Mongabay.co.id

Suasana Perlon Unggahan Setelah Tiga Tahun Didera Pandemi

 

Meski masih subuh sekitar jam 03.30 WIB pada Kamis (16/3/2023), namun Wardoyo (38) sudah sibuk menyiapkan dua keranjang yang berisi  hasil bumi. Ada sayuran, beras, tahu, tempe dan lainnya. Semalaman, dia sudah memasukkan hasil bumi ke dalam dua keranjang.

Setelah dipastikan tidak ada yang tertinggal, bersama sekitar 120 kaum laki-laki lainnya yang merupakan anggota Komunitas Adat Bonokeling menyiapkan diri untuk berjalan kaki.

Wardoyo dan rekan-rekannya berasal dari Daun Lumbung, Kelurahan Tambakreja, Cilacap Selatan, Cilacap. Mereka berangkat pagi, karena sore hari sudah harus sampai di makam Kiai Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.

Mereka begitu bersemangat, karena dalam tiga tahun terakhir, praktis tidak ada ritual jalan kaki. Mulai tahun 2020, 2021 dan 2022, tradisi jalan kaki yang merupakan bagian dari Perlon Unggahan atau juga disebut Unggah-unggahan tidak dilaksanakan. Itu sebagai kearifan masyarakat adat Bonokeling, karena masih dalam masa pandemi Covid-19.

“Baru tahun ini, kami secara bebas kembali seperti sebelum adanya Covid-19. Bahkan, pada saat awal pandemi dulu, di tahun 2020, tidak ada ritual jalan kaki,”jelas Wardoyo.

Maka dari itu, begitu pandemi Covid-19 semakin turun kasusnya, maka ritual jalan kali dilaksanakan. Para pria baik muda maupun tua membawa dua keranjang seberat 5-10 kg. Kemudian mereka memikulnya dengan pikulan kayu.

baca : Ritual Perlon Menyatukan Adat Bonokeling dengan Alam

 

Prosesi jalan kaki yang dilaksanakan komunitas adat Bonokeling dari Cilacap ke Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ada beberapa lokasi yang dijadikan tempat peristirahatan, salah satunya adalah Pasar Kliwon, di Kesugihan, Cilacap. Di lokasi setempat, warga Daun Lumbung bertemu dengan anggota komunitas adat lainnya dari Desa Adiraja dan Kalikudi, Kecamatan Adipala. Di pasar setempat, tidak hanya laki-laki yang beristirahat, melainkan juga para perempuan.

Tak hanya Wardoyo, Giran (45) yang berasal dari Desa Adiraja, Kecamatan Adipala juga bersemangat mengikuti prosesi jalan kaki dalam tradisi Perlon Unggahan. “Kalau dari desa Adiraja, ada sekitar 200 orang. Mereka tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Sebagian beristirahat di Pasar Kesugihan,”katanya.

Memang, komunitas adat yang juga biasa disebut putra wayah Bonokeling terlihat berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sebab, mereka berpakaian tradisional Jawa. Bagi yang perempuan mengenakan kain jarik atau jarit yang dipadu dengan kebaya. Serta membawa selendang. Demikian juga dengan pria yang memakai celana pendek yang dipadu dengan jarik. Sementara atasannya mengenakan baju Jawa.

Saat beristirahat pada siang hari, mereka menyantap makanan yang dibawanya dari rumah. Yang menarik adalah komunitas adat itu tidak menggunakan bungkus berupa kertas makanan, melainkan memakai daun jati. Kebersamaan yang guyub terlihat begitu jelas. Mereka tidak lagi harus menjaga jarak atau mengenakan masker seperti ketika kasus Covid-19 tengah tinggi-tingginya.

“Ini seperti sebuah kemerdekaan bagi kami, karena tidak lagi mengenakan masker atau menjaga jarak. Bahkan, hampir tiga tahun tidak ada prosesi jalan kaki semacam ini. Yaitu pada 2020, 2021 dan 2022. Namun, prosesi Perlon Unggahan tetap ada, meskipun memang terbatas jumlah pesertanya,” katanya.

Setelah beristirahat cukup, sekitar jam 13.00 WIB, mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Sesampai di perbatasan antara Banyumas dengan Cilacap, warga adat Bonokeling dari Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang sudah berkumpul di lokasi setempat. Di pinggir jalan setempat, putra wayah Bonokeling dari Cilacap dan Banyumas bertemu. Ada prosesi seserahan ubo rampe atau hasil bumi dari Cilacap.

