi SDI dan tingkat pemanfaatan yang berada mayoritas WPP telah menunjukkan status full dan over exploited,” ungkap Susan saat dihubungi Mongabay Indonesia, pekan lalu.

baca : Sudah 2023, Penangkapan Ikan Terukur Belum Juga Diterapkan

 

Presiden Joko Widodo (kanan) mendapat penjelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono (tengah) saat meninjau unit pengolahan ikan di PT Samudera Indo Sejahtera, Kota Tual, Provinsi Maluku, Rabu, 14 September 2022. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

 

Tanpa ada kajian dengan berdasar pada sains ilmiah dan regulasi, maka wajah asli Pemerintah saat ini sudah semakin jelas terlihat. Terlebih, karena PP No.11/2023 menegaskan bahwa Pemerintah tidak lagi mengiringi dengan aspek keberlanjutan ekologis.

Dengan kata lain, Susan Herawati menyebut kalau PIT menjadi pintu masuk eksploitasi dengan kedok investasi dan penangkapan yang terukur. Pengesahan PP No.11/2023 jelas bertentangan dengan prinsip/asas keadilan dan kelestarian merujuk pada Undang-Undang tentang Perikanan.

 

Catatan

Lebih detail, KIARA merinci sejumlah catatan dari kebijakan PIT yang saat ini masih dalam tahap persiapan. Pertama, PIT bisa membahayakan keberlanjutan SDI karena status pemanfaatan di WPPNRI telah dalam kondisi penuh dan berlebihan.

Catatan tersebut dibuat, karena PIT menjadi alat eksploitasi untuk mencapai keberlanjutan tanpa disertai penelitian sains ilmiah. Selain itu, PIT diklaim bukan menjadi amanat konstitusi karena tidak ditemukan terminologi tentang penangkapan ikan terukur dalam UU Perikanan.

Kedua, celah bagi nelayan skala kecil untuk melakukan produksi pada daerah penangkapan ikan terbatas sangat terbuka lebar, karena tidak ada penyebutan kategori skala tonase pada nelayan kecil. Itu menjadi substansi PP No.11/2023 yang harus diperbaiki segera.

Ketiga, pemberian kuota industri dalam PP No.11/2023 akan memberikan ruang masuknya investasi penanaman modal asing (PMA) di zona 01 sampai 04. Itu bertentangan dengan semangat UU Perikanan yang menyatakan bahwa usaha perikanan di WPPNRI hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Keempat, adanya ambiguitas dalam definisi nelayan kecil dan nelayan lokal dalam PP PIT, serta pemberian kuota nelayan lokal akan membatasi daya jelajah nelayan hanya maksimal sejauh 12 mil. Itu jelas bertentangan dengan daya jelajah nelayan tradisional dan kecil di berbagai tempat seperti di Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, yang sehari- hari melaut melewati 12 mil laut.

baca juga : Koral: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Memperburuk Kehidupan Nelayan

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Kelima, PP PIT hanya berorientasi pada penarikan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) di sektor kelautan dan perikanan, karena itu terbukti dengan masuknya kelompok nelayan lokal dengan kapal ikan di bawah 10 gros ton (GT) dan kegiatan perikanan bukan komersil ke dalam kelompok yang dikenakan pungutan PNBP bersama industri.

Keenam, PP PIT akan melanggengkan praktik alih muatan (transshipment) di tengah laut, mengingat masih lemahnya pengawasan yang dilakukan secara langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Ketujuh, sanksi pidana yang bisa memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran sampai saat ini masih minim. Faktanya, karena Pemerintah masih mengedepankan sanksi administratif dalam PP Penangkapan Ikan Terukur.

Susan Herawati menyebut, KIARA bersama nelayan tradisional di Indonesia secara tegas meminta kepada Pemerintah untuk menghentikan dan mencabut PP PIT karena tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan SDI dan kelautan di Indonesia, serta bertentangan dengan UU Perikanan.

