Mongabay.co.id

Warga Sikalang Budidaya Madu Kelulut di Tengah Ancaman Operasi Tambang Batubara

 

 

 

 

Evda mengeluarkan baju pelindung berwarna putih dari tas. Dia menyorongkan kaki satu per satu lalu menutup retsletingnya. ‘Seragam astonot’, begitu dia menyebutnya. Hanya bagian wajah terbuat melainkan dari jaring-jaring. Inilah kostum wajib bagi warga Sikalang, Sawahlunto, Sumatera Barat, ketika datangi tempat budidaya madu kelulut. Evda datang bersama Ira dan Ida.

Baju yang digunakan Evda adalah pelindung dari sengatan. Ibu dua anak itu ingat sehari sebelumnya saat memanen madu kelulut di sarang Trigona itama, salah satu hewan itu hinggap di kelopak mata. Beruntung tak menyengat.

“Jenis Trigona itama itu katanya lebih agresif daripada yang Trigona thoracica,” katanya.

Perlahan-lahan ibu berjilbab ini membuka tutup stup berbahan karton. Dia angkat kotak berisi madu dan ratu lebah itu sejauh 10 meter. Banyak dari mereka bertahan di lokasi semula dan seakan kebingungan mencari sarang mereka.

Evda membuka pelan-pelan dengan pisau cutter plastik yang menutupi stup. Setelah itu dia melubangi beberapa kantong penyimpan madu dengan sebatang kecil ranting dan menghisap dengan selang kecil yang dioperasikan dengan mesin penghisap air biasa untuk galon air minum.

Sesekali dia mengibas-ngibaskan tangan mengusir itama yang menempel.

 

Budidaya lebah di Desa Sikalang. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Evda bersama Ira dan Ida panen madu selama dua jam. Satu stup perlu waktu sekitar satu jam. Ira datang membantu Evda untuk menutup kotak persegi empat itu.

Pada stup lain mereka tidak perlu baju pelindung karena lebah jenis Trigona thoracica tidak menyengat. Mereka panen sambil berbincang-bincang dan tertawa. Kalau sudah lancar, katanya, panen satu kotak tak sampai satu jam.

Budidaya koloni ini, katanya, kebersihan lingkungan harus terjaga. Tak boleh ada pestisida atau bakar-bakar.

“Tidak boleh bakar-bakar, nanti stres (lebahnya), kayak rumput juga tidak boleh diracun. Lingkungan juga harus dibersihkan terus, rumput tidak boleh tinggi karena nanti ada semut dan memakan semut,” kata Evda.

 

Baca juga: Warga Sikalang Resah Operasi Tambang Batubara Makin Dekati Pemukiman

 

 

Berdaya di tengah perlawanan

Budidaya lebah warga Sikalang ini di tengah was-was wilayah mereka rusak, terdampak operasi operasi tambang batubara, CV Tahiti Coal.  Pemukiman mereka terancam amblas.

“Perjuangan kami ini dibilang menang tidak kalah kami nggak kalah,” kata Ida.

Walhi Sumatera Barat mendampingi warga desa ini. Saat warga mencari ide untuk kuatkan ekonomi, Walhi usul budidaya lebah yang tak memerlukan lahan luas, tetapi hasil cukup menjanjikan.

Rekan-rekan Ida satu per satu mulai terpisah, sibuk dengan urusan masing-masing. Dia berharap, dengan ada budidaya madu ini kelompok mereka bisa kembali berkumpul. Mereka membentuk kelompok dengan nama Komunitas Pembela HAM Desa Sikalang.

“Punya perjuangan lebih dalam lagi dan bisalah kita kumpul, diskusi bagaimana ke depan,” katanya.

Komunitas ini mulai memanen madu kelulut. “Pelatih bilang, hasil panen awal hanya 200-300 ml. Alhamdulillah, ternyata hasil lebih banyak. Satu kotak ada 500-700 ml,” katanya.

Hasil dari budidaya lebah ini, selain madu ada pula propolis dan bee pollen. Namun, katanya, mereka masih mencari pasar. Mereka berencana, menambah stup lagi agar hasil panen lebih banyak.

Soal pembagian uang hasil panen madu, kata Ida,  akan dibagi untuk kas dan kelompok mereka ada 12 orang. “Berapa pun jumlah uang nanti 50% untuk kas dulu dan 50% dibagi rata sama teman-teman. Tapi bukan setiap panen, mungkin setahun sekali,” katanya.

 

Baca juga: Tambang Batubara Datang, Warga Sikalang Was-was Rumah Mulai Rusak

Evda memanen madu Trigona itama di Desa Sikalang Sawahlunto. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Galo-galo

Lebah tanpa sengat ini termasuk dalam tribe Meliponini (famili Apidae) di Indonesia. Serangga ini punya nama lokal. Di Sumatera sebagian dikenal sebagai galo-galo. Orang-orang di Jawa sebagian mengenal sebagai klanceng atau lenceng dan kelulut di Kalimantan dan Malaysia.

Henny Herwina, Muhammad Nazri Janra, Siti Salmah, Mairawita dan Jasmi dalam Jurnal ilmiah Aksiologiya berjudul “Analisis Cepat Budidaya Galo-Galo (apidaer: Meliponini) di Desa Suntur, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto” 2022 menuliskan, budidaya madu jenis ini sudah meluas sampai Brazil, India dan Malaysia. Menurut mereka Indonesia baru satu dasawarsa mulai intensif budidaya jenis lebah ini.

Mereka menuliskan, galo-galo ini berperan sebagai pollinator berbagai jenis tanaman dan tumbuhan liar. Mereka juga mampu hidup dalam pelbagai tipe dan kondisi habitat serta ketinggian.

Trigona ini punya punya volume rongga sarang hingga dapat menampung madu sampai dua liter dan dapat menempatkan sarangan di berbagai rongga seperti bambu, kayu atau pun tempurung kelapa bahkan di celah-celah bebatuan.

 

Ibu-ibu Desa Sikalang menambah tanaman bunga untuk makanan lebah agar lebih produktif. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dana Nusantara dari warga untuk warga

Wengki Purwanto,  Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan,  mereka melihat ide madu kelulut itu sudah lama. Bahkan,  gagasan itu berangkat dari yang sudah dilakukan warga setempat.

Titin,  satu ibu rumah tangga di Sikalang sudah budidaya madu kelulut sejak beberapa tahun sebelum konflik dengan perusahaan tambang. Hasilnya,  lumayan besar untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, perawatan pun tidak rumit.

Warga mendapatkan bantuan dua jenis lebah Trigona itama dan Trigona thoracica. Masing-masing gunakan 12 stup. Jumlah ada 24 dibagikan pada 12 orang.

Warga didampingi Walhi dalam proses ini dan masuk dalam skema Dana Nusantara. Masyarakat dampingan menyusun rencana pengembangan ekonomi mereka dan akses penerimaan dana langsung dari pusat ke komunitas.

“Jadi mereka mengajukan anggaran pengadaan, pelatihan, pembuatan standar operasional dan pengembangan sendiri. Walhi memfasilitasi atau asistensi. Mendampingi dan membantu sampai evaluasi,” katanya.

Konsorsium yang mengelola Dana Nusantara adalah Walhi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Komunitas Pembela HAM Desa Sikalang,  Kecamatan Talawi Kota, Sawahlunto adalah organisasi perjuangan masyarakat Desa Sikalang melawan tambang batubara yang merusak lingkungan dan mengancam wilayah kelola masyarakat. Komunitas ini ada 35 orang, terdiri dari 15 laki-laki dan 20 perempuan.

 

 

Panen madu. Dari kiri Ida bersama Ira dan Evda memanen madu kelulut selama satu jam satu stup. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Areal tambang batubara Tahiti Coal berdampingan langsung dengan wilayah masyarakat Dusun Bukit Sibanta, Desa Sikalang.

Sejak 2018, operasi tambang menimbulkan daya rusak bagi wilayah sekitar, seperti sumber air bersih tercemar, rumah-rumah warga rusak. Kemudian, kebun-kebun masyarakat amblas dan tanaman mati, warga ada yang alami penyakit kulit dan sesak napas.

“Berangkat dari situasi ini, komunitas perlu membangun kemandirian ekonomi keluarga secara kolektif, dengan mengoptimalkan lahan-lahan dan pekarangan rumah. Salah satunya, melalui budidaya lebah madu kelulut,” kata Wengki.

Wengki mengatakan,  operasi tambang batubara di Desa Sikalang menyebabkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan warga tidak lagi produktif. Situasi ini,  katanya, menyebabkan pendapatan warga terganggu.

Melalui aksi ini,  harapannya bisa memperkuat ekonomi keluarga. “Dengan kemandirian ekonomi maka perjuangan komunitas akan makin solid dan kolektif, serta tak mudah dipengaruhi perusahaan,” katanya.

 

Stup lebah di pekarangan rumah Bu Ida. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

*******

Exit mobile version