Setelah selesai, pengangkut hasil bumi digantikan anak putu Bonokeling dari Pekuncen untuk dibawa ke kompleks Kunci dan Bedogol, tidak jauh dari makam Bonokeling. Kunci adalah pimpinan tertinggi putra wayah Bonokeling di Desa Pekuncen, sedangkan Bedogol merupakan para pembantunya.

baca juga : Mitigasi Paceklik Pangan Dimiliki oleh Komunitas Adat Bonokeling, Seperti Apa?

 

Berjalan saat prosesi ziarah kubur saat acara adat Perlon Unggah-unggahan komunitas adat Bonokeling. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sesampai di Desa Pekuncen, para tamu anak putu Bonokeling terutama dari Cilacap beristirahat. Sedangkan tuan rumah yakni warga Desa Pekuncen mempersiapkan berbagai macam ubo rampe untuk prosesi puncak yang dilaksanakan pada Jumat (17/3/2023).

Sebelumnya, pada Kamis malam ada ritual khusus berupa puji-pujian di kompleks perkampungan kaum adat Bonokeling. Di lokasi setempat ada dua bangunan penting yang biasa dipakai yakni Bale Malang dan Bale Pasemuwan. Para tamu yang datang, menginap di rumah-rumah para Bedogol dan sebagian di kompleks makam. Ada satu hal yang tercermin, betapa kuatnya kekerabatan mereka.

“Tahun ini, tamu yang datang mengikuti prosesi Perlon Unggahan mencapai sebanyak 544 orang. Itu yang tercatat pada kami. Sedangkan warga di sini yang mengikuti mungkin antara 200-300 orang. Perlon Unggahan merupakan tradisi setahun sekali. Pada intinya adalah ziarah kubur menjelang bulan puasa. Lokasi utamanya di makam Bonokeling,”jelas tetua adat Bonokeling sekaligus juru bicaranya, Sumitro.

“Tahun 2023, sangat berbeda dengan tiga tahun sebelumnya. Sebab, tiga tahun sebelumnya pada waktu masa pandemi, kami mengikuti anjuran pemerintah. Tradisi tetap dilaksanakan, namun ada pembatasan. Misalnya, pada waktu kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya, maka kami mewakilkan Perlon Unggahan kepada Kunci dan para Bedogol saja,”jelasnya.

Kepala Desa Pekuncen Karso mengatakan tradisi Perlon Unggahan sudah kembali normal sama seperti sebelum adanya Covid-19. “Tahun ini, Perlon Unggahan mulai Rabu sampai Minggu (15-19/3). Ada ratusan tamu dari Cilacap yang datang ke Desa Pekuncen, Jatilawang untuk mengikuti prosesi Perlon Unggahan,”katanya.

baca juga : Kearifan Lingkungan di Desa Rawan Bencana

 

Masak bersama di halaman rumah Kunci komunitas adat Bonokeling. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pada intinya, lanjut Karso, mereka yang mengikuti Perlon Unggahan adalah ziarah kepada para leluhur. Selain itu, anak putu Bonokeling berdoa untuk keselamatan. “Pada intinya, anak putu Bonokeling meminta keselamatan. Perlon Unggahan juga merupakan doa memasuki Ramadan supaya pelaksanaan puasa Ramadan bisa berjalan lancar,”tambahnya.

Prosesi ziarah makam Bonokeling dilakukan oleh para tamu, sedangkan tuan rumah mempersiapkan masakan yang kemudian dimakan bersama. Perlon Unggahan tahun sekarang memotong seekor sapi, 29 kambing dan puluhan ekor ayam. Mereka memasak sejak pagi hingga menjelang sore hari. Pada sore harinya, mereka makan bersama dengan berbagai jenis masakan. Kearifan terhadap alam dan lingkungan terlihat, karena bungkus yang dipakai adalah daun jati. Terlihat juga bagaimana kekerabatan yang kuat di antara putra wayah Bonokeling.

Mereka makan bersama di kompleks makam yang luasnya 2 hektare. Mereka duduk di antara pepohonan tinggi berusia ratusan tahun yang tidak pernah ditebang. Anak putu Bonokeling menyebut kawasan setempat dengan “kedaton”. Di dalamnya beragam berbagai jenis pohon tumbuh, di antaranya adalah angsana, kepuh, nagasari, benda dan lainnya. Ketika prosesi Perlon Unggahan berlangsung, anak putu Bonokeling tidak pernah kepanasan karena dinaungi berbagai pohon yang rindang.

 

 

Exit mobile version