Mongabay.co.id

Buku: Cerita Para Perempuan Melawan Kebengisan Tambang

 

 

 

 

Parulian Tambunan memindahkan ulos dari bahu ke atas kepalanya. Dia melepas kacamata dan memejamkan mata. Suara menggelegar, air mata mulai menitik, menumpahkan ratapan.

Tambun sedang ‘mangandung’, merupakan budaya Batak yang mengekspresikan ratapan dan tangisan atas duka, pergumulan, harapan dan penderitaan yang dihadapi.

Andung-andung ini Parulian susun sendiri untuk aksi di Pemerintah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, DPRD, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DPR dan lain-lain. Permintaan dia sama: cabut izin lingkungan PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Dairi.

DPM adalah perusahaan tambang seng berbasis di Beijing. Ia perusahaan patungan antara China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd (NFC) dengan Bumi Resources Minerals, anak perusahaan tambang batubara besar di Indonesia, Bumi Resources.

Perempuan 56 tahun ini tinggal di Lae Panginuman, sebuah kampung di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, sekitar 9 kilometer dari konsesi DPM.

Selama 33 tahun tinggal di Lae Panginuman, Parulian sehari-hari ‘maragat’, mengambil air nira dari pohon enau untuk menjadi tuak. Sehari bisa dapat satu liter nira, setelah jadi tuak, dijual Rp10.000 per liter. Tuak dijual di warung-warung. Agar uang terkumpul Parulian minta tua dibayar perbulan. Dia juga menawarkan tuak untuk pesta-pesta adat di kampung.

Maragat umumnya dilakukan laki-laki karena harus memanjat pohon. Jarang perempuan yang melakoni pekerjaan ini di kampungnya. Namun, demi menghidupi keluarga, Parulian maragat sendiri.

 

Sumber: Jatam

 

Mula-mula Parulian malu. Dia pikir, ini pekerjaan halal dan dia butuh uang untuk anak-anaknya.  Dia juga bantu anak-anaknya. Mereka bikin sendiri tangga untuk memanjat.

“Delapan anak harus sekolah semua. Saya beranikan diri memanjat,” katanya.

Parulian juga beternak babi dan bertani. Berkala dia bawa babi jantan keliling kampung untuk dikawinkan. Di kebun dia menanam jengkol, manggis, durian juga jagung.

“Panen jengkol sampai 18 goni (karung). Durian bisa 50 angkat satu hari,” Parulian mengenang masa panennya. Satu angkat durian, isi 2-3 buah, laku Rp20.000-Rp25.000 per angkat.

Dari hasil kebun dan maragat, orangtua tunggal ini, menghidupi delapan anaknya. Si bungsu masih duduk di sekolah menengah atas.

Namun,  hidup Parulian dan masyarakat Dairi lain terusik sejak izin kontrak karya DPM keluar pada 1998. Setidaknya, sejak 2006, perusahaan sudah eksplorasi menghasilkan 374 titik bobor, sampai 2011.

Tahun 2012,  limbah perusahaan meracuni air sungai, membunuh tambak ikan mas dan menyebabkan warga gagal panen.

 

 

Aksi masyarakat Dairi di depan Manggala Wanabhakti/Kantor KLHK di Jakarta, menolak tambang seng tahun lalu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Tahun 2018,  banjir bandang melanda Dairi. Parulian meyakini, salah satu penyebab adalah aktivitas DPM yang kembali lagi sejak 2017.

Sebelumnya, perusahaan  sudah menebang hutan di Dairi. Puncaknya 2022, KESDM menerbitkan izin operasi produksi.

“Inilah tangis kami. Kami petani hidup dari bertani, bukan dari tambang,” kata Parulian.

Perjuangan Parulian ini diceritakan lebih detail dalam buku Berontak sebagai Syarat Kehidupan: Kebengisan Industri Tambang di Mata Perempuan Kepulauan,” terbitan Jatam Nasional, Maret 2023.

Selain cerita Parulian, yang ditulis Desra Ivana Sihombing, aktivis Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), ada tiga cerita lain lagi. Ada cerita Maria, perempuan Sangihe melawan perusahaan tambang emas, PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Lalu, kisah dari Wadon Wadas,  melawan tambang andesit di Jawa Tengah dan perempuan-perempuan di Wae Sano, yang berjuang melawan tambang panas bumi di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Cerita Wadon Wadas ditulis Bayu Apriliano, wartawan Kompas.com dan cerita perempuan Wae Sano ditulis Ambrosius Adir, wartawan Floresa.co berbasis di Labuan Bajo.

Mengapa perempuan melawan?

“Ketika tanah akan digunakan, yang diajak bicara laki-laki. Tapi ketika mata air rusak, orang tidak bisa lagi mencari makan di belakang rumah, perempuan yang menanggung bebannya. Di mana-mana ketika perempuan disengsarakan, berjuang, mereka selalu membawa anak-anaknya,” kata Dian Purnomo,  kriminolog Universitas Indonesia, yang menulis kisah Maria dari Sangihe.

 

Perempuan Wadas dan warga Wadas yang lain protes rencana penambangan batu dan pasir unuk Bendungan Bener. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Untuk menulis kisah Maria, Dian menghabiskan satu setengah bulan tinggal di Sangihe. Dia melihat, mula-mula perempuan di pulau kecil di utara Sulawesi ini tak serta merta berani mengorganisir diri melawan tambang.

Namun pengetahuan yang mereka dapat dari lembaga pendamping, perlahan mendorong para perempuan maju paling depan menghadang alat berat yang hendak masuk ke Sangihe.

“Saat penghadangan, laki-laki potong pohonnya, perempuan yang menghadang berdiri di atas pohon supaya alat berat tidak masuk,” kata Dian.

Maria dan para perempuan Sangihe yang melawan tambang kerap harus berlawanan dengan teman, tetangga bahkan keluarga atau suami sendiri. Inilah alasan Dian memilih Maria sebagai narasumber utama dalam tulisan pada buku ini.

Perjuangan mati-matian Maria dan masyarakat Sangihe, bagi Dian, penting dicatat dan disebarluaskan. Narasi upaya pemusnahan manusia dari Pulau Sangihe sering dia dengar dalam perjalanan menulis kisah Maria.

Dian mengkonfirmasi ini dengan melihat banyak orang Sangihe tersebar di berbagai pulau lain di Sulawesi Utara, Likupang, Paputungan, sampai Buyat.

Sangihe punya empat gunung api aktif baik di darat maupun di bawah laut. Salah satunya Gunung Awu di utara. Kalau gunung ini meletus, bagian selatan, yang hendak jadi lokasi tambang, adalah tempat pengungsian. Kalau bagian selatan ditambang, kemana lagi masyarakat menyelamatkan diri?

“Kami ini tidur di atas emas, tapi kami tidak rakus. Sejak dulu kakek-kakek kami bilang, ‘kita hidup dari kebun dan laut, maka kita akan hidup sampai kapanpun’.

Mayoritas masyarakat Sangihe pun memenuhi keperluan hidup sampai menyekolahkan anak dari hasil cengkih, pala, dan ikan.

Dian bilang, jika pulau ini masuk tambang, masyarakat Sangihe hanya akan menjadi buruh di tanah sendiri. Ketika 30 tahun mendatang emas habis ditambang, masyarakat tak punya apa-apa selain tanah berlubang dan kerusakan lingkungan.

 

Aksi masyarakat adat menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Foto: Sunspirit for Justice and Peace

 

Ekonomi model penjajahan

Siti Maemunah, pendiri Tim Kerja Perempuan dan Tambang melihat buku ini sebagai konfirmasi atas ekonomi ekstraktif model penjajahan. Cirinya, pertama, industri keruk ini dijalankan bersama negara dan korporasi. Ia rakus lahan, air dan mengubah bentang alam hingga tubuh manusia.

Selain itu, ada pengerahan modal besar yang melibatkan oligarki.

“Kita tidak bisa lagi membedakan antara politikus, pemerintah, pengusaha. Mereka bisa satu wajah. Saudaranya,  pemerintah atau bahkan tidak ada di pemerintahan tapi bisa mengongkosi perubahan kebijakan,” kata Mae.

Kedua, ada pengerahan perubahan regulasi melalui UU Cipta Kerja (omnibus law) yang memperlemah analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan meniadakan partisipasi masyarakat.

Ada juga pengerahan aktor agama, seperti di Wae Sano, saat uskup yang semula mendukung masyarakat berubah pendirian dan mendukung eksplorasi panas bumi yang merusak kebun-kebun warga.

Ketiga, model ekonomi ini dilakukan bersamaan dengan pengerahan proyek infrastruktur untuk memenuhi permintaan pasar saat ini dengan label green economy.  Tambang seng di Dairi,  misal untuk memenuhi permintaan dunia soal kendaraan dan baterai listrik. Atau Bendungan Bener  yang ditolak warga Wadas di Jawa Tengah, untuk mewujudkan smart city dengan pasokan listrik dari energi terbarukan.

Keempat, seperti dibahas dalam buku ini, ekonomi ekstraktif penjajahan melibatkan aparat dan militer untuk mengamankan proyek dan tentu saja menggunakan APBN besar.

Meski ini bukan fenomena baru, Mae melihat perluasan kebengisan. Cara bekerjanya,  mengubah Undang-undang, dibungkus jargon yang seolah baik dan ramah lingkungan namun daya hancur meluas.

Tambang di Wadas, atau Lae Panginuman, misal, pakai PLTU yang batubara yang juga menghancurkan Kalimantan sebagai pemasoknya. Karakter bengis ini dianggap harus dilakukan dan baik, untuk merespon krisis iklim.

Disinilah kemudain perempuan hadir sebagai aktor aktif. Tiga dari empat kelompok perempuan yang ditulis dalam buku ini mengorgarnisir diri untuk melawan relasi kuasa berlapis mulai dari keluarga, lingkungan hingga negara.

Untuk itu, Mae mengusulkan satu sudut pandang yang dia sebut etika tubuh dan tanah air yang membantu masyarakat dari daerah lain, tak hanya solider dengan penderitaan perempuan di lingkar tambang namun jadikan ini pertimbangan dalam rantai produksi konsumsi sehari-hari.

Caranya? “Memutuskan tidak membeli sesuatu yang merusak alam di tempat lain, menurunkan konsumsi atau mengganti produk, kolaborasi mendukung pertanian,” katanya.

 

Parulian Tambunan, melantuntakn andung-andung saat aksi di depan KLHK Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pelanggaran HAM

Komnas Perempuan juga angkat bicara. Mereka mengkategorikan kasus sumber daya alam ke dalam kategori sumber daya alam dan tata ruang.

Periode 2003-2021, Komnas Perempuan menerima 57 pengaduan dari 22 provinsi dalam kategori ini. Paling banyak kasus terkait perkebunan, diikuti pertambangan, pembangunan infrastruktur, lalu penggusuran.

“Yang mengalami dampak terbesar dan kelompok paling dikorbankan adalah perempuan,” kata Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan, juga memberi testimoni dalam buku ini.

Menurut Ami, perempuan mengalami lapisan diskriminasi karena negara masih menggunakan pendekatan kepala keluarga dan perempuan dianggap melekat pada laki-laki di keluarganya.

“Padahal kebutuhannya berbeda,” kata Ami.

Dampaknya, kebijakan yang dibikin cenderung tidak menghitung kedekatan perempuan dengan alam. Perempuan yang mengolah tanah, mengambil obat-obatan dan bahan baku kerajinan dari alam, membutuhkan lebih banyak air dalam kegiatannya sehari-hari.

“Ketika alam rusak, hidup perempuan lebih hancur.”

Konflik sumber daya alam juga menjadikan perempuan rentan mendapat kekerasan berbasis gender, karena di daerah konflik, laki-laki yang tertekan akan kondisi sekitar cenderung melampiaskan emosi kepada orang yang lebih lemah seperti istri atau anak perempuannya.

Dengan kata lain, kata Ami, kekerasan yang dilakukan negara dalam bentuk ekonomi ekstraktif berkontribusi terhadap kekerasan di ranah privat. Termasuk juga perkawinan anak sebagai dampak pandangan patriarkis yang menganggap anak perempuan adalah aset yang bisa diandalkan untuk menunjang keberlangsungan ekonomi keluarga.

Tiga dari empat kisah dalam buku ini sedang dalam proses pendampingan oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan ikut mengirimkan Amicus Curiae atau teman pengadilan untuk mendukung gugatan perempuan Sangihe melawan TMS dan konsultasi dengan KLHK untuk penolakan warga Dairi dan Wadas.

Komnas Perempuan juga mengkategorikan konflik sumber daya alam dengan pelanggaran HAM berat. Perdebatan panjang mengenai ini terus dibahas karena perlu membuktikan unsur sistematis dan masif.

Untuk sistematis, kata Ami, Komnas Perempuan perlu menunjukkan sistematis kebijakan yang menghancurkan dan membunuh perlahan kelompok masyarakat.

“Kita bisa lihatkan ini masif. Ada 37 sampel dengan pola yang sama; tidak ada partisipasi publik, ada kekerasan berbasis gender, penangkapan sewenang-wenang juga terjadi,” kata Ami.

 

Koalisis Save Sangihe Island bersama perwakilan warga Sangihe, aksi di Jakarta, menuntut pencabutan izin perusahaan tambang emas, PT TMS. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

*******

 

Exit mobile version