Mongabay.co.id

Rotan yang Perlahan Menghilang di Sumatera Selatan

 

 

Selama ratusan tahun, masyarakat di Sumatera Selatan memanfaatkan bergam jenis rotan [Calamus dan Daemonorops]. Baik dijadikan bahan kerajinan rumah tangga dan pertanian, seperti tudung saji, wadah, keranjang, tikar, hingga kursi.

Tanaman hutan ini juga dikonsumsi masyarakat. Misalnya, umbut atau batang rotan muda dan buahnya, serta dijadikan obat dan pewarna. Namun, sejalan dengan terus tergerusnya hutan, rotan mulai sulit didapatkan, sehingga sebagian tradisi dan pengetahuan terkait rotan pun hilang.

Di Indonesia diperkirakan terdapat 306 jenis rotan dari 8 marga. Puluhan jenis rotan, pernah dimanfaatkan masyarakat di Sumatera Selatan, namun sekarang, hanya beberapa jenis saja yang digunakan. Misalnya manau [Calamus manan Miquel], getah [Daemonorops rubra (Reinw. ex Blume) Mart.], sega [Calamus caesius Blume], dan semambu [Calamus scipionum Loureiro].

“Saat ini mulai sulit mencari rotan di hutan. Dulu, kalau kita masuk hutan pasti ada beragam jenis,  mulai ukuran besar hingga kecil. Termasuk pula yang dapat dimakan,” kata Arman Gupta [50], warga Desa Babat, Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, awal Maret 2022 lalu.

Baca: Umbut Rotan yang Enak Dimakan

 

Rotan manau tengah dijemur dan diikat sebelum dikirim ke Cirebon, Jawa Barat, untuk industri furnitur. Foto: Aghi Rahmat Aufa

 

Jenis rotan yang umbut [batang rotan muda yang dapat dimakan] adalah jenis rotan getah. Di Jawa, rotan ini disebut rotan penjalin sepet dan di Sunda dinamai rotan pelah. Tradisi makan umbut rotan ini bukan hanya di Sumatera Selatan, juga masyarakat melayu lainnya di Sumatera dan Kalimantan.

“Umbut rotan ini dapat dijadikan lalapan atau sayur. Kalau lalap, dapat dimakan mentah, dibakar atau direbus. Makannya harus dengan sambal, biar rasa pahit dan sepatnya tidak dominan. Kalau dijadikan sayur, ya dimasak santan atau ditumis,” kata Arman.

Sementara buah rotan yang dapat dimakan, buah dari rotan manau. “Rasanya asam, enak dimakan langsung atau sebagai bahan sambal buah dan bumbu pindang ikan.”

“Meskipun rasanya asam, tapi kalau diare, kami di sini biasanya makan buah rotan, termasuk pula kalau sariawan. Cepat sembuhnya,” jelas Arman.

Sejumlah penelitian membenarkan jika butir atau buah kecil rotan memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan.

“Kalau digunakan untuk pembuatan kerajinan dan pewarna sudah tidak ada lagi. Paling juga dijadikan tali atau kerangka kandang,” ujarnya.

Baca: Pakkat, Makanan dari Rotan Muda Khas Mandailing

 

Rotan sega adalah rotan kecil berwarna agak putih. Jenis ini masih didapatkan di Sumatera Selatan. Foto: Aghi Rahmat Auzan

 

Industri furnitur

Indonesia merupakan negara pengekspor rotan. Industri rotan, seperti dari Cirebon, Jawa Barat, menyumbang miliar dolar setiap tahun kepada negara.

Seperti sejumlah wilayah di Kalimantan, Sumatera, Papua, dan Sulawesi, Sumatera Selatan menjadi salah satu penyumbang ketersediaan rotan bagi industri furnitur.

Di Sumatera Selatan, banyak ditemukan penampung, perajin atau pekerja pengelolaan rotan berasal dari Cirebon. Termasuk di Kabupaten Musi Banyuasin.

“Sebagian besar dibawa ke Cirebon. Terutama kualitas terbaik, dijadikan furnitur yang diekspor ke luar negeri,” kata Pardik [53], pekerja pengelolaan rotan di pinggiran Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin.

“Yang kualitasnya biasa, dijadikan kursi, meja, ayunan, dan lainnya. Pemasaran di sejumlah kota di Sumatera Selatan, seperti Sekayu, Palembang, Lubuklinggau,” lanjut lelaki asal Cirebon ini.

Jenis rotan yang dibeli atau ditampung adalah manau, getah, sega, dan semambu. “Harganya Rp1.600 per kilogram dari para pencari,” ujarnya.

Rotan yang dibeli atau didapatkan itu dari wilayah Rantau Panjang, Jirak dan Sukamari [Kabupaten Musi Banyuasin], Sarolangun [Musi Rawas Utara], Karya Teladan [Musi Rawas].

Baca: Cerita Penganyam Bidai Rotan dari Jagoi Babang

 

Rotan getah yang umbutnya bisa dimakan. Foto: Aghi Rahmat Aufa

 

Dragon blood

Di masa Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, salah satu komoditas terkenal di Sumatera Selatan yakni getah jernang [Daemonorops draco BI], yang disebut “Dragon Blood”. Jernang merupakan jenis rotan, yang dulunya tumbuh subur di Sumatera Selatan.

“Yang dimanfaatkan dari jernang yakni resin berwarna merah. Resin ini didapatkan dari buahnya. Jernang adalah resin bahan baku pewarna industri keramik, marmer, dan obat-obatan,” kata Retno Purwanti, arkeolog yang banyak melakukan penelitian tentang Kedatuan Sriwijaya.

Di masa Kedatuan Sriwijaya hingga Kesulatan Palembang, jernang bersama damar [Agathis dammara (Lamb.) Rich.], pinang [Areca catechu], gaharu [Aquilaria malaccensis], kemenyan [Styrax benzoin Dryand.], gambir [Uncaria gambir Roxb], hingga lada [Piper nigrum], menjadi komoditas utama rempah.

Namun, sejalan dengan perubahan komoditas ekspor yang dijalankan pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia, terutama pada ekspor kebutuhan industri, seperti migas, mineral, karet dan sawit, membuat banyak hutan sebagai habitat rotan rusak.

Baca juga: Kala Puluhan Ribu Batang Rotan Manau Taman Nasional Siberut Diangkut Ilegal

 

Kursi dari rotan ini tengah dijemur. Industri furnitur sangat bergantung dengan kondisi hutan. Foto: Aghi Rahmat Aufa

 

Saat ini, jernang mulai sulit didapatkan di Sumatera Selatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rosniati A. Risna, berjudul “Dragon Blood [Daemonorops draco BI] Tumbuhan Obat Menjanjikan dari Taman Nasional Bukit Tiga Puluh”, yang diterbitkan Warta Kebun Raya [Mei, 2006], dijelaskan sebaran jernang terbatas pada sejumlah wilayah di Sumatera, seperti di Jambi, Riau, dan Bengkulu [Dransfied & Manokaran, 1994].

Pada 2015, Budiharta dan Kalima, mengevaluasi rotan di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999, menyebutkan sekitar 21 jenis rotan di Indonesia yang terancam punah, langka dan dlindungi. Misalnya C. Ciliaris, C. Melanoloma, C. Hispidulus, hingga Daemonorops acamptostaachys, dan Plectocomiopsis borneensis.

Berdasarkan data yang diolah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan, dari luasan daratan Sumatera Selatan sekitar 8,9 juta hektar, sekitar 3,416 juta hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tapi, sekitar 2,05 juta hektar merupakan kawasan hutan produksi. Sementara, hutan lindung [HL] seluas 577,6 ribu hektar serta hutan suaka alam [SM] dan pelestarian alam seluas 788,4 ribu hektar.

 

Exit mobile version