Seharusnya, untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDI secara optimal dan berkelanjutan, perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

“Serta sesuai dengan kebutuhan nelayan dan masyarakat bahari lainnya!” pungkas dia.

menarik dibaca : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Data Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan para perempuan nelayan mampu memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 persen bagi perekonomian keluarga. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Era Terbuka

Tentang PP No.11/2023 yang baru saja disahkan, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyampaikan pandangannya. Menurut dia, PP PIT menjadi penanda era baru keterbukaan dan persaingan bebas kegiatan penangkapan ikan di Indonesia sudah dimulai.

Namun, kehadiran PP tersebut dinilai masih membutuhkan perangkat aturan teknis yang bisa memberikan kewenangan sangat besar kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Sedikitnya, dibutuhkan 12 peraturan menteri yang bisa menjadi aturan pelaksanaan dari PP tersebut.

Selain aturan turunan, dia mengkritik PP PIT sebagai aturan yang tidak tuntas untuk melakukan harmonisasi sejumlah isu dan masalah yang selama ini sudah menjadi sorotan publik. Penilaian itu keluar, karena PP PIT memberi kewenangan yang sangat besar kepada MKP.

“Salah satu sorotan publik selama ini adalah terkait kesiapan pelabuhan perikanan,” ucap dia kepada Mongabay, pekan ini di Jakarta.

Ketidaksiapan tersebut, akhirnya disiasati dengan mengakomodir pelabuhan umum dan pelabuhan perikanan lain yang tidak dioperasikan oleh Pemerintah (pasal 20 ayat 1). Padahal, keberadaan pelabuhan-pelabuhan tersebut selama ini terindikasi merupakan sumber praktik ilegal dan unreported fishing.

Kritikan lain yang diungkapkan Suhufan, adalah tentang keistimewaan yang diberikan PP PIT kepada PMA dengan memberi kesempatan melakukan penangkapan ikan di 4 zona, yaitu zona 01, 02, 03, dan 04 atau pada 8 WPPNRI.

“Komitmen dan janji KKP untuk menutup WPP 714 sebagai WPP konservasi juga tidak terbukti dalam aturan ini,” tegas dia.

perlu dibaca : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Di lain pihak, Pemerintah hanya memberikan pengecualian pada 2 zona yang meliputi 3 WPP (712, 713 dan 571) bagi penanaman modal dalam negeri (PMDN). Pada 8 WPP, PMDN akan bersaing dengan PMA yang memiliki keunggulan dari segi modal, teknologi penangkapan ikan, dan sumber daya manusia (SDM).

“PMDN dapat dipastikan akan kalah bersaing. Menjadi kekhawatiran bersama jika laut dan perikanan Indonesia akan dikuasai oleh dominasi asing dengan segala bentuk dan takaran yang berbeda-beda,” pungkas dia.

 

PNBP Pascaproduksi

Sebelumnya, KKP mulai menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dengan fokus untuk mengawal penerapan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi yang dimulai pada April mendatang di tujuh pelabuhan perikanan (PP) utama.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono mengatakan kalau penerapan PNBP pascaproduksi juga dilakukan untuk kepentingan nelayan. Itu kenapa, KKP kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Harga Acuan Ikan.

Aturan yang terbit pada 20 Januari 2023 itu, hadir untuk mengakomodir semua kepentingan masyarakat nelayan dan pelaku usaha perikanan. Dia berharap, harga acuan ikan yang baru bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan.

“Sekarang regulasi harga acuan ikan yang menjadi komponen dalam menetapkan pungutan PNBP pascaproduksi sudah terbit,” terang dia.

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi menambahkan, dengan fokus menerapkan PNBP pascaproduksi, maka diharapkan persiapan untuk penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota juga bisa semakin matang.

Sementara, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Adin Nur Awaludin menyampaikan, untuk menjamin kesuksesan penerapan PNBP pascaproduksi, pihaknya akan melaksanakan pengawasan dengan memanfaatkan teknologi.

 

 

Exit mobile version