- Nama makanan ini pakkat. Ia dari rotan muda yang diolah dan dikenal sebagai makanan selama Ramadan.
- Andi, pedagang di Medan, per sehari, mampu menjual 600 batang rotan muda yang diolah jadi pakkat. Rata-rata omzet penjualan mereka selama satu bulan bisa Rp15 juta.
- Fikarwin Zuska, Kepala Departemen Antropologi Fakultas Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara mengatakan, kalau dari sudut antropologi, budaya makanan dipengaruhi lingkungan, geografi juga sejarah. Kalau orang Mandailing makan pakkat karena di tempat mereka tumbuhan rotan tadi banyak di hutan.
- Zulkifli Lubis, Ketua Pusat Kajian Etnografi Reset Center Universitas Sumatera Utara, mengatakan, ketika mendengar pakkat maka pertama teringat bulan puasa. Biasanya, orang-orang Mandailing menambah menu makanann dengan pakkat karena dipercaya sebagai perangsang nafsu makan.
Andi sudah belasan tahun menjual makanan khas masyarakat adat Mandailing bernama pakkat. Ia rotan muda dikupas dan diambil bagian dalam kemudian diolah jadi kuliner lezat.
Sore itu, dia sudah bersiap-siap membawa ratusan batang rotan muda untuk dijual di sepanjang Jalan Letjen MT. Haryono di Kecamatan Medan Tembung, Medan.
Andi mencari rotan muda di hutan. Dia bilang tak mudah dapatkan rotan ini. Kalau bahan baku dari hutan tak mencukupi, dia membeli ke pengepul.
“Yang kami jual banyak diminati orang ketika Ramadan datang.”
Dalam sehari, dia mampu menjual 600 batang rotan muda yang diolah jadi pakkat. Rata-rata omzet penjualan mereka selama satu bulan bisa Rp15 juta.
”Akan makin nikmat rasanya jika dicampur cabai mentah digiling dikasih jeruk nipis dan bawang .merah mentah di iris. Rasa sepat pahit di lidah akan menambah selera makan.”
Memilih rotan muda untuk bikin pakkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Fikarwin Zuska, Kepala Departemen Antropologi Fakultas Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara mengatakan, kalau dari sudut antropologi, budaya makanan dipengaruhi lingkungan, geografi juga sejarah.
Kalau orang Mandailing makan pakkat karena di tempat mereka tumbuhan rotan tadi banyak di hutan.
Sama ketika awal makan padi, katanya, hanya coba-coba dan cocok, akhirnya dibudayakan.“Memang cocok dengan rasanya, ada rasa pedas, rasa asam. Ini sangat enak untuk dimakan.”
Ketika melihat cerita di balik sebuah makanan, katanya, termasuk bagian dari pelestarian peristiwa itu sendiri. “Mengapa pakkat dimakan kemudian juga ada hubungannya dengan sejarah, dalam hal ini sejarah perkembangan setidaknya agama-agama,” katanya.
Antropolog ini memberikan contoh, misal di Mandailing, orang tak membiasakan minum tuak, karena pengalaman sejarah budaya yang masuk di sana adalah Islam. Sedangkan di Toba, tuak itu diminum karena yang masuk di sana Kristen dan tak melarang minuman.
Kalau lingkungan kedua tempat itu, geografis sama, ekologi relatif sama, dan tentu tumbuh-tumbuhan juga relatif sama, tetapi apa yang mereka konsumsi dipengaruhi oleh agama.
“Itu contohnya secara teoritik. Jadi pengaruh ekologi budaya itu terkait dengan makanan dan jadi bagian dari satu budaya yang berkaitan dengan ketersediaan makanan itu.”
Menurut Fikarwin, secara ekologi, kalau alam tidak menyediakan atau tidak mengizinkan, takkan mungkin bisa memakannya. Khusus kuliner khas Mandailing ini, semua terpenuhi, hutan tempat tumbuh ada, olah jadi makanan enak juga tersedia.
Contoh lain, makanan bernama arsik. Sejumlah daerah memiliki nama sama termasuk di Mandailing tetapi tampilan dan rasa berbeda. Sedangkan di Toba dan daerah lain seperti pada Suku Karo ada makanan berbentuk sama dengan nama arsik tetapi rasa berbeda.
“Mungkin ini juga ada hubungannya dengan sejarah pedagang-pedagang garam, banyak orang Karo yang pergi ke pantai mencari garam, dan memang dalam sejarah, garam pernah menjadi barang berharga, karena menimbulkan selera makan dan mengawetkan makanan juga.”
Rotan muda dibakar dan diambil bagian dalamnya. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Fikarwin mengatakan, rasa, identitas kelompok atau simbol dari Suku Mandailing dan kultur, bukan semata-mata tampak dari pakkat itu enak. lebih pada menunjukkan identitas kelompok dan jati diri.
Zulkifli Lubis, Ketua Pusat Kajian Etnografi Reset Center Universitas Sumatera Utara, mengatakan, ketika mendengar pakkat, maka pertama teringat adalah bulan puasa. Biasanya, orang-orang Mandailing menambah menu makanan mereka dengan pakkat karena dipercaya sebagai perangsang nafsu makan.
Selain pakkat yang diambil dari rotan muda, di Mandailing, banyak sekali jenis umbut-umbutan biasa dimakan, seperti cikala. Tumbuhan ini diambil dan jadi sayur.
Dia bilang, pakkat lebih identik dengan tradisi bagi masyarakat Mandailing sebagai menu makanan saat datang Ramadan.
Makanan tumbuh bersama dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Ketika anak lahir, diatur dalam sebuah keluarga, dari sana mulai memperkenalkan cita rasa khas. Jadi, dari lidah terbentuk citarasa dan memori dari masyarakat atau suatu etnis.
Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, makanan-makanan tradisional Indonesia bersumber dari wilayah adat. Sekarang ini, makanan-makanan khas itu banyak terancam, karena sumber untuk meramu kuliner makin susah.
Perubahan bentang alam yang luas jadi peruntukan lain, bisa menghilangkan ketersediaan bahan hingga bisa berpengaruh pada pangan khas. “Kalau di tanah Batak, tidak terlalu, di Kalimantan luar biasa proyek ekspansi sawit terasa sekali, bahwa makanan-makanan tradisional mereka makin susah jadi hubunganya sebenarnya di situ,”katanya.
Kalau dari sisi advokasi, tentu saja kondisi pangan ini sekarang mengalami kesulitan di banyak tempat, karena sumber-sumber pangan, makin lama juga makin berkurang.
Abdon bilang, ketika ada upacara-upacara adat, itu cara untuk merawat. Kalau ritual di masyarakat adat masih terpelihara, katanya, biasa mereka sensitif dengan kondisi lingkungan.
Keterangan foto utama: Rotan muda dibakar dan jadi makanan khas Mandailing, bernama pakkat